KPK Awasi Utang Luar Negeri
Berita

KPK Awasi Utang Luar Negeri

Hanya 44 persen dari total pinjaman luar negeri yang selama ini dimanfaatkan. Sementara pinjaman luar negeri senilai Rp438,47 miliar tidak dimanfaatkan. BPK juga menemukan ada sekitar 500 perjanjian utang yang hilang.

Oleh:
CR-5
Bacaan 2 Menit
KPK Awasi Utang Luar Negeri
Hukumonline

 

Menurut Haryono, cara penarikan dengan L/C merupakan cara yang paling mudah. Terutama L/C yang diterbitkan Bank Indonesia (BI). Untuk rekening khusus, Haryono mengungkapkan apabila ada sisa saldo dalam rekening maka harus dikembalikan ke lender (pemberi pinjaman).

 

Sehari sebelumnya, Haryono telah mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan nilai saldo utang pinjaman luar negeri. Data dari Departemen Keuangan (Depkeu) menyatakan  nilai saldo utang sebanyak Rp450 triliun. Data dari BI malah lebih sedikit sekitar Rp7 triliun. Data yang dimiliki lender malah lebih besar dari keduanya.

 

Berdasarkan data-data yang dikumpulkan KPK pada periode 1967-2005, ditemukan hanya 44 persen dari total nilai saldo utang pinjaman luar negeri yang dimanfaatkan. BPK menindaklanjutinya dengan memeriksa sembilan BUMN dan sembilan Departemen. Dari 2.214 perjanjian utang (Loan Agreement), 66 diantaranya diaudit BPK.

 

Temuan Hasil Kajian Utang Luar Negeri BPK

 

          Sekitar 500 perjanjian utang (loan agreement) hilang

          Pinjaman luar negeri senilai Rp438,47 miliar tidak dapat dimanfaatkan

         Ada tambahan biaya minimal Rp2,02 triliun karena keterlambatan pelaksanaan proyek

         Terdapat penarikan pinjaman dari rekening khusus (reksus) maupun dana talangan pemerintah yang beresiko tidak mendapat pergantian dari lender minimal sebesar Rp5,04 miliar dan AS$4,23 juta.

         Per 26 September 2008, terdapat 61 reksus dengan saldo Rp74,34 miliar yang belum ditutup, walaupun clossing date pinjaman telah lewat. Akibatnya pemerintah menanggung beban bunga atas sisa dana di reksus tersebut.

         Terdapat resiko kehilangan dan penyalahgunaan aset negara senilai Rp207,79 miliar.

         Negara dibebankan minimal Rp36,38 miliar akibat klausul mengenai biaya asuransi, biaya komitmen dan biaya jasa bank penatausahaan yang dipersyaratkan dalam perjanjian.

         Negara mendapat tambahan beban berupa commitment fee dan eskalasi harga minimal Rp2,02 triliun akibat terlambatnya pelaksanaan 25 proyek yang didanai pinjaman luar negeri

         Hasil 9 proyek pinjaman luar negeri senilai Rp438,47 miliar tidak dimanfaatkan sesuai tujuan semula.

         Belum ada sumber informasi yang handal dan akurat mengenai posisi dan penarikan pinjaman luar negeri yang dapat dipercaya dan dapat digunakan Pemerintah dalam mengambil keputusan.

 

Sumber: KPK

 

Auditor Utama BPK Sjahri Adnan menyatakan, audit tidak dilakukan di semua instansi karena keterbatasan sumber daya. Oleh karena itu, audit dilakukan per-sampling untuk periode 2006-2007. Yah, BPK hargai yang sudah dilakukan Depkeu. Mereka sudah bentuk Dirjen Pengelolaan Hutang dan sudah rekonsiliasi dengan BI, ujarnya.

 

Sjahri membuka kartu mengenai audit utang pinjaman LN tersebut. Baginya sulit melakukan audit tersebut. Alasannya, karena kalau data di departemen itu hilang, pasti di Bappenas juga hilang. Padahal sebagaimana dibenarkan oleh Haryono, manajemen utang pinjaman luar negeri tersebut terdapat di Bappenas dan Depkeu.

 

Gara-gara Lender?

Ternyata banyak biaya yang muncul karena dianggap biaya keterlambatan penyelesaian proyek dan juga dana talangan yang tidak mau dibayar oleh lender. Padahal keterlambatan ini bukan salah pemerintah sepenuhnya.

 

Keterlambatan kerap terjadi karena kebutuhan (reguirement) yang disyaratkan lender. Misalnya, karena perbedaan requirement seperti tidak diakuinya Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) oleh lender. Proyek di pecah-pecah pun ternyata tidak diperbolehkan lender. Dan hal-hal ini ternyata sering menjadi alasan lender tidak membayar dana talangan.

 

Selain itu ekskalasi harga yang terjadi di luar negeri berimbas langsung pada nilai pinjaman yang harus dibayar Indonesia, keluh Haryono. Padahal tidak semua perjanjian utang tersebut berupa pinjaman lunak (soft loan). Sebagian  perjanjian utang ternyata berupa kredit perdagangan (commercial loan). BPK mensinyalir terdapat Rp3 triliun yang tidak mau dibayar lender padahal APBN sudah jalan, imbuh Haryono.

 

Penyelesaian utang ini pun mengalami kesulitan karena buruknya manajemen dan administrasi utang pinjaman luar negeri oleh Pemerintah RI sendiri. Dokumen-dokumen kontrak tidak ada, tapi cicilan harus bayar. Kita membayar sesuatu yang data pendukungnya tidak handal, keluh Haryono.

 

Untuk itu, kata dia, ke depan KPK akan berusaha meminta klarifikasi dari Depkeu, BI, Bappenas, kementerian negara, lembaga, dan departemen lain yang memakai dana pinjaman tersebut.

 

Dari Bappenas dan Depkeu, KPK berencana meminta inventarisasi dana apa saja yang tidak digunakan. Haryono juga akan menanyakan bagaimana pengelolaan dan latar belakang timbulnya utang tersebut ke pihak-pihak terkait. Kenapa dia mengutang tapi tidak digunakan? Kenapa tidak ada borrowing strategy (siasat meminjam)? tanya Haryono.

Lirikan maut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rupanya tidak berhenti pada korupsi seperti proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah. Utang luar negeri pun dicermati oleh komisi anti korupsi ini. Setelah berinisiatif mengkaji utang pinjaman luar negeri yang dipakai untuk pinjaman proyek (project loan) priode 1967-2005, KPK pun berkordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit sejumlah BUMN dan Departemen. Ini terjadi puluhan tahun, tidak ada yang touch, ujar Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Haryono Umar.

 

Haryono usai bertemu sejumlah direksi BUMN di Gedung KPK, Kamis (19/2), menyatakan terdapat perbedaan persepsi mengenai utang pada masing-masing priode pemerintahan Presiden RI. Waktu Orde Baru, utang (pinjaman luar negeri) dianggap sebagai pendapatan, ujarnya.

 

Namun sesudah Orde Baru, utang dianggap sebagai uutang, bahkan sejak komitmen disetujui. Commitment fee langsung jalan dan komitmen pun dianggap utang, papar Haryono.

 

Dia juga menguraikan terdapat empat cara untuk melalukan penarikan pinjaman luar negeri. Yaitu melalui Letter of Credit (L/C), rekening khusus, reimburse (membayar kembali). Yang terakhir saya lupa namanya, tapi mirip dengan reimburse, dalih Haryono.

Tags: