Hukum Narkoba dalam Dua Neraca
Resensi

Hukum Narkoba dalam Dua Neraca

Narkoba bukan hanya ‘haram' menurut hukum negara, tetapi juga hukum agama (Islam). Buku ini berusaha memaparkan sejumlah argumentasi dan komparasi.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Hukum Narkoba dalam Dua Neraca
Hukumonline

 

Pernyataan bernada provokatif tadi (hal. 113) sejatinya mendorong siapapun untuk mengetahui lebih banyak argumentasi terhadap status narkoba dan psikotropika menurut hukum Islam, lalu membuat komparasinya dengan hukum positif nasional. Pekerjaan inilah yang dilakukan Mardani saat menyusun disertasi doktor bidang syariah, yang hasilnya dibukukan seperti sekarang.

 

Penyalahgunaan narkoba dan psikotropika adalah penyakit masyarakat yang terus berjangkit hingga kini. Belakangan, penyakit ini bukan saja menghinggapi kelompok masyarakat rentan, tetapi juga menyebar ke anak-anak sekolah. Jumlah artis, tokoh masyarakat, dan aparat hukum yang terjerat barang haram itu terus bertambah. Statisik penyalahgunaannya terus berfluktuasi.

 

Tanpa dukungan dari masyarakat, tentu saja polisi bakal kelabakan mengurusi penyalahgunaan narkoba dan psikotropika. Tindakan tegas polisi, termasuk memasuki kawasan-kawasan rawan narkoba, turut punya andil mempersempit ruang gerak pelaku. Tetapi tetap saja ada akal pelaku untuk menjalankan bisnis ini. Temuan-temuan besar belakangan memperlihatkan upaya pelaku menyembunyikan operasional bisnis narkoba beromzet miliaran ke ruang yang lebih privat seperti apartemen atau rukan berkedok warnet.

 

PENYALAHGUNAAN NARKOBA DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM DAN HUKUM PIDANA NASIONAL

 

Penulis: DR. Mardani

Penerbit: PT Rajagrafindo Persada, Jakarta

Tahun Terbit: 2008

Halaman: 280 + xxx

 

 

Upaya pemberantasan yang gencar dilakukan polisi bisa dikatakan berhasil menekan penyalahgunaan. Ada tren penurunan kasus yang terungkap seperti tergambar dalam data laporan Mabes Polri berikut. Dari 16.822 kasus pada tahun 2007 menjadi 14.467 kasus, yang berarti turun sekitar 13,99 persen pada 2008.  Kasus narkoba (ganja, heroin, hashis, kokain, kodein) melibatkan ribuan warga negara Indonesia dan 40 orang WNA. Pada kasus psikotropika (ecstacy, shabu, daftar G) tercatat 7.302 kasus dengan melibatkan 9.516 WNI dan 41 WNA. Sementara kasus berbahaya lainnya miras, jamu dan kosmetik tercatat melibatkan 14.079 orang.

 

Data ini sekaligus menunjukkan luasnya ekses narkoba dan psikotropika. Data lain yang disodorkan penulis buku memperlihatkan betapa bahaya narkoba sudah sangat memprihatinkan: jenis narkoba yang disalahgunakan semakin variatif, pemakainya bukan hanya di perkotaan tetapi hingga ke pelosok desa, dalam tiga tahun pemakai narkoba naik 400 persen (hal. 4-5).

 

Sadar atau tidak, pelaku penyalahgunaan narkoba dan psikotropika sebenarnya sudah terjerat sejumlah peraturan perundang-undangan pidana nasional. Bukan hanya sekarang, seperti yang terurai dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika atau UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Tetapi juga sejak zaman Belanda dulu, dimana dikenal Verdoovende Middelen Ordonantie. Staatblad 1927 No. 278 jo No. 536 ini lebih dikenal sebagai Ordonansi Obat Bius. Dalam neraca hukum pidana nasional, jerat yang bisa dipakai aparat cukup banyak tergantung jenis penyalahgunaannya tanpa hak (hal. 125).

 

Selain dari timbangan hukum positif nasional, ‘neraca' agama bisa dipakai. Dalam arti, bagaimana hukum agama menempatkan pemakai, pengedar, penyalur, pengekspor atau apapun namanya. Posisi hukum agama menjadi penting karena dalam proses penyembuhan, acapkali korban dan keluarganya lebih memilih ‘obat' agama ketimbang secara medis. Tidak bisa dipungkiri banyak pengguna yang sembuh setelah masuk pusat rehabilitasi yang menggunakan pendekatan agamis sebagai alat penyembuhan.

 

Penulis memilih hukum Islam sebagai neracanya. Dan, harus diakui, inilah salah satu ‘kelemahan' –kalau boleh disebut sebagai kelemahan – buku ini. Untuk buku yang berasal dari sebuah disertasi doktoral, terasa kurang komprehensif jika tidak  membahas dari perspektif hukum agama lain seperti Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu. Meskipun simpulannya sama, toh tidak ada salahnya membuat suatu komparasi yang komprehensif. Akan jauh menarik pula kalau penulis menguraikan bisnis opium di negara berpenduduk mayoritas Islam seperti Afghanistan. Bagaimana masyarakat Islam di sana memandang opium? Jawaban atas pertanyaan ini mungkin ditunggu banyak orang.

 

Disamping itu, gagasan penulis tentang penjatuhan sanksi berat kepada pelaku layak diperdebatkan (hal 182). Selain bukan merupakan suatu gagasan yang nenar-benar baru, ide penerapan sanksi berat malah bisa kontraproduktif dengan gagasan menyembuhkan pemakai tanpa menghukum berat mereka. Tidak ada jaminan sanksi berat akan membuat junkies terbebas sama sekali dari relaps (sebutan untuk ‘rindu' memakai narkoba—red). Kalau seseorang sudah wakas (sebutan yang berarti ketagihan –red), dibutuhkan banyak cara untuk menyembuhkan.

 

Lalu, darimana penulis menyimpulkan narkoba dan psikotropika haram? Apa landasannya? Apa raison d'etre-nya? Jauh lebih baik jika Anda langsung membaca argumentasi dan komparasi yang dibuat penulis. Sebab, pemahaman setiap orang dalam membaca buku bisa berbeda-beda. Silahkan membaca…

 

Kalau Anda kesulitan mendapatkan buku ini di toko buku, silahkan hubungi kami di [email protected], atau telp (021) 8370 1827 ext 210 atau 214 atas nama Farli. Sebuah diskon menarik akan kami tawarkan…

Status hukum narkoba dalam konteks fikih memang tidak disebutkan secara langsung baik dalam al-Qur'an maupun Sunnah. Pernyataan bernada agak provokatif itu datang dari Mardani, pria yang sehari-hari menjadi akademisi di Fakultas Hukum Universitas Krisna Dwipayana. Benarkah al-Qur'an dan Sunnah tak punya garis yang tegas mengenai keharaman narkoba dan psikotropika?

 

Kalau tidak membaca konteks pernyataan Mardani, bisa jadi seseorang akan memvonis narkoba boleh saja dipakai sesuka hati. Atau, malah menuduh pernyataan Mardani menyesatkan. Sebaliknya, kalau membaca konteks, melihat latar belakang pendidikan, dan membaca utuh paparan Mardani dalam buku ini, vonis demikian bakal berubah. Pendidikan tingginya, mulai strata satu hingga tiga diselesaikan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarief Hidayatullah Jakarta – sekarang bernama Universitas Islam Negeri (UIN).

Tags: