Nama | Jabatan Terakhir |
Natsri Anshari | Kasubdit Pembinaan Kemampuan Hukum TNI AD |
Salman Mulyana | Ditjen Badilmiltun |
Christina Kristipurnami Wulan | Hakim Tinggi PT Bandung |
Yulius | Hakim Tinggi PT TUN Jakarta |
Sutoyo | Hakim Tinggi PT TUN Jakarta |
Tumpak Sihombing | Hakim Tinggi PT Medan |
Moerino | Wakil Ketua PT Maluku Utara |
Burhan Dahlan | Kepala Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta |
Celine Rumansi | Hakim Tinggi PT Jakarta |
Arief Siregar | Tenaga Pengajar Non Organik Sekolah Tinggi Hukum Militer |
Wijayanto Setiawan | Dosen FH Universitas Hang Tuah Surabaya |
Henry Willem Batubara | Kababinkum TNI AD |
Yutti Subarlini Halilin | Anggota Pokkiminmiltama |
Lain lagi Calon Hakim Agung Arief Siregar. Entah karena tak tahu, entah karena canggung, Arief sempat keserimpet ketika menjawab perbedaan antara judex factie dan judex juris. Ia mengatakan MA adalah judex factie, sedangkan pengadilan di bawahnya judex yuris. Mendengar jawaban itu, Ketua KY Busyro Muqoddas hanya terdiam dan langsung memberikan catatan.
Tak hanya itu, Arief juga lupa menyebut nomor UU MA. Kontan, Wakil Ketua KY Thahir Saimima mempertanyakan kesiapan Arief untuk menjadi hakim agung. Anda belum baca UU Mahkamah Agung ya? Berarti anda tidak tahu tugas dan kewenangan MA, ujar Thahir. Ketika ditanya seputar kode etik hakim, Arief mengeluarkan jawaban yang serupa. Saya lupa, kata Arief.
Namun, tak semua calon hakim yang melontarkan jawaban lupa. Calon Hakim Agung Yutti Subarlini Halilin dengan fasih menjelaskan apa yang dimaksud dengan putusan NO. NO itu artinya tidak dapat diterima. Persyaratan formalnya tak terpenuhi, tuturnya.
Ditemui usai wawancara, Busyro mengatakan masing-masing komisioner akan mengumpulkan penilaiannya. Setelah itu, KY akan mengambil keputusan berdasarkan rekapitulasi penilaian itu. Terkait banyaknya calon hakim yang tak bisa menjawab, ia tak bisa langsung mengambil kesimpulan. Mungkin calon hakim itu lupa atau gugup, tuturnya.
Bagi orang yang berkecimpung di dunia hukum dan peradilan pasti sering mendengar putusan pengadilan yang berbunyi Niet Ontvankelijk Verklaard atau NO. Putusan yang dalam bahasa Indonesia disebut Tidak dapat diterima ini dikeluarkan majelis hakim bila gugatan, permohonan atau dakwaan tak memenuhi syarat formal. Kadang-kadang masyarakat awam memang agak sulit membedakan antara putusan yang berbunyi tidak dapat diterima dengan ditolak.
Pertanyaan semacam inilah yang mengemuka dalam wawancara seleksi calon hakim agung yang dilakukan Komisi Yudisial (KY). Para komisioner KY secara bergantian menanyakan kepada masing-masing calon hakim agung. Komisioner KY Mustafa Abdullah memulai pertanyaan apa beda antara putusan tidak dapat diterima dengan ditolak kepada Calon Hakim Agung Henry Willem Batubara. Henry yang terakhir menjabat sebagai Kababinkum TNI AD ini sempat terdiam sejenak.
Henry pun mencoba untuk menjawab pertanyaan Mustafa itu. Menurut Henry, putusan akan berbunyi ditolak bila tak memenuhi syarat. Sedangkan putusan tidak dapat diterima bila ada ketidaklengkapan dalam dakwaan. Contohnya dalam kasus pidana penganiayaan. Bila terdakwa tak memenuhi unsur penganiayaan maka putusannya tak dapat diterima, tuturnya di KY, Selasa (16/12).
Mustafa kembali menelisik. Ia menanyakan apa pernah Henry mendengar Putusan NO atau Niet Ontvankelijk Verklaard. NO itu apa maksudnya? desak Mustafa. Henry sempat bingung mendengar istilah itu. Ia memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan itu. NO itu artinya majelis hakim tak mau berpendapat atau beropini terhadap perkara, ujarnya.
Mendengar jawaban itu, Mustafa sedikit kaget. Ia tak habis pikir bila Putusan NO disamakan dengan abstain. Masak majelis hakim abstain, katanya. Mustafa menilai Henry belum siap menjadi hakim agung. Buktinya, menjawab putusan NO ini pun jawaban Henry masih belum tepat. Padahal, membuat putusan, apapun jenisnya, merupakan tugas sehari-hari seorang hakim. Ini pekerjaan teknis hakim agung. Anda nanti kan (bila terpilih) akan membuat putusan, tegasnya.