Dapatkah Doktrin Passing Off Diaplikasikan di Indonesia?
Oleh: Hendra Setiawan Boen *)

Dapatkah Doktrin Passing Off Diaplikasikan di Indonesia?

Di negara-negara dengan sistem hukum Anglo Saxon ada pranata hukum yang selalu digunakan oleh pemegang HaKI untuk melawan pihak yang diduga menggunakan HaKI-nya secara melawan hukum, yaitu passing off

Bacaan 2 Menit
Dapatkah Doktrin Passing Off Diaplikasikan di Indonesia?
Hukumonline

 

� berdasarkan Law of the Sea Treaty, maka negara � negara yang melakukan penelitian di laut bebas memiliki kewajiban untuk meningkat kesejahteraan umum, dan melakukan alih teknologi yang ditemukan to promote and encourage the transfer to developing states of such technology and scientific knowledge so that all States Parties benefit therefrom.

 

Hal ini juga diperkuat oleh Pasal 144 ayat (2) traktat ini, bahwa setiap negara harus bekerja sama untuk meningkatkan kegiatan alih teknologi dan ilmu pengetahuan sehubungan dengan kegiatan di laut bebas. Coorporate in promoting the transfer of technology and scientific knowledge relating to the activitis in the Area so that the Enterprise and all States Parties may benetit therefrom.

 

(Sumber: www.hukumonline.com, Perlindungan HaKI di Luar Angkasa Ditinjau dari Asas-Asas Umum Paten. 3 Desember 2007.)

 

Dalam sebuah kasus menarik antara Commission of The European Community vs. Microsoft Corporation yang diputuskan oleh the European Court of First Instance pada tanggal 17 September 2007 (Case No. T�201/04), hasilnya Microsoft Corporation didenda sebesar ASD 613.000.000 karena pelanggaran terhadap Pasal 82 Treaty Establishing of the European Union jo. Pasal 54 European Economic Area Agreement. Pasal ini melarang pelaku usaha yang menjalankan usahanya di Uni Eropa untuk memanfaatkan posisi dominan yang dimilikinya sehingga menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

 

Melalui Case No. T�201/04, dapat dibaca bahwa sebenarnya rezim hukum HaKI dan rezim hukum persaingan usaha memiliki hubungan kekerabatan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu sangat aneh rasanya apabila kita menengok ke Pasal 50 huruf b Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Monopoli) yang mengecualikan perjanjian-perjanjian di bidang HaKI dari keberlakuan UU Monopoli (bandingkan Case No. T�201/04 dengan Pasal 1340 BW).

 

Memang, saat ini KPPU sedang membuat pedoman pelaksanaan Pasal 50 huruf b UU Monopoli tersebut dan berusaha mengurangi esensi dari pasal a quo. Kendati demikian, menurut hemat penulis, berdasarkan penafsiran gramatikal, maka UU Monopoli sudah sangat jelas mengecualikan perjanjian apapun yang berhubungan dengan HaKI dari pemberlakukan undang-undang ini. Oleh karena itu, semua pedoman KPPU, sepanjang akan mengatur mengenai HaKI adalah batal demi hukum karena bertentangan dengan undang-undang di atasnya. Belum lagi hal ini berarti KPPU telah melakukan perbuatan yang melampaui wewenangnya sebagai pengemban UU Monopoli.

 

Selain hukum publik internasional dan hukum persaingan usaha, HaKI juga berhubungan erat dengan hukum perlindungan konsumen. Logika dasarnya cukup jelas, bahwa konsumen yang beritikad baik harus dilindungi dari produk-produk pelanggaran HaKI. Karena apabila tidak, maka barang-barang hasil pelanggaran HaKI tersebut pasti merugikan konsumen pembelinya, karena kualitas produk hasil pelanggaran HaKI seringkali tidak bagus.

 

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sendiri tidak memuat aturan mengenai HaKI secara eksplisit, karenanya dibutuhkan penafsiran dalam membaca pasal demi pasal undang-undang aquo untuk dapat membaca adanya aturan tentang perlindungan terhadap konsumen dari pelaku usaha yang memperdagangkan produk-produk yang melanggar HaKI.

 

Di negara-negara dengan sistem hukum Anglo Saxon ada pranata hukum yang selalu digunakan oleh pemegang HaKI untuk melawan pihak yang diduga menggunakan HaKI-nya secara melawan hukum, yang berhubungan dengan persaingan usaha tidak sehat dan perlindungan konsumen, yaitu passing off.

 

PENGERTIAN UMUM DOKTRIN PASSING OFF

Menurut salah satu ahli hukum di bidang HaKI Indonesia, definisi umum dari doktrin passing off adalah: a common-law tort to enforce unregistered trademark.

 

Menurut definisi tersebut, maka ada dua unsur dari passing off.

  • Passing off merupakan tort (yang sering kali disandingkan dengan perbuatan melawan hukum pada Pasal 1365 BW).
  • Passing off merupakan upaya hukum yang dilakukan pemilik merek yang belum didaftarkan untuk melindungi mereknya dari digunakan oleh pihak lain.

 

Dalam sistem hukum Anglo Saxon dikenal berbagai macam tort, dan passing off masuk ke dalam kategori tort of misrepresentation yang mengakar dari hukum kontrak. Di Indonesia padanan yang mirip dengan tort of misrepresentation dapat ditafsirkan dari Pasal 1320 jo Pasal 1321 jo Pasal 1322 jo Pasal 1328 jo Pasal 1335 jo Pasal 1337 jo Pasal 1365 BW.

 

Elemen yang diperlukan agar passing off dapat digunakan adalah:

  1. Reputasi: yaitu apabila seorang pelaku usaha selaku penggugat memiliki reputasi bisnis yang sangat baik di mata publik atau sudah dikenal publik. Pada bagian lain dari artikel ini, penulis akan menjelaskan sedikit perbedaan reputasi di sini dengan definisi merek terkenal (well-known mark).
  2. Misrepresentasi: dengan terkenalnya merek yang digunakan oleh pelaku usaha tersebut, maka apabila ada pelaku usaha lain mendompleng merek yang sama, maka publik yang relevan dengan merek tersebut dapat terkecoh dan khilaf atau tertipu.
  3. Kerugian: elemen kerugian jelas dapat ditimbulkan oleh merek pendompleng terhadap reputasi yang telah dibangun oleh merek yang didompleng.

 

Dalam sebuah gugatan antara The Lindy Bowman Company vs. Jeanmarie Creations, LLC yang didaftarkan tanggal 02/05/2008 dengan Case No. 08-cv-00313-WDQ di District Court of Maryland, Penggugat yang menggunakan merek dagang GIFT WRAP IN A SNAP Kits menggugat Tergugat yang tanpa ijin menggunakan merek dagang yang sama. Argumen Penggugat untuk melawan Tergugat yang relevan dengan artikel ini adalah:

 

28.  By their unauthorized use of the mark GIFT WRAP IN A SNAP for prepackaged gift bag kits, Defendants have, without Lindy Bowman's consent, used and are using in commerce a reproduction, counterfeit, copy or colorable imitation of Plaintiff's federally registered GIFT WRAP IN A SNAP trademark in connection with the sale, offering for sale, distribution and advertising of Defendants' pre-packaged gift wrapping kit products. Such use is likely to cause confusion or to cause mistake or to deceive in violation of 15 USC. � 1114(1)(a).

 

29.  By their unauthorized and intended use of the mark GIFT WRAP IN A SNAP on such kits, Defendants have, without Plaintiff's consent, reproduced, counterfeited, copied or colorably imitated Lindy Bowman's federally registered GIFT WRAP IN A SNAP trademark in connection with the sale, offering for sale, distributing and advertising of Defendants' pre-packaged gift bag kits. Such use is likely to cause confusion or to cause mistake or to deceive in violation of 15 U.S.C. � 1114(1)(b).

 

30.  As a result of these wrongful and illegal acts by Defendants, there is damage and a likelihood of further damage and injury to Plaintiff through Plaintiff's loss of control over its GIFT WRAP IN A SNAP mark leading to declining sales and loss of goodwill.

 

31.  Defendants have unlawfully profited from the unauthorized use of Plaintiff's GIFT WRAP IN A SNAP mark in connection with sales of its gift bag kits. Plaintiff is entitled to damages in no event less than said profit by reason of Defendants' infringement of Plaintiff's trademark. The amount of such damages not being know presently but being ascertainable upon the conduct of appropriate discovery herein.

 

32.  On information and belief, Defendants' actions have been committed intentionally with the knowledge that the use of such a colorable imitation is likely to cause confusion or to cause mistake or to deceive.

�����

 

42. By using GIFT WRAP IN A SNAP on their products, Defendants unfairly compete with Lindy Bowman by creating the impression among the public that Lindy Bowman has licensed or sponsored Defendants, when in fact it has not. Defendants have and continue to misappropriate Lindy Bowman's valuable good will and public recognition of the GIFT WRAP IN A SNAP trademark which have been developed nationally and in the State of Maryland over the last five years by Lindy Bowman, where Defendants jointly and severally have unlawfully benefited and been unjustly enriched by such activities.

 

Passing Off sendiri adalah sebuah pranata hukum yang dihasilkan oleh case law, bukan peraturan perundang-undangan, dan menurut case law, passing off hanya dapat dituntut oleh pemegang merek, bukan publik. Untuk publik dapat digunakan s 52 dari Trade Practices Act.

 

Passing off tidak dapat digunakan dalam setiap kasus pelanggaran hukum merek, karena menurut berbagai case law antara lain:

  • Good will dapat berkurang seiring dengan waktu sehubungan dengan pengurangan aktivitas dan reputasi (Knight v Beyond Properties Pty Ltd [2007] FSR 34 (Ch) dan Wise Property Care Ltd v White Thomson Preservation Ltd [2008] CSIH 441);
  • Merek yang dapat menggunakan passing off  dibatasi, dalam hal ini wangi-wangi parfum          (di Eropa wangi-wangian masuk kategori merek yang dilindungi) tidak dapat menggunakan passing off  (L'Oreal SA v Bellure NV [2007] RPC 14 (Lewison J);

 

PEMBERLAKUAN PASSING OFF DI INDONESIA

Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya di artikel ini, bahwa passing off adalah salah satu pranata common law untuk melindungi merek yang belum didaftarkan. Beberapa pihak berpandangan bahwa salah satu perwujudan dari passing off di Indonesia adalah Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek (UU Merek), yaitu ketentuan mengenai merek terkenal.

 

Kendati perlindungan merek terkenal diberikan mengingat dua kepentingan yang harus dilindungi, yaitu kepentingan pemilik merek dan kepentingan konsumen sebagai bagian perlindungan hukum terhadap persaingan curang. Namun merek terkenal bukanlah pranata yang asing bagi rezim HaKI, karena terdapat dalam Konvensi Paris yang diusulkan dalam Konferensi di Den Haag tahun 1925. Setelah beberapa kali mengalami revisi, ketentuan merek terkenal kemudian terdapat dalam Pasal 6 bis Konvensi Paris.

 

Lebih lanjut, pengaturan bagi perlindungan merek terkenal juga terdapat di dalam TRIPs (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights), yaitu pada Pasal 16 ayat (2) jo (3), yang sejalan dengan Pasal 6bis Konvensi Paris.

 

Tidak ada definisi pasti dari merek terkenal, namun di dunia ada beberapa kriteria merek terkenal yang telah disepakati, antara lain: derajat pengenalan atau pengakuan atas merek; luas dan lamanya penggunaan merek; luas dan lamanya pengiklanan dan promosi; sejauhmana merek tersebut dikenal, digunakan, diiklankan, didaftarkan dan dipertahankan dalam wilayah tertentu baik secara lokal, regional atau internasional; derajat daya beda merek; derajat eklusifitas merek; sifat dari barang atau jasa dan jalur perdagangannya; derajat reputasi merek sebagai lambang mutu; dan nilai komerial dari merek (lihat Provision on the Protection of Well-Known Mark dari WIPO yang disahkan oleh SCT tanggal 9 Juni 1999).

 

Melihat beratnya kriteria agar sebuah merek dapat dianggap sebagai merek terkenal (well-known mark), maka wajar rasanya apabila tidak semua merek, sepopuler apapun merek tersebut di mata konsumennya, dapat dikatakan sebagai merek terkenal, karena belum tentu merek ini juga dikenal di belahan dunia yang lain.

 

Untuk memakai argumen passing off, maka merek yang bersangkutan tidak perlu mencapai tingkatan merek terkenal, cukup bahwa merek ini memiliki konsumen yang sudah mengenalinya saja, apalagi bahwa passing off berasal dari case law bukan peraturan perundang-undangan, dengan demikian pengaturan merek terkenal tidaklah identik dengan passing off.

 

Menurut Pasal 3 UU Merek, Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

 

Konsekuensi yuridis dari pasal a quo cukup jelas, bahwa seorang pengguna merek hanya terlindungi mereknya, apabila yang bersangkutan telah mendapatkan hak atas merek tersebut dari negara dengan cara mendaftarkan mereknya ke Dirjen. HKI. Di Indonesia tidak ada merek yang terlindungi apabila belum terdaftar di Dirjen. HKI.

 

Hal ini terbukti dengan tidak ada satu pun putusan pengadilan di Indonesia yang pernah mengabulkan gugatan dari pengguna merek yang belum terdaftar. Berbeda halnya dengan Amerika yang memberikan hak atas merek berdasarkan penggunaan bukan pendaftaran. Sedangkan di Australia dan Inggris, merek belum terdaftar terlindungi oleh passing off. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UU Merek tidak mengandung doktrin passing off. Oleh karenanya, doktrin ini tidak dapat digunakan di Indonesia.

 

----

*) Penulis adalah associate pada salah satu kantor advokat di Jakarta.

 

Tulisan ini bermaksud meninjau apakah doktrin passing off dapat diaplikasikan menurut sistem hukum Indonesia.

 

PENDAHULUAN

Banyak sekali orang, terutama masyarakat awam yang menganggap bahwa HaKI secara melulu hanyalah sarana pemuas kepentingan pemegang HaKI, akan tetapi, sebenarnya dalam rezim HaKI, perlindungan terhadap kepentingan masyarakat lebih dikedepankan ketimbang kepentingan individu.

 

Lebih dari setahun yang lalu, penulis pernah menulis kalimat dalam sebuah artikel sederhana di media ini, bahwa:

Halaman Selanjutnya:
Tags: