Syarat Dukungan Suara untuk Mengajukan Capres Sudah Sesuai Konstitusi
Putusan MK:

Syarat Dukungan Suara untuk Mengajukan Capres Sudah Sesuai Konstitusi

Yusril Ihza Mahendra mempersoalkan putusan yang hanya diambil oleh delapan hakim konstitusi. Padahal, menurutnya pengambilan harus diambil oleh hakim konstitusi yang jumlahnya ganjil

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Syarat Dukungan Suara untuk Mengajukan Capres Sudah Sesuai Konstitusi
Hukumonline

 

Selain itu, MK menilai syarat 25 persen suara nasional itu bisa menjadi bukti bahwa capres yang akan dicalonkan mendapat dukungan awal dari masyarakat luas. Meski Majelis mengakui 'hasil akhir' akan ditentukan pada gelaran Pilpres pasca-pemilu Legislatif. Capres dan Cawapres yang kelak akan menjadi Pemerintah sejak awal pencalonannya telah didukung oleh rakyat melalui parpol yang telah memperoleh dukungan tertentu melalui Pemilu, jelasnya.

 

Tiga Hakim Konstitusi –Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan Akil Mochtar- tak sependapat dengan pendapat majelis itu. Melalui dissenting opinion atau pendapat berbedanya, mereka menilai argumentasi itu tak relevan. Ketiganya mencontohkan pengalaman Pemilu 2004, dimana duet SBY-JK yang diusung oleh parpol yang memperoleh suara yang lebih rendah dibanding capres lainnya, bisa keluar menjadi pemenang. 

 

Meski tiga hakim menyatakan pendapat berbeda, toh permohonan tetap saja ditolak. Pemohon tentu tak terima dengan putusan ini. Saya kecewa dengan putusan ini, ujar capres dari Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Sutiyoso. Ia mengaku bingung dengan putusan ini. Pasalnya, ketentuan UUD 1945 tak ada satu pun pasal yang memuat persentase suara parpol yang berhak mengajukan capres.

 

Cacat Prosedural 

Ketua Majelis Syuro DPP PBB, Yusril Ihza Mahendra, bahkan bersuara lebih keras lagi. Ia menilai putusan MK ini cacat prosedural. Pakar Hukum Tata Negara itu mengungkit bahwa putusan hanya diambil oleh delapan hakim konstitusi. Ia sudah mempertanyakan hal ini ke Ketua MK Mahfud MD. Sayangnya ia mengaku mendapat jawaban yang tak memuaskan. Pasca-pengunduran diri Jimly Asshidiqie sebagai hakim konstitusi, putusan di MK memang hanya diambil oleh delapan hakim konstitusi.

 

Peraturan MK yang mengatur tata tertib persidangan di MK memang menyebutkan sidang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan dihadiri oleh sembilan orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan yang luar biasa dihadiri oleh sekurang-kurangnya tujuh orang hakim konstitusi.

 

Namun, ketentuan ini dikritik oleh politisi PBB lainnya, Hamdan Zoelva. Menurutnya, frase 'sekurang-kurangnya' tak ada dalam UU MK. Artinya, jelas Hamdan, jumlah hakim konstitusi harus ganjil, tujuh atau sembilan hakim konstitusi. Saya yang ikut pembahasan UU MK, tuturnya.

 

Hamdan justru khawatir suara para hakim konstitusi dalam putusan ini draw, yakni empat hakim melawan empat hakim. Tapi, karena tak ingin deadlock, maka ada hakim yang 'membelot'. 

 

Staf khusus Presiden bidang hukum, Denny Indrayana, menegaskan jumlah hakim konstitusi saat ini tetap sembilan. Presiden belum menindaklanjuti surat permohonan pengunduran Jimly, ujarnya. Surat pengunduran diri akan ditindaklanjuti berbarengan dengan pelantikan penggantinya. Ini untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan semacam ini, tuturnya.

 

Mahfud MD juga mengatakan pengambilan keputusan dengan delapan hakim konstitusi bukan baru kali ini terjadi. Menurutnya, hal tersebut dianggap sah asal dalam keadaan kondisi darurat. Di sini hakim ke luar negeri saja dianggap darurat, ujarnya menceritakan kebiasaan yang terjadi di MK. Mahfud pun mengatakan tak mau berpolemik seputar ini. Terserah pendapat Yusril saja, ujarnya usai persidangan.

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali memutuskan permohonan pengujian UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Bila sebelumnya MK menolak permohonan calon presiden independen, kali ini MK mengeluarkan putusan seputar pengujian syarat pengajuan capres oleh parpol yang harus memperoleh 25 persen suara sah nasional dalam pemilu legislatif. Permohonan diajukan Saurip Kadi, Partai Bulan Bintang (PBB) dan enam parpol lainnya.   

 

Majelis hakim konstitusi yang diketuai Mahfud MD berpendapat, Pasal 9 UU Pilpres yang diuji itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Mereka menilai ambang batas 25 persen suara sah nasional dan 20 persen jumlah kursi DPR yang mesti dimiliki parpol maupun gabungan parpol, bukan masalah konstitusionalitas norma, melainkan hanya pilihan kebijakan semata. Hal ini juga sempat diutarakan Staf Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bidang hukum Denny Indrayana pada sidang sebelumnya. 

 

Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi menegaskan, syarat tersebut merupakan turunan dari Pasal 6A ayat (5) UUD 1945. Pasal itu memerintahkan, 'Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang'. Itu merupakan kebijakan hukum yang terbuka yang didelegasikan oleh Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, ujarnya saat membacakan pendapat Mahkamah, Rabu (18/2).

Halaman Selanjutnya:
Tags: