Komnas HAM Kecam Fatwa Golput Haram
Berita

Komnas HAM Kecam Fatwa Golput Haram

Tidak hanya golput, MUI juga menyatakan haram terhadap tindakan memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.

Oleh:
CR-4/Fat
Bacaan 2 Menit
Komnas HAM Kecam Fatwa Golput Haram
Hukumonline

 

Reaksi atas fatwa MUI ternyata tidak hanya diungkapkan orang-perorangan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga ikut bereaksi. Dalam jumpa pers, Senin (2/2), Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim mengatakan Komnas HAM sebagai lembaga yang memantau pelaksanaan HAM di Indonesia, mengecam fatwa MUI tentang golput. Ifdhal memandang fatwa itu adalah upaya membatasi hak warga negara untuk memberikan suara dalam pemilu.

 

Positive obligation

Ia menegaskan hak ini sepenuhnya merupakan subjective rigths of the individual yang penggunaannya tidak boleh diintervensi oleh siapapun, baik oleh masyarakat maupun negara. Bahkan, menurut Ifdhal, hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu yang telah dituangkan dalam UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.

 

Masyarakat atau negara tidak dapat membatasi hak ini dengan melarang, mengkriminalisasi atau menjatuhkan sanksi moral terhadap orang yang tidak menggunakan hak pilihnya, papar Ifdhal. Makanya, pemerintah diwajibkan untuk menjamin pemenuhan hak ini dan juga menjalankan positive obligation yaitu langkah-langkah agar memudahkan orang merealisasi penggunaan hak pilihnya secara bebas. Sebaliknya, negara tidak boleh mengeluarkan regulasi yang membatasi penggunaan hak ini.

 

KPU sebagai penyelenggara pemilu juga tidak bisa mengeluarkan peraturan-peraturan yang kemudian berimplikasi terhadap pelanggaran kebebasan individual orang dalam memilih atau tidak memilih, ujar Ifdhal.

 

Sementara itu, Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary justru mendukung langkah MUI mengeluarkan fatwa. Kenapa tidak ada dari dulu, tukasnya. Menurut Hafiz, MUI memang bertanggung jawab agar umat Islam tidak golput. Makanya, ia setuju jika golput dinyatakan haram. Bukan hanya rokok saja yang haram, pungkasnya.

Golongan putih atau lazim disingkat golput masih menjadi wacana populer menjelang perhelatan Pemilu 2009. Belakangan, topik ini menjadi polemik berkata langkah Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa bahwa golput itu haram. Sebelum fatwa ini keluar, pernyataan pro dan kontra mengenai golput terus bergulir.

 

Tokoh Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid, misalnya, mengkampanyekan golput. Tokoh Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid justru terang-terangan meminta MUI menerbitkan fatwa haram. Menurut Hidayat yang juga Ketua MPR ini, fatwa MUI akan membantu mensukseskan Pemilu 2009. Sementara, Ketua DPR Agung Laksono berpendapat memilih dalam Pemilu bukanlah suatu kewajiban bagi masyarakat. Munculnya Golput justru karena partai sebagai mesin politik gagal menjalankan fungsinya. Fatwa MUI, menurutnya, adalah suatu hal yang keliru.

 

Meskipun banyak kecaman, MUI bersikukuh menerbitkan fatwa di penghujung Januari 2009. Situs MUI menerangkan bahwa fatwa dikeluarkan setelah melalui perbincangan hampir sehari penuh dalam rapat Komisi Masail Asasiyah Wathaniyah (Masalah Strategis Kebangsaan). Lalu, dikerucutkan dalam Tim Perumus dan diajukan ke sidang pleno Ijtima Ulama. Hasilnya, MUI menyatakan memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.

 

Dictum Keputusan

Ijtima Ulama Komisi Fatwa tentang Pemilu

 

1.    Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.

2.    Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama

3.    Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.

4.    Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.

5.    Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.

Halaman Selanjutnya:
Tags: