Relasi Negara dan Rakyat dalam Pengadaan Tanah
Resensi

Relasi Negara dan Rakyat dalam Pengadaan Tanah

Buku ini berangkat dari upaya menjawab makna kepentingan umum dan fungsi sosial tanah untuk pembangunan. Ditulis orang yang terlibat dalam pengambilan kebijakan.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Relasi  Negara dan Rakyat dalam Pengadaan Tanah
Hukumonline

 

Penulis buku ini adalah orang yang terlibat bertahun-tahun dalam pengambilan kebijakan pertanahan di Tanah Air. Ia menjadi anggota Sekretariat Kelompok Kerja Penyusunan Kebijakan di Bidang Pertanahan, sekaligus anggota tim penyusun amandemen UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) dan RUU Pertanahan. Pada 2007 Gunanegara juga tercatat sebagai Sekretaris Tim Pengkajian Pengadaan Tanah dan Pencadangan Tanah untuk Pembangunan Infrastruktur.

 

Bisa dikatakan Gunanegara adalah ‘orang dalam' yang tahu seluk beluk pengambilan kebijakan dan keputusan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Maklum, penulis buku ini adalah pejabat struktural di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Ia tercatat pernah menjabat sebagai Kasubdit Penyelesaian Sengketa Hukum Pertanahan, dan Kepala Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat BPN. Sepanjang 1992 – 2005, ia juga sudah menjadi in-house lawyer bagi BPN untuk mengurusi kasus-kasus pertanahan di pengadilan.

 

 

Rakyat & Negara

dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan

(Pelajaran Filsafat, Teori Ilmu, dan Jurisprudensi)

 

Penulis: DR. Gunanegara, SH

Penerbit: PT Tatanusa, Jakarta

Terbit: Mei, 2008

Halaman: 372 (termasuk lampiran)

 

 

Pengalaman dan prestasi itulah yang harus diakui sebagai salah satu daya tarik untuk lembaga membaca buku ini. Membaca Rakyat & Negara tidak ubahnya kita berusaha mendalami pemikiran seorang penyusun kebijakan di bidang pertanahan. Menyadari kemungkinan munculnya penilaian itu pula, Gunanegara tampak menggunakan banyak perspektif. Dalam melihat makna kepentingan umum, ia tak hanya melihatnya dari perspektif administrasi, tetapi juga hukum campuran (hal. 65). Instrumen hukum pengadaan tanah coba dipaparkan penulis dalam hukum privat, hukum publik, dan campuran (gemeenschapelijkrecht). Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, dan regulasi sejenis yang terbit belakangan, Perpres No. 36 Tahun 2005 jo Perpres No. 65 Tahun 2006 – ditempatkan dalam rezim hukum campuran.

 

Demikian pula masalah ganti rugi. Gunanegara tegas menyatakan bahwa istilah ganti rugi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia tidak konsisten, baik dalam penggunaan maupun maknanya (hal. 171). Kata ganti rugi berbeda dari kompensasi. Apabila negara melakukan tindakan yang didasarkan pada instrumen hukum publik atau campuran dan mengakibatkan rakyat mengalami kerugian, maka istilah yang dipergunakan adalah kompensasi (hal. 189).

 

Dalam buku ini penulis menguraikan perkembangan hakekat ganti rugi dalam perundang-undangan dan hukum positif. Dalam praktik, konsep ganti rugi sering dipahami masyarakat sebagai pengganti atas tanah mereka yang  menyebabkan kerugian. Oleh karena itulah pembuat undang-undang menegaskan dalam bahwa ganti rugi harus dapat memberikan keberlangsungan hidup yang lebih baik bagi masyarakat yang hak-hak atas tanahnya diambil untuk kepentingan umum. Maka, muncullah istilah baru ‘ganti untung'. Sayang, penulis tak menyinggung intilah ‘ganti untung'. Penulis tetap menggunakan istilah ganti rugi atau ganti kerugian dengan alasan sudah dikenal luas secara akademis dan masih dipakai dalam hukum positif.

 

Terlepas dari inkonsistensi istilah itu, penulis menguraikan bahwa hukum positif telah memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk melakukan berbagai tindakan hukum atas tanah demi kepentingan umum. Di Amerika Serikat, kewenangan itu disebut power of eminent domain dan secara eksplisit disebut dalam Konstitusi AS (hal. 31).

 

Meskipun sudah melakukan kajian dari berbagai perspektif dan komparasi hukum, ternyata penulis tetap mengalami kesulitan. Tidak mungkin merumuskan makna kepentingan umum, simpul penulis (hal. 253). Yang bisa dilakukan adalah menetapkan kriteria yang sifatnya enumeratif. Penulis berkesimpulan ada tiga kriteria kepentingan umum yaitu dikuasai dan/atau dimiliki negara, tidak untuk mencari keuntungan, tidak dapat dipindahkan ke tempat lain.

 

Kalau ingin mencari jawaban apa saja jenis pembangunan yang masuk kategori kepentingan umum menurut penulis, tentu Anda lebih baik membaca buku seharga Rp65 ribu ini. Minimal, Anda bisa melihat kasus-kasus pengadaan tanah dalam perspektif yang beragam.

 

Selamat membaca!

 

Anda dapat memperoleh buku Rakyat & Negara ini di toko-toko buku terdekat, atau memesan langsung ke Perpustakaan Daniel S. Lev Law Library. Buku-buku lain yang dapat dipesan adalah:

  1. Kamus Istilah Perundang-Undang Republik Indonesia 1945-2007 (harga: Rp160.000,00);
  2. Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia karya Prof. HAS Natabaya (harga: Rp120.000,00),
  3. Pajak Penghasilan Versi Lengkap dengan Petunjuk (harga: Rp45.000,00),
  4. Hukum Perjanjian Internasional karya Sumaryo Suryokusumo (harga: Rp80.000,00), dan
  5. Bianglala Business Judgment Rule karya Hendra Setiawan Boen (harga: Rp60.000,00).

 

Jika Anda memesan buku-buku terbitan Tatanusa ke perpustakaan hukum kami, Anda bisa mendapatkan diskon menarik. Silahkan hubungi Sheila atau Farli di (021) 8370-1827 ext. 210 atau 214, atau melalui email [email protected]

Pengadaan tanah atas nama pembangunan tampaknya menjadi salah satu masalah krusial di Indonesia. Ia seperti penyakit kronis dalam kata pembangunan itu sendiri. Atas nama negara, Pemerintah merasa punya hak mengambil tanah milik penduduk terlepas apakah pemilik setuju atau tidak. Penduduk acap kali komplain kompensasi yang ditawarkan Pemerintah terlalu kecil, sehingga mereka enggan untuk melepas hak milik.

 

Tentu saja, Pemerintah yang akan lebih sering menang. Ia punya senjata ampuh dan obat mujarab: kepentingan umum. Dengan berlindung di balik jargon kepentingan umum, Pemerintah berada dalam posisi di atas para pemilik tanah. Ironisnya, jargon itu pula yang sering dipakai perusahaan swasta jika butuh tanah luas di suatu wilayah. Makna kepentingan umum dalam praktik menjadi kabur.

 

Berbagai kajian ilmiah sudah dilakukan. Di lingungan akademis penelusuran tentang konsepsi dan hakekat kepentingan umum terus bermunculan. Termasuk upaya mencari jawab dalam ranah falsafati. Dalam konteks itulah, karya Gunanegara dalam bentuk buku ini hadir ke hadapan pembaca sejak Mei lalu.

 

Gunanegara sebenarnya bukan orang pertama yang mencoba mencari jawaban atas pemaknaan kepentingan umum dan fungsi sosial tanah dalam lingkup akademis. Sebelumnya, sudah ada kajian Syafrudin Kalo (2004) dengan melihat praktik pengadaan tanah di Medan, Sumatera Utara; atau disertasi Sufirman di Universitas Hasanuddin Makassar, berjudul Hukum Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dari Perspektif Hak Asasi Manusia (2006). Jauh sebelumnya juga sudah ada disertasi Perbuatan Pemerintah dalam Memperoleh Hak atas Tanah untuk Kepentingan Umum yang disusun Muchsan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kini, Muchsan tercatat sebagai hakim agung.

 

Buku Rakyat & Negara karya Gunanegara berawal dari kajian ilmiah diserasi doktoral di Universitas Airlangga Surabaya. Ia lulus dengan cum laude pada tahun 2007 dan menyandang predikat lulusan terbaik. Tetapi bukan prestasi ilmiah itu yang membuat Rakyat & Negara terasa berbeda.

Halaman Selanjutnya:
Tags: