Pembaruan Agraria, Isu yang Dilupakan Para Caleg
Oleh: Bernadinus Steni *)

Pembaruan Agraria, Isu yang Dilupakan Para Caleg

Hinggar binggar para kandidat legislatif yang saat ini marak dengan poster, baliho dan bentuk-bentuk promosi lainnya menunjukan dua gejala sekaligus.

Bacaan 2 Menit
Pembaruan Agraria, Isu yang Dilupakan Para Caleg
Hukumonline

 

Upaya untuk menguatkan distribusi tanah sejak Spurius Cassius Viscellinus tahun 486 SM hingga  Tiberius Sempronius Gracchus tahun 133 SM, selalu terbentur hambatan dari kaum aristokrat yang memang rata-rata menguasai tanah publik dalam jumlah yang luas.  Viscellinus berusaha mendorong hadirnya undang-undang baru untuk memberikan sejumlah bidang tanah yang baru diperoleh Roma di Gaul kepada orang miskin Roma dan Latium. Tapi usulan itu ditolak dengan cemburu oleh orang-orang Roma. Upaya hukum yang termasyur dan cukup keras adalah Licinian Rogations (367 SM) yang membatasi secara ketat jumlah tanah yang boleh dikuasai oleh seorang warga Negara dan jumlah domba dan sapi yang boleh dia gembalakan di tanah-tanah publik. Namun, upaya ini pun gagal.

 

Tiberius Sempronius Gracchus kemudian meneruskan perjuangan Licinian dengan menambahkan ketentuan mengenai jumlah maksimum dari jumlah ekstra untuk setiap putra laki-laki. Penghuni tanah publik dikurangi dengan mengacu pada batas maksimum yang ditetapkan oleh hukum. Kelebihannya diberikan kepada orang miskin.  Penghuni tersebut diberikan kompensasi berupa hak penuh atas tanah yang telah dia peroleh. Komisi yang merancang peraturan ini segera mendorong pengesahannya menjadi undang-undang. Namun, sekali lagi lagi senat dengan licik memperlemah komisi sehingga peraturan tersebut segera rapuh menjadi tidak efektif. Penolakan senat menimbulkan huru hara politik, dimana Tiberius kemudian terbunuh. Caius Gracchus (123 SM) meneruskan perjuangan saudaranya, namun kali ini Senat meluluhlantakan reforma agraria dengan membolehkan penyewa baru atas tanah-tanah publik menjual tanah mereka sebanyak-banyaknya, sehingga kesejahteraan yang diharapkan muncul dari pembagian tanah-tanah tersebut ikut tergadaikan. Caius juga terbunuh dalam huru hara politik yang menyertai proses reformasi ini.

 

Hampir semua tokoh pembaruan agraria di atas adalah anggota senat yang mewakili rakyat di wilayahnya. Cerita yang bergulat di zaman mereka juga berulang pada masa ini. Bisa dilihat dengan jelas, masalah dan hambatan utama pembaruan agraria justru berasal dari dua rival yang sangat berat yakni parlemen (DPR/DPRD) dan konglomerat. Keduanya sering bersatu karena memiliki jaringan ekonomi yang saling berhubungan. Contoh paling nyata adalah kasus suap yang menimpa sejumlah anggota DPR RI akibat urusan alokasi sumber daya untuk sebuah pelabuhan. Disitu, sangat jelas hubungan simbiosis antara pembentuk aturan dengan konglomerat yang diatur. Banyak cerita burung lainnya mengenai perilaku anggota wakil rakyat yang menggadaikan sumber-sumber agraria untuk mendukung penumpukan kekayaan sekelompok orang. Akumulasi harta tersebut pada giliran berikutnya juga menjadi akumulasi keuntungan bagi para para pendukungnya, termasuk sejumlah anggota wakil rakyat. Mata rantai ini terus berlanjut dan menjanjikan manfaat ekonomi dan kekuasaan yang melimpah. Boleh jadi, berjibunnya para caleg saat ini tidak lepas dari bertaburnya kemilau permata yang siap dipanen dari upaya menggadaikan hak publik, termasuk tanah dan berbagai bentuk serta jenis sumber daya alam.

 

Karpet Merah Korporatokrasi

Kecenderungan sejarah dan pola perilaku individu di ruang-ruang keputusan untuk publik mendorong saya untuk mengembalikan tulisan ini pada sebuah buku yang sempat meramaikan khazanah perdebatan ekonomi, politik, hukum bahkan kebudayaan beberapa tahun silam. Judulnya, Confessions of an Economic Hit Man. Ditulis oleh John Perkins, seorang yang difermak jadi konsultan yang kemudian meremukan otonomi sistem ekonomi sebuah negara lewat ide hingga program yang mendukung korporatokrasi.

 

Korporatokrasi adalah sebuah istilah yang dipakai Perkins untuk menunjuk pada jaringan yang rapih dan sistematis yang menghubungkan perusahaan-perusahaan internasional, korporasi, bank-bank dan pemerintah untuk memastikan dengan kekuatan finansial dan politik bahwa sekolah, bisnis dan media mendukung penuh proyek kekuasaan global. Korporatokrasi hadir dalam wajah Zapata Oil milik George Bush Sr., yang kemudian mengelolah United Fruit, sebuah perusahaan raksasa yang menguasai hampir seluruh wilayah Amerika Tengah. Dia juga melekat dalam diri perusahaan raksasa konstruksi internasional, Bechtel, yang menjadi perusahaan pertama yang memenangi tender rekonstruksi Irak. Bechtel dikenal publik Amerika sebagai back up finansial yang mengendalikan Partai Republik di negri itu. Di dalamnya pernah terdapat nama-nama besar seperti George Shultz, presiden Bechtel yang menjadi Mentri Keuangan di era Nixon dan kroni keluarga Bush yang berkolaborasi satu sama lain (Perkins, 2005: xii, 30).

 

Korporatokrasi adalah wajah baru yang mengemas dan memodifikasi pola relasi lama sejak jauh sebelum Romawi dengan kekuatan-kekuatan baru untuk menundukan lawan dengan menggunakan berbagai peluang kekuasaan yang tersedia. Kekuatan ini akan mengontrol perolehan sumber daya alam yang sulit dijangkau pengawasan publik bahkan pengaruhnya justru menggunakan kekuatan otoritas politik suatu negara. Pemerintah suatu negara justru dipengarui sedemikian rupa agar mendukung ide dan rancangan yang ditawarkan. Sebagaimana dipaparkan Tania Murray Li, bahwa program-program kemajuan dari luar yang ditawarkan lewat pemerintah beroperasi melalui upaya mendidik keingingan, membentuk kebiasaan, aspirasi dan keyakinan. Program-program tersebut dibuat sedemikian rupa agar mengikuti keinginan pribadi seseorang, sehingga dia kemudian merasa seolah-olah keinginan yang terpinzamankan tersebut menjadi bagian dari keinginannya sendiri (Li, 2007: 7).

 

Tesis Li menunjukan beberapa ironi, antara lain bahwa ide tentang kemajuan sudah lama dibajak oleh rejim korporatokrasi melalui perumusan ulang kesadaran warga dengan mengemas gagasan  kemajuan seolah-olah identik dengan industri ekstraktif dan berbagai aktivitas lain yang mengeksploitasi sumber daya alam sebanyak-banyaknya. Sementara pengelolaan tradisional dianggap kuno dan terlalu kecil untuk mencapai indikator kemakmuran yang diusung para ahli ekonomi. Kekuatan utama ide ini masuk melalui pemikiran para birokrat termasuk anggota wakil rakyat yang dengan tergopoh-gopoh menopang ide ini, agar segera terwujud dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Tidak heran, di lapangan dampak penerapan ide tersebut sangat luas. Penguasaan sumber daya didistribusikan dalam jumlah besar kepada konglomerat yang menjanjikan model operasi pembangunan yang cepat meraih indikator pertumbuhan ekonomi yang terancang.

 

Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap para caleg yang sedang ber-euforia saat ini, jika tidak memahami dengan baik peta penguasaan sumber daya alam, mereka hanya akan menjadi bulan-bulanan jaringan kekuasaan yang mengontrol penguasaan sumber daya alam dengan melibas para sejumlah hambatan, termasuk rakyat kecil. Ditengarai, sudah banyak peraturan perundang-undangan yang isinya menguntungkan jaringan penguasaan sumber daya alam dan menghukum rakyat miskin dalam distribusi sumber daya yang timpang. Dalam UU Penanaman Modal, misalnya, investasi di bidang pertanian bisa diberikan kepada konglomerat asing dengan jangka waktu penguasaan lebih dari 90 tahun. Sementara dalam UU Sumber Daya Air, mata air yang selama ini gratis buat masyarakat, bisa diberikan hanya kepada seorang konglomerat untuk dikomersialkan. Produk-produk ini hanya menyisakan ruang sempit bagi masyarakat karena secara formal hampir semua wilayah penguasaan tradisional sudah dikapling untuk pihak lain. Sebuah peta kawasan di Sulawesi Tengah, misalnya, sama sekali tidak menyebut ada masyarakat di kawasan tersebut. Padahal di dalam sana, ada puluhan kampung yang mati-matian menunjukan bahwa mereka memiliki hak atas tanah.

 

Masalah peraturan perundang-undangan dan ketidakadilan penguasaan sumber daya agraria seharusnya menjadi tanggung jawab para wakil rakyat. Mestinya, para wakil rakyat zaman Romawi yang menjadi tokoh pembaruan agraria hingga bertaruh nyawa, menyisakan contoh bagi para caleg dimanapun. Mewakili berarti memberikan manfaat bagi orang yang diwakili. Jika mewakili justru lebih banyak mempromosikan kedigdayaan diri sendiri, artinya sang wakil sesungguhnya hanya mewakili dirinya sendiri. Kita seharusnya tahu, orang-orang seperti itu tidak layak menjadi wakil banyak orang.

 

------------

*) Penulis saat ini menjadi peneliti Program Access to Justice, Van Vollenhoven Institute, Leiden University. Email: [email protected]

 

 

 

Sumber:

Tania Murray Li, 2007, The Will to Improve: Governmentality, Development and the Practice of Politics, Duke University Press

 

John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man, Abdi Tandur, Jakarta, 2005

 

The Columbia Encyclopedia, Sixth Edition. 2008. Encyclopedia.com. 5 Mar. 2009 <http://www.encyclopedia.com>

The Columbia Encyclopedia, Sixth Edition. 2008. Encyclopedia.com. 5 Mar. 2009 <http://www.encyclopedia.com>

 

 

Pertama, politik dipahami betul-betul sebagai ruang iklan. Di sana, para figur berlomba-lomba menampilkan citra yang melulu baik, punya standar moral dan kualitas pengetahuan individual yang mumpuni. Tapi, segera kita bertanya, sejauh mana standar dan kualitas yang dipromosikan tersebut menyumbang manfaat bagi kepentingan publik atau rakyat banyak. Apakah ada hubungan yang jelas timbal balik antara apa yang dipromosikan dengan hasil yang nanti diperoleh ketika dia menduduki jabatan legislatif. Singkat kata, apa relevansi antara promosi yang serba super tersebut dengan kebutuhan banyak orang?

 

Kedua, kesibukan mempromosikan keberhasilan dan penonjolan diri sendiri mengabaikan isu-isu vital yang sedang bergulat di masyarakat, termasuk masalah agraria. Tahun 1955 isu tanah pernah berhembus kencang dan membuat PKI menjadi salah satu partai terbesar pemenang PEMILU. Setelah stigmatisasi PKI, isu tanah tenggelam menjadi isu negara, bukan lagi isu partai. Negara melalui birokrasi merupakan satu-satunya pengembang ide dan operasionalisasi kerangka pembaruan agraria yang akhirnya buntu, karena antara lain para birokrat dididik untuk mengangkat isu profit lebih tinggi daripada isu keadilan. Akibatnya, penguasaan sumber-sumber agraria (tanah dan kekayaan alam lainnya) masih dikontrol oleh sejumlah elit, sementara rakyat kecil makin tersisih menjadi warga tak bertanah. Penguasaan hutan di zaman Orde Baru yang tersentralisasi hanya pada sekitar sepuluh orang konglomerat pun menjadi cerita utama kedigdayaan para punggawa bisnis menguasai sumber daya alam, sekaligus mengontrol birokrasi.

 

Setelah Orde Baru tumbang, orientasi negara dan para birokratnya belum banyak berubah. Distribusi penguasaan sumber daya masih timpang. Di sejumlah kampung di Sulawesi Tengah yang sehari-hari dekat dengan tanah dan hutan, banyak keluarga yang justru menguasai tanah hanya 0,25 hektar bahkan sama sekali tak bertanah. Watak para para birokrat pun belum berubah. Ketika program nasional pendaftaran tanah (Prona) memberikan subsidi bagi proses-proses pendaftaran tanah yang biayanya cukup mahal, para birokrat lapangan justru memungut sejumlah uang yang tidak sedikit. Di sejumlah tempat, hanya untuk pendaftaran rumah, mereka memungut biaya Rp. 800.000/rumah. Harganya akan berlipat-lipat jika pendaftaran dilakukan untuk tanah pertanian. Padahal, dalam skema prona, biaya pendaftaran, pengukuran tanah, penerbitan sertifikat dan biaya-biaya yang cukup tinggi sudah dihapus.

 

Situasi ini sama sekali tidakmenjadi perhatian partai politik dan orang-orang yang duduk di sana. Lihat saja promosi yang mereka paparkan dalam baliho, iklan dan seterusnya. Hampir-hampir tidak menyentuh persoalan ini. Kebanyakan mereka mempertontonkan kedigdayaan individu dengan sejumlah gelar yang bikin siapapun tergetar. Tapi posisi mereka atau janji keberpihakan terhadap orang yang berdiri di bibir jurang kemiskinan sama sekali tidak termanifestasi dalam iklan, apalagi dalam janji formal sebagai seorang kandidat wakil rakyat.

  

Sejarah yang terus berulang

Pembaruan agraria adalah sebuah konsep tua sekaligus menunjukan ketegangan yang panjang mengenai perebutan penguasaan tanah. Menengok jauh ke belakang hingga zaman Romawi, ketegangan tersebut sangat nampak, bahkan hingga taruhan nyawa. Masa itu, kaum miskin berjuang memperoleh tanah dari para patricius atau kaum aristokrat yang menguasai tanah bekas penaklukan perang dalam jumlah yang sangat luas. Dalam hukum agraria masa itu, seharusnya tanah-tanah tersebut dikategorikan sebagai tanah publik (ager publicus) tapi karena kekuasaan aristokrat yang besar dan menguasai Senat Romawi, berbagai upaya mengontrol penguasaan tanah selalu kandas.

Tags: