Pemberlakuan Wajib L/C Ekspor Dianggap Tebang Pilih
Berita

Pemberlakuan Wajib L/C Ekspor Dianggap Tebang Pilih

Industri pertambangan, timah, dan CPO dapat giliran pertama wajib L/C. Pelaku usaha dan asosiasi sontak bereaksi.

Oleh:
CR-5
Bacaan 2 Menit
Pemberlakuan Wajib L/C Ekspor Dianggap Tebang Pilih
Hukumonline

 

Menurut Jeffrey, meski pihaknya sangat mendukung upaya pemerintah melakukan verifikasi ekspor untuk mendapatkan dana yang valid, seharusnya implementasi kebijakan tersebut tidak mengejutkan seperti ini. APBI pun menjadi bertanya-tanya, Apa fokus perhatian pemerintah sebenarnya? Harusnya main di concern-nya, ujar Jeffrey. 

 

Dia menyatakan pemerintah menemukan aliran dana ekspor malah mengendap di luar negeri, bukan masuk ke Bank Devisa. Kami berharap, kalau pemerintah concern uang masuk ke dalam negeri, itu saja concern-nya. Jangan pakai polisi.

 

Hingga saat ini APBI terus berdialog dengan pemerintah. Terutama untuk memperluas kesempatan agar tujuan dan kepentingan keduanya sama-sama tercapai. Dia menyarankan sistem pembayaran sebaiknya melalui instrumen apa saja, asalkan dananya mengalir ke Bank Devisa. Jeffrey sendiri bertanya-tanya mengapa hanya produk pertambangan, timah dan CPO yang terkena wajib L/C.

 

Sekedar informasi, kebijakan serupa juga akan diterapkan pada industri unggulan lain seperti karet, kakao dan kopi. Wajib L/C bagi industri tersebut ditangguhkan hingga 31 Agustus 2009.

 

Meski demikian, baik pelaku usaha yang sudah diwajibkan L/C maupun belum tetap harus melaporkan cara pembayarannya dalam Pemberitahuan Ekspor Barang selama masa penangguhan. Pemerintah mewajibkan pencantuman cara pembayaran tersebut harus disertai nomor dan tanggal dokumen pembayaran.

 

Di sisi lain, pemerintah memperkuat mekanisme trade financing dengan mengesahkan UU Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), pemberian tambahan dana Rp 1 triliun dari Lembaga Asuransi Ekspor Indonesia (AEI), dan perancangan perluasan kewenangan.

 

Kerja sama dengan International Finance Corporation juga digalang pemerintah untuk akses likuiditas, garansi, dan asuransi terkait ekspor. Skema-skema yang lahir dari kerjasama ini akan digunakan untuk ekspor yang menggunakan L/C.

Pemerintah rupanya memakai siasat tebang pilih bagi dunia usaha. Alih-alih memberlakukannya langsung pada seluruh sektor, pemerintah malah memilih industri tertentu yang tingkat ekspornya cukup tinggi. Maka, per 1 April 2009 produk pertambangan, timah dan Crude Palm Oil (CPO) terkena wajib Letter of Credit (L/C) ekspor. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 10/M-Dag/Per/3/2009 tentang Ekspor Barang yang Wajib Menggunakan Letter of Credit.

 

Dalam pernyataan tertulisnya, Kepala Pusat Humas Departemen Perdagangan Srie Agustina (05/3) mengakui ketiga industri tersebut dipilih lantaran Indonesia diperkirakan masih memiliki daya tawar. Penerapan wajib L/C tersebut juga terbatas dikenakan pada ekspor di atas AS$ 1 juta. Kebijakan sendiri dikeluarkan untuk memperlancar perolehan hasil devisa ekspor.

 

Legal Manager PT Timah Tbk Agus Hendratomo menyatakan secara umum, kebijakan ini dapat merugikan pengusaha tambang. Cash flow kita akan terganggu karena uang tertahan, katanya Rabu (11/3). Dia juga membenarkan bahwa konsumen dan pelanggan bisa ikut-ikutan memprotes karena penerapan kewajiban yang mendadak seperti ini.

 

Agus menegaskan, pada prinsipnya pihaknya tidak menentang kebijakan tersebut. Namun dia meminta pengertian pemerintah untuk mensosialisasikan tujuan dan manfaat kebijakan tersebut. Pemerintah juga disarankan Agus untuk memberikan waktu tenggang yang cukup agar pelaku usaha bisa beralih dari sistem cash and carry ke L/C.  

 

Ketua Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Jeffrey Mulyono mengatakan penggunaan L/C mengindikasikan adanya ketidakpercayaan antara pembeli dan penjual. Oleh karenanya pelaku usaha pertambangan lebih cenderung menggunakan sistem pembayaran telegraphic transfer ketimbang L/C. Selain memperlihatkan kepercayaan  pembeli dan penjual,  telegraphic transfer minim biaya. Kalau L/C kan ada ongkosnya, sekitar 8 persen, cetusnya kepada hukumonline.

Tags: