Skandal di Balik Kontrak Derivatif
Fokus

Skandal di Balik Kontrak Derivatif

Seabrek peraturan tentang transaksi derivatif sudah diterbitkan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia. Namun sengketa derivatif tak kunjung selesai dan kasusnya selalu berulang. Ada yang menganggap transaksi derivatif sebagai judi.

Oleh:
Sut
Bacaan 2 Menit
Skandal di Balik Kontrak Derivatif
Hukumonline

 

Menurut PDD Darmawan, praktisi hukum bisnis, dalam Temu Karya Terbatas: Transaksi Derivatif, April 1999 silam, peraturan tentang penerimaan kredit luar negeri, khususnya ketentuan tentang kewajiban pelaporan penerimaan kredit/pinjaman luar negeri kepada Bank Indonesia/Departemen Keuangan, mengingkari transaksi penerimaan kredit/pinjaman luar negeri. 

 

Rentetan kasus itu menggambarkan fenomena derivatif yang selalu berulang. Maka, wajar jika ada yang mengatakan kalau derivatif adalah masalah klasik yang tak pernah selesai. Buktinya, fenomena itu selalu terulang sampai sekarang. Berdasarkan catatan hukumonline, ada tiga perkara yang sedang diperiksa pengadilan, yakni perkara perdata PT Permata Hijau Sawit melawan Citibank N.A, perkara PT Esa Kertas Nusantara melawan PT Bank Danamon Tbk, dan perkara PT Nubika Jaya melawan PT Standard Chartered Bank.

 

Kerugian bank (bisa) terukur

 

Rumit, canggih dan sulit dimengerti. Itulah kontrak derivatif. Kerumitan kontrak itu bahkan diakui oleh Deputi Gubernur BI Siti Chalimah Fadjriah. Maka tak ayal banyak nasabah yang komplain terhadap bank ketika mengetahui belakangan maksud dari kontrak derivatif—tentu setelah mereka tanda tangan kontrak. Ada yang bilang kontrak sulit dimengerti, ilegal, dan bahkan ada yang mengatakan kontrak tidak seimbang (tidak adil).

 

Namun benarkah kontrak derivatif tidak seimbang? Untuk yang satu ini, coba perhatikan PBI No. 7/31/PBI/2005 tentang Transaksi Derivatif. Dalam Pasal 8 (1) PBI ditegaskan kerugian bank paling banyak 10 persen dari modal bank secara kumulatif dalam tahun berjalan. Lalu bagaimana dengan kerugian nasabah? Tidak disebut-sebut sama sekali dalam PBI itu. Secara logika awam, ketentuan ini menegaskan bahwa resiko kerugian bank sudah terukur, sementara kerugian nasabah tidak bisa tidak terukur. Inilah yang menjadi masalah.

 

Definisi transaksi derivatif sendiri menurut PBI No. 7 adalah transaksi yang didasari perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, ekuiti dan indeks, baik yang diikuti dengan pergerakan atau tanpa pergerakan dana atau instrumen, namun tidak termasuk transaksi derivatif kredit.

 

Sebetulnya, BI sudah memberi batasan aman bagi bank maupun nasabah yang mau bermain derivatif. Buktinya, dalam PBI Transaksi Derivatif, BI menentukan klausul-klausul yang harus ada dalam kontrak (Pasal 4). Bahkan untuk huruf dalam kontrak pun wajib dicetak dalam ukuran yang besar supaya mudah dibaca.

 

Lantas apa yang salah? Tidak ada yang salah jika di awal kontrak para pihak mengerti hak dan kewajiban masing-masing. Inilah yang ingin ditekankan BI. Sebab, tujuan awal transaksi derivatif adalah untuk hedging (lindung nilai) aset perusahaan di masa yang akan datang, dan bukan untuk untung-untungan. Seperti halnya jual-beli saham, jika nasabah melihat transaksi derivatif secara subjektif alias mencari keuntungan dengan cara spekulatif, tentu transaksi ini  sudah mengarah ke judi.

 

Untuk itu BI menghimbau bank-bank supaya transparan dan detil dalam menjelaskan kontrak derivatif, termasuk soal potensi kerugian bank maupun nasabah. Sementara buat nasabah, BI meminta supaya nasabah memahami betul isi dalam kontrak. Nasabah juga jangan segan-segan untuk bertanya kepada bank kalau tidak mengerti isi kontrak. Nasabah jangan mudah tergiur bujuk rayu marketing bank yang menawarkan keuntungan dari produk ini. Selain itu nasabah hendaknya memprediksi resiko yang bakal dia tanggung dari transaksi ini. Meski bukan produk pasar modal, namun produk derivatif versi perbankan rentan terhadap resiko nilai tukar mata uang. Jika mata uang rupiah melemah di hadapan dolar Amerika, hampir dipastikan nasabah merugi.

 

Meski demikian, apabila tertarik terhadap produk ini, pilihlah produk yang relatif aman. Misalnya, produk dengan kontrak jangka waktu (term) yang tidak terlalu lama. Hal ini untuk menghindari resiko fluktuatif yang berlebihan dari nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Di kala krisis,  kontrak derivatif biasanya memakan korban, sebab nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika bergerak liar alias jomplang. Dan yang paling penting, jangan lupa untuk memperhatikan klausul penyelesaian sengketa yang bisa ditimbulkan dari transaksi ini.

 

Oleh karena itu, jika tidak paham betul dan ragu, lebih baik tanggalkan kontrak ini, toh masih banyak instrumen investasi lain yang minim resiko. Namun semuanya terserah Anda.

 

Restrukturisasi Kontrak?

Tudingan pun ditujukan ke Bank Indonesia (BI). Otoritas perbankan dan moneter itu dianggap lepas tangan dari konflik nasabah dengan bank yang sedang menghangat. Bahkan, anggota DPR dari Komisi XI Drajad H Wibowo mendesak BI untuk melarang semua transaksi derivatif. Pelarangan ini jelas putusan yang sulit dilakukan lembaga yang dipimpin Boediono itu. Pertanyaannya sederhana, bagaimana dengan kontrak yang sedang berjalan? Tentu bukan perkara mudah untuk memutus kontrak di tengah jalan.

 

Kondisi itulah yang dikhawatirkan BI jika melarang transaksi derivatif saat ini. Meski demikian, bukan berarti BI diam saja. Semenjak kisruh derivatif akhir-akhir ini gencar, BI mulai menerbitkan aturan yang memperketat transaksi derivatif. Salah satunya yang diterbitkan Desember tahun lalu. BI menerbitkan Peraturan BI No. 10/37/PBI/2008 tentang Transaksi Valuta Asing (Valas) Terhadap Rupiah. Pasal 5 PBI No. 10 mengatur, bank dilarang melakukan transaksi valas terhadap rupiah apabila transaksi atau potensi transaksi mengarah pada structured product.

 

Structured product adalah produk yang merupakan kombinasi berbagai instrumen dengan transaksi derivatif valas terhadap rupiah. Tujuannya mendapatkan tambahan income (return enchancement) yang dapat mendorong transaksi pembelian dan/atau penjualan valas terhadap rupiah untuk tujuan spekulatif dan dapat menimbulkan ketidakstabilan rupiah.

 

Masih di dalam PBI No. 10, bank juga dilarang memberikan kredit dalam valas dan/atau dalam rupiah kepada nasabah untuk kepentingan transaksi derivatif valas terhadap rupiah. Bank dilarang memberikan cerukan—saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari—kepada nasabah dalam transaksi valas terhadap rupiah. 

 

Larangan-larangan itu ternyata belum menjawab permasalahan yang ada. Pihak-pihak yang bersengketa kembali menanyakan bagaimana terhadap kontrak yang belum jatuh tempo. BI pun berpikir ulang. Akhirnya pimpinan BI sepakat, bahwa kontrak derivatif bisa direstrukturisasi. Ketentuan itulah yang diatur dalam PBI No. 11/14/PBI/2009 tanggal 17 April 2009. Isinya mengubah sebagian pasal dalam PBI No. 10, yakni Pasal 13, 14 dan penjelasan Pasal 12.

 

Pasal 13 PBI No. 11 menjelaskan setiap transaksi valas terhadap rupiah yang dilakukan sebelum terbitnya PBI No. 10, dapat diteruskan sampai jatuh waktu kontrak. PBI ini juga memungkinkan para pihak untuk menyelesaikan transaksi tanpa pergerakan dana pokok. Caranya melalui: (a) percepatan penyelesaian (early termination) atau penghentian (unwind) transaksi valas terhadap rupiah; (b) penyelesaian transaksi melalui restrukturisasi kontrak transaksi valas terhadap rupiah; (c) penyelesaian transaksi dengan menggunakan dana pinjaman dari bank. Yang paling penting dalam ketentuan itu adalah restrukturisasi harus berdasarkan kesepakatan tertulis dengan menggunakan mata uang rupiah.

 

Intinya, kontrak tidak boleh direstrukturisasi dengan cara membuat kontrak (derivatif) baru. Misalnya, jika dalam penyelesaian transaksi derivatif tidak ada titik temu antara nasabah dengan bank, maka kontrak bisa dikonversi menjadi pinjaman (utang). Masalahnya tidak semua nasabah mau melakukan itu, bahkan ada yang mengatakan konversi kontrak sebagai bentuk ilegal.

 

Praktisi hukum Ricardo Simanjuntak mengamini bahwa kontrak derivatif bisa direstrukturisasi. Hanya dia mengingatkan agar PBI No. 11 tidak merugikan bagi pihak-pihak yang menggunakan PBI tersebut. Jika ada UU yang baru berbeda dengan ketentuan UU yang lama, maka pemakai UU harus dilindungi dengan tetap memberlakukan UU yang lama sebagai dasar dari aktivitas hukum yang dia lakukan berdasarkan UU yang lama itu, kecuali UU yang baru mengatakan retroaktif. Kalau tiba-tiba ada UU baru yang mengalahkan semua transaksi, tak ada orang yang mau transaksi, papar Ricardo. 

 

Kini, peraturan mengenai derivatif sudah sedemikian lengkap, kontrak pun dapat direvisi. Sekarang pertanyaannya, apakah sengketa derivatif di kemudian hari bakal kembali terulang? Wallahua'lam bissawab!

Fenomena itu kembali berulang. Setelah 10 tahun redup, skandal derivatif kembali menggema. Sejumlah nasabah korporasi, termasuk BUMN (Badan Usaha Milik Negara), ramai-ramai menggugat bank. Registrasi gugatan atas kontrak derivatif pun membanjiri beberapa pengadilan negeri di Jakarta.

 

Rupanya, kontrak derivatif kembali menelan korban. Nasabah merasa dirugikan lantaran kontrak dianggap tak seimbang. Bank sendiri merasa sudah benar, sebab nasabah telah menyetujui dan menandatangani kontrak yang klausulnya sebagian besar dirancang oleh ISDA (International Swap and Derivatives Association Inc.) Entah siapa yang benar, yang jelas fenomena ini terjadi tatkala nilai rupiah terhadap dolar Amerika jatuh ke jurang yang paling dalam.

 

Jika melihat kembali ke belakang, krisis 1997/1998 membawa dampak yang sama terhadap kontrak-kontrak derivatif. Kala itu banyak terjadi gugatan terhadap bank. Di antaranya perkara PT Suryamas Duta Makmur melawan PT Bank Niaga Tbk (sekarang CIMB Niaga), perkara PT Dharmala Agrifood melawan Bank Niaga, PT ING Indonesia Bank dan International Finance Corporation. Lalu perkara perdata PT Nugra Santana melawan PT Bank Credit Lyonnais Indonesia.

 

Bahkan jauh sebelum 1997/1998, skandal derivatif pernah merasuk di era 1980-an. Kasus-kasus yang mencuat antara lain perkara perdata PT Indokarya Nissan Motors melawan Marubeni Corporation (1984), dan perkara perdata PT Starlight Prime Thermoplas melawan Bank of America National Trust & Saving Association (1985).

 

Kasus yang paling kontroversial terjadi pada 1982. Kala itu tiga orang yang berdomisili di Singapura menggugat The (Standard) Chartered Bank—sekarang Standard Chartered Bank. Ketiganya adalah Lim Poh Hock alias Lim A Soen, Eddy Rachman dan Ngo Pit Cheong. Kasus ini sempat mencoreng citra peradilan Indonesia dan membuat dunia perbankan goncang. Pasalnya, putusan perkara itu—hingga inkracht—pada intinya menyatakan, tidak memenuhi kewajiban pelaporan penerimaan kredit luar negeri mengakibatkan persetujuan kredit menurut hukum menjadi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum pula.

 

Usut punya usut, ketiga penggugat berlindung di balik Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1971, Keputusan Presiden No. 59 Tahun 1972, Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 261/MK/IV/5/73, serta peraturan pelaksanaan yang diterbitkan Bank Indonesia. Inti dari peraturan itu mengatur tentang penerimaan luar negeri.

Tags: