Kesalahan Karyawan Tetap Tanggung Jawab Perusahaan
Kasus Derivatif:

Kesalahan Karyawan Tetap Tanggung Jawab Perusahaan

Terlepas berwenang atau tidak, penggugat mengakui bahwa pihak yang menandatangani perjanjian transaksi derivatif adalah karyawannya. Sebagai majikan, berdasarkan Pasal 1367 KUHPerdata, perusahaan tetap bertanggung jawab atas tindakan bawahannya.

Oleh:
Nov
Bacaan 2 Menit
Kesalahan Karyawan Tetap Tanggung Jawab Perusahaan
Hukumonline

 

Oleh karena itu, PT Permata tetap melakukan transaksi. Namun, hanya sampai delapan kali transaksi. PT Permata melakukan pembatalan dini (early termination) karena menganggap perjanjian yang mereka lakukan tidak sah. Namun, pihak Citibank tetap melayangkan tagihan sebesar AS$23,192 juta. Akibat tagihan yang tak terbayar ini, Citibank melaporkan PT Permata ke Bank Indonesia. Alhasil, kolektibilitas PT Permata, dalam Sistem Informasi Debitur (SID), turun hingga kolektibilitas tiga, yang artinya kurang lancar.  Dengan penurunan ini, PT Permata merasa dirugikan.

 

Karena saat ini penggugat tidak dapat memperoleh kredit baru atau menambah kreditnya dan bermasalah dengan kredit-kredit yang sedang berjalan dengan bank-bank lainnya, urai Harry. Selain itu, reputasi PT Permata di kalangan perbankan juga menjadi rusak.

 

Padahal, di awal perjanjian, Citibank berkali-kali meyakinkan PT Permata bahwa produk derivatif (Callable Forward) yang ditawarkannya berguna untuk tujuan lindung nilai atau hedging. Tidak asal bicara, Harry mengaku klausul ini tertera dalam term sheet. Dalam term sheet Citibank menyatakan, This is a hedging strategy aimed at providing client with better-than-market forward rates. Apabila diterjemahkan, Ini adalah strategi lindung nilai (hedging) yang ditujukan untuk memberikan kepada klien market forward rate yang lebih baik lagi. Oleh karena itu, transaksi Callable Forward yang dilakukan antara PT Permata dan Citibank dianggap akan bermanfaat bagi kepentingan dan keuntungan PT Permata.

 

Bukan hanya itu, menurut PT Permata, Citibank sempat menjamin nilai tukar rupiah terhadap dolar Ameriksa Serikat (AS) tidak akan melebihi Rp 10 ribu. Sehingga, walaupun terjadi fluktuasi rupiah, PT Permata tidak akan menderita kerugian. Namun, faktanya sejak transaksi kesembilan, 3 November 2008, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sudah mencapai Rp 13 ribu per satu dolar AS. Maka dari itu, PT Permata menganggap Citibank telah melakukan penipuan.

 

Selain itu, Citibank juga dianggap tidak memberitahu dan menjelaskan resiko-resiko apa saja yang akan timbul dalam pelaksanaan transaksi Callable Forward sesuai dengan Pasal 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/31/PBI/2005 tentang Transaksi Derivatif. Mengingat, produk derivatif ini tergolong produk sophisticated (rumit), sehingga sulit dan tidak mudah dimengerti.

 

Tapi, alih-alih menjelaskan resiko, Citibank malah memuat ketentuan-ketentuan mengenai Callable Forward dalam bahasa Inggris dengan definisi-definisi yang sukar dipahami. Kemudian, secara sepihak menyatakan bahwa dengan menandatangani confirmation tanggal 5 September 2008. PT Permata dianggap telah mengetahui segala resiko yang berkaitan dengan transaksi Callable Forward.

 

Atas semua dalil yang diungkapkan PT Permata dalam repliknya, Haryo menyatakan dalam dupliknya bahwa perjanjian yang mereka lakukan tetap sah. Sehingga, sesuai perjanjian, PT Permata wajib membayarkan uang sebesar AS$ 23.192 juta kepada Citibank karena melakukan early termination.

 

Alasan PT Permata yang menganggap orang yang menandatangani kontrak tidak berkapasitas dan berwenang, menurut Haryo boleh-boleh saja dilontarkan. Yang pasti dalam ketentuan KUHPerdata Pasal 1367 menyebutkan, Seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Artinya, sebagai majikan PT Permata turut bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan bawahannya (dalam hal ini karyawannya).

 

Jadi, sekalipun dia tidak berwenang, tapi dia mengakui itu karyawannya. Dia sebagai majikan, berdasarkan Pasal 1367 dia bertanggung jawab atas tindakan bawahannya. Itu hubungan majikan dan bawahan dalam hukum perdata, jelas Haryo. 

 

Untuk klausul hedging yang dinyatakan Citibank dalam termsheet, menurut Haryo, tak lebih sebagai ilustrasi. Kita mengilustrasikan, kalau terjadi seperti ini, kok lebih dari yang diperkirakan, sehingga dia merasa rugi. Siapa yang bisa memprediksi hal itu, nggak ada yang pernah bisa.

 

Sementara untuk nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang fluktuatif, tidak dijamin oleh Citibank. Haryo menegaskan, dalam confirmation ataupun perjanjian, Citibank tidak pernah menyatakan akan menjamin nilai tukar rupiah, tidak akan melebihi Rp 10 ribu per dolar AS. PT Permata, kata dia, hanya mengambil petikan (dalam confirmation) dan menganggapnya sebagai jaminan. Padahal, jika membaca secara keseluruhan, Citibank juga menyertakan disclaimer atau penolakan. Dia hanya mengambil petikan itu sebagai jaminan. Padahal, itu kan ilustrasi. Tidak ada pernyataan kalau kita akan menjamin itu. Disclaimer ada.

 

Penghitungan ISDA 2002

Permasalahan lain yang dikemukakan PT Permata dalam repliknya adalah mengenai penghitungan biaya pemutusan kontrak (early termination) yang secara sepihak bisa ditentukan oleh Citibank. Pihak Citibank menggunakan International Swaps and Derivatives Association Inc (ISDA) Master Agreement dan Schedule tahun 2002 sebagai patokan dalam menghitung biaya early termination.

 

Namun, PT Permata sama sekali belum pernah melihat ataupun membaca rumusan ISDA tersebut. Memang, PT Permata pernah menandatangani ISDA pada tanggal 18 Mei 2001. Tapi, ISDA tersebut adalah perjanjian yang ditandatangani oleh direksi PT Permata sehubungan dengan transaksi-transaksi derivatif lain untuk tujuan hedging yang dilakukan antara PT Permata dan Citibank. Yang mana transaksi-transaksi yang didasarkan pada ISDA Master Agreement tersebut, sudah selesai dilakukan, terang Harry. Maka dari itu, ISDA tahun 2001 tidak ada hubungannya dengan transaksi Callable Forward yang dilakukan berdasarkan surat confirmation tertaggal 5 September 2008.

 

Menanggapi hal ini, Haryo menolak jika dikatakan ISDA tahun 2001 tidak ada hubungannya dengan transaksi derivatif yang dilakukan Citibank dan PT Permata saat ini. Karena confirmation itu adalah turunan dari ISDA Master Agreement dan Schedule (tahun 2001 dan 2002) yang berisi aturan dan penjabaran lebih lanjut dari apa yang dibicarakan sebelumnya. Nah, itu kan seolah-olah dapat dianggap sebagai suatu perjanjian lalu ada lampiran. Ini satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dari itu. Jadi, kalau dia bilang sepotong-potong, nggak ada hubungannya, kita juga menolak.

 

Lagipula, kata Haryo, ISDA tahun 2001 maupun 2002 belum diputus atau dicabut. Sehingga, pihak Citibank menganggap kedua-duanya masih berlaku. Kalau dia mendalilkan itu. Itu belum ada yang dicabut. jadi, kita menganggap bahwa confirmation itu sah. Secara umum itu masih berlaku, sambung Haryo.

Persidangan perkara derivatif antara perusahaan kelapa sawit PT Permata Hijau Sawit melawan Citibank N.A. masih terus berlanjut. Kali ini, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Artha Theresia mengagendakan tanggapan atas replik dari pihak penggugat (duplik). Namun, kuasa hukum Citibank, Haryo Wibowo mengatakan pihaknya belum siap dengan duplik, karena masih ada beberapa hal yang harus dikoordinasikan dengan kliennya. Untuk itu, ketua majelis menunda sidang sampai minggu depan (07/05).

 

Sebelumnya, PT Permata mengajukan replik dan jawaban atas rekonpesi yang diajukan Citibank. Diwakili kuasa hukumnya, Harry F. Simanjuntak, PT Permata tetap menolak perjanjian transaksi Callable Forward yang telah mereka sepakati. Alasannya, perjanjian tersebut ditandatangani oleh pihak yang tidak berkapasitas dan berwenang. Si penandatangan hanyalah seorang sekretaris PT Permata yang tidak diberi kuasa untuk menandatangani perjanjian yang dimaksud.

 

Direksi PT Permata baru mengetahui adanya transaksi Callable Forward setelah ada laporan dari karyawannya pada 11 Oktober 2008. Ketika itu, transaksi sudah enam kali dilakukan. Namun, manajemen PT Permata tetap meneruskan transaksi, sampai transaksi kedelapan. Hal ini dilakukan sebab PT Permata mendapat ancaman dari Citibank. Apabila penggugat (PT Permata) tidak melaksanakan transaksi Callable Forward, maka rating penggugat di Bank Indonesia akan turun oleh karena pembayaran yang tidak dilakukan penggugat akan dianggap sebagai kredit yang bermasalah, ungkap Harry.

Halaman Selanjutnya:
Tags: