Pembatalan MSAA Akan Menimbulkan Komplikasi Lebih Rumit
Berita

Pembatalan MSAA Akan Menimbulkan Komplikasi Lebih Rumit

Jakarta, Hukunonline. Kontroversi yang menyangkut Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA) antara BPPN dan para konglomerat pengutang, masih berlangsung. Sebagian berpendapat MSAA dibatalkan atau direvisi. Namun pakar hukum pada umumnya berpendapat MSAA tidak dapat dibatalkan begitu saja.

Oleh:
Leo/APr
Bacaan 2 Menit
Pembatalan MSAA Akan Menimbulkan Komplikasi Lebih Rumit
Hukumonline
Bahkan Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) pun tidak satu suara mengenai MSAA. Kepala BPPN Cacuk Sudarijanto menyatakan bahwa MSAA akan diberlakukan untuk bank-bank yang sudah ditandatangani.

Namun, Marie Muhammad selaku Ketua Komite Eksekutif dan Pemantau Pelaksanaan Tugas BPPN berpendapat bahwa MSAA harus direvisi. Dengan keadaan saat ini, MSAA perlu direvisi agar kerugian negara bisa dibuat seminimal mungkin, ujarnya usai bertemu menko Ekuin Kwik Kian Gie pada 27 Juli 2000. Kwik adalah pejabat pertama yang mengusulkan agar MSAA dibatalkan.

Pradjoto, pakar hukum perbankan, berpendapat bahwa apapun yang terjadi, pembatalan MSAA begitu saja akan menimbulkan komplikasi yang lebih rumit di masa depan. Ia menyatakan pendapatnya di sela-sela seminar dengan tema Solusi Debitor Kecil Untuk Menatap Masa Depan Nusantara yang Sejahtera di Jakarta.

Menurut Pradjoto, cara yang terbaik adalah melakukan renegosiasi. Dalam negosiasi ulang tersebut, ditetapkan kerugian akan dipikul dengan cara seperti apa. Pasalnya, kalau dipikul oleh negara, rasanya berat diterima oleh akal sehat. Carilah solusi yang paling menguntungkan negara, acuannya harus menguntungkan negara, tegasnya

Pradjoto yang juga anggota Komisi Ombudsman BPPN menyatakan bahwa yang jelas, secara yuridis dengan adanya settlement agreement ini MSAA sudah mengikat. Bahwa terjadi kemerosotan aset dan pemerintah mengajukan pembatalan malah akan menjadikan pengusaha mengajukan gugatan yang akan menyebabkan aset menjadi stagnan.

Unsur pidana

Preseden timbulnya permasalahan dalam mekanisme MSAA mulai timbul sejak Sjamsul Nursalim (boss Grup Gadjah Tunggal), salah satu konglomerat yang menandatangani MSAA, tidak memenuhi kewajibannya ke BPPN.

Sjamsul Nursalim seharusnya menyerahkan saham-sahamnya di PT. Gadjah Tunggal Tire, PT. Gadjah Tunggal Petrochemical Industries, dan PT. Dipasena ditambah setoran tunai Rp1 trilyun. Selain baru menyetor sebanyak Rp337 miliar, ternyata penyerahan saham-saham yang diperjanjikan dalam MSAA sama sekali tidak dipenuhi. Belum lagi adanya perhitungan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut nilanya akan sangat berkurang pada saat ini dibandingkan dengan pada saat diserahkan ke BPPN.

MSAA dibuat karena pada saat itu sulit sekali memperoleh uang tunai, sehingga pembayaran dilakukan dengan menggunakan aset. Melalui mekanisme MSAA, selain memberikan banyak keringanan-keringanan pembayaran bagi pelanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) ternyata juga ditengarai akan membebaskan mereka dari tuntutan pidana.

Agak sulit untuk menganalisa MSAA secara lebih komprehensif mengingat pihak-pihak yang menandatangani MSAA biasanya menganggap dokumen tersebut sebagai suatu rahasia, jadi hampir tidak mungkin untuk memperolehnya komentar salah satu sumber Hukumonline.

Harkristuti Harkrisnowo, dosen hukum pidana FHUI, berpendapat bahwa yang bisa menghilangkan unsur pidana hanya Undang-Undang, walaupun perjanjian itu sendiri dianggap sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Dalam hal ini harus dilihat apakah perjanjian itu bertentangan atau tidak dengan UU yang lebih tinggi tingkatannya.

Harkristuti menambahkan bahwa apabila unsur pidana pelanggaran BMPK, yang bersangkutan akan tetap terkena delik pidana walaupun telah dibuat perjanjian MSAA. Isi perjanjian MSAA itu sendiri harus dilihat apakah memenuhi syarat-syarat perjanjian, terutama mengenai causa yang halal.

Ichsanudin Noersy, mantan anggota DPR, berkomentar sedikit berbeda. MSAA tetap bisa dibatalkan karena ada pertentangan azas-azas hukum dimana penyelesaian perdata meniadakan pidana kata Ichsanudin. Ia menambahkan bahwa nantinya prosedur pembatalan harus diajukan ke pengadilan karena MSAA sudah merupakan perjanjian yang mengikat kedua belah pihak.

Menurut Ichsanudin, aset yang sudah dijual tetap bisa dihitung. Caranya dengan dimasukkan ke dalam perjanjian baru sebagai sesuatu yang diperhitungkan. Bisa dimasukkan ke dalam perjanjian bahwa sudah ada penjualan, tegasnya.
Tags: