Peraturan Komisi, Sebuah Produk State Auxilliary Agencies
Oleh: Aru Armando *)

Peraturan Komisi, Sebuah Produk State Auxilliary Agencies

State Auxilliary Agencies memunculkan beragam pertanyaan. Mulai dari eksistensi atas keberadaan dan kewenangan hingga produk yang dikeluarkan. Salah satu ciri yang melekat adalah lembaga yang berhak mengatur dirinya sendiri. Dikenal sebagai self regulatory bodies.

Bacaan 2 Menit
Peraturan Komisi, Sebuah Produk State Auxilliary Agencies
Hukumonline

 

Perkembangan yang terjadi, muncul sebuah konsep pembentukan state auxilliary agencies. Beberapa pakar mengartikan state auxiliary agencies dengan istilah Lembaga Negara Sampiran, Lembaga Negara Tambahan, dan adapula yang mengartikan Lembaga Negara Mandiri. Penulis memilih menggunakan istilah Lembaga Negara Mandiri sesuai konteks kemandirian/independensi sebuah state auxilliary agencies.

 

Sebagai perbandingan yang berkorelasi dengan konteks sejarah dan KPPU, dunia mencatat kelahiran sebuah lembaga pengawas usaha di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1914 dengan nama Federal Trade Commission (FTC). FTC lahir dalam situasi dunia yang sedang dilanda resesi hebat. Praktik-praktik usaha tidak sehat, serupa underpricing dan pembentukan struktur monopolistik dalam pasar melalui merger misalnya menjadi praktik untuk mematikan usaha pesaing yang lebih lemah. Presiden AS Wodrow Wilson mengungkapkan, seperti dikutip  Barbanti dalam The Role of Law In Political Development, When biggers business destroy it's weaker competitors by underpricing and making monopolistic merger, government create agencies and laws to establish fair competition (Cornelis Lay, Komisi Negara).

 

Pembentukan lembaga ekstra semacam FTC di AS ini seiring dengan meluasnya peran parlemen dalam struktur ketatanegaraan sebagai akibat akselerasi dinamika masyarakat yang makin kompleks dan menghadirkan tantangan-tantangan yang berbeda dari sebelumnya sehingga membutuhkan jawaban-jawaban baru yang harus segera ditemukan. Menurut catatan Jimly Asshidiqie (mantan Hakim Konstitusi), lembaga serupa FTC tercatat tidak kurang dari 30 buah yang merupakan badan-badan khusus yang relatif independent dengan tugas menjalankan fungsi yang bersifat semi yudisial dan semi legislatif (A. Ahsin Tohari, Komisi Negara).

 

Self Regulatory Bodies

Salah satu ciri yang melekat pada Lembaga Negara Mandiri  adalah, lembaga yang berhak mengatur dirinya sendiri atau dikenal dengan istilah self regulatory bodies. Kewenangan untuk mengatur dirinya dengan mengeluarkan sebuah produk, entah bernama Keputusan, Peraturan dan sebagainya ini menurut penulis logis mengingat fungsi dari Lembaga Negara tersebut yang relatif independen. Lembaga Negara Mandiri tentu harus memiliki kewenangan mengatur dirinya untuk menghindarkan ketergantungan lembaga Negara ini terhadap lembaga lain, tentu saja terkait dengan fungsi dan kewenangan lembaga Negara mandiri. Kewenangan KPPU untuk mengeluarkan produk untuk mengatur dirinya ini secara formil disebutkan dalam Pasal 35 huruf f UU 5/1999.

 

Lembaga Negara Mandiri sebagai self regulatory bodies ini juga diakui oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK dalam Perkara Nomor 005/PUU-I/2003 terkait pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) terhadap UUD 1945, menyatakan dua hal penting terkait posisi Lembaga Negara Mandiri dan kewenangan Lembaga Negara Mandiri tersebut mengeluarkan produk hukum, bahkan yang bersifat mengatur sanksi administratif sekalipun.

 

Pertama, tentang kedudukan Lembaga Negara Mandiri. Dalam Putusan MK tersebut, obyek lembaga adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Menurut MK, bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia istilah lembaga Negara tidak selalu dimaksudkan sebagai lembaga Negara yang disebutkan dalam UUD 1945 yang keberadaannya atas dasar perintah Konstitusi, tetapi juga ada lembaga Negara yang dibentuk atas perintah UU dan bahkan ada lembaga Negara yang dibentuk atas dasar Keputusan Presiden. KPI yang oleh UU Penyiaran disebut lembaga Negara tidak bertentangan dengan UUD 1945.

 

Kedua, tentang kewenangan mengeluarkan aturan. Masih dalam Putusan Perkara yang sama, MK menyatakan bahwa sebagai lembaga negara yang independen, seyogianya KPI juga diberikan kewenangan untuk membuat regulasi sendiri atas hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan 8 UU Penyiaran.

 

MK sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk menafsirkan Konstitusi telah mengakui eksistensi Lembaga Negara Mandiri plus kewenangan lembaga tersebut. Bahkan jika sedikit memperluas cakupan bahasan, MK pun mengakui kewenangan Lembaga Negara Mandiri untuk menjatuhkan sanksi administratif dengan syarat penerapannya harus memenuhi azas due process of law.

 

Kedudukan Perkom

Untuk mengetahui dimana atau seperti apa kedudukan Perkom, ada baiknya kita melihat Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Didalam Pasal 7 UU 10/2004 yang mengatur tentang jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan, Perkom tidak disebutkan secara eksplisit sebagai jenis Peraturan Perundang-undangan. Namun demikian, Penjelasan Pasal 7 ayat (4) UU 10/2004 menyebutkan bahwa jenis Peraturan Perundang-undangan lain selain dalam ketentuan UU 10/2004 salah satunya adalah Peraturan yang dikeluarkan Komisi yang dibentuk oleh Undang-undang atau oleh Pemerintah atas perintah Undang-undang.

 

Dengan demikian jelas secara formal Perkom adalah termasuk jenis Peraturan Perundang-undangan. Hal mana juga disampaikan oleh Maria Farida –Hakim Konstitusi-  yang menyatakan keputusan Badan Negara adalah salah satu jenis peraturan perundang-undangan (Maria Farida, Ilmu Perundangan).

 

Jika memang Perkom termasuk sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan, pertanyaan lanjutannya adalah bagaimana cara atau forum apa yang dapat digunakan untuk menguji Perkom. Dalam sistem hukum di Indonesia sendiri terdapat dua lemabaga negara yang mempunyai kewenangan untuk melakukan uji materiil atas peraturan perundang-undangan, yakni Mahkamah Agung (MA) dan MK. MA adalah lembaga yang berwenang untuk melakukan judicial review (uji materiil) Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-undang, dan MK yang melakukan judicial review atau constitutional review atas UU terhadap UUD 1945.

 

Jika melihat yurisprudensi yang ada, MA pernah memeriksa dan memutus suatu pengajuan judicial review Peraturan yang dikeluarkan oleh KPI. Adalah Surat Keputusan KPI bernomor 009/SK/KPI/2004 tertanggal 30 Agustus 2004 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran  dan Standar Program Siaran (SK KPI 009) yang di-judicial review-kan oleh Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) ke MA.

 

Singkatnya, MA mengabulkan judicial review yang diajukan ATVSI. Pertimbangan hukum MA, materi SK KPI 009 telah mengubah materi dan substansi dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya, yakni Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pada amar putusan, hakim memerintahkan agar KPI  segera mencabut SK KPI 009 yang memuat Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Apabila dalam 90 hari setelah putusan disampaikan tak juga dicabut, maka SK tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (hukumonline, 28/5/07).

 

Khusus pengalaman berperkara KPPU di MA, telah beberapa kali para Terlapor  dalam perkara persaingan usaha di KPPU mempersoalkan keabsahan dari Perkom yang dikeluarkan oleh KPPU -khususnya Perkom No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Berperkara di KPPU- dengan bermacam dalil tentu saja, namun hingga saat ini MA masih mengakui keabsahan dan keberlakuan dari Perkom yang dikeluarkan oleh KPPU.

 

Berkaca pada perkara di MA yang tersebut diatas, apakah dapat disimpulkan bahwa Perkom hanya dapat di-judicial review di MA. Menurut rekan penulis yang juga Pakar Hukum Tata Negara, Perkom pada prinsipnya dapat diuji atau dilakukan constitutional review ke MK. Alasannya, dengan menggunakan teori wet in materiele zin maka Perkom adalah UU dalam pengertian materiil. Sehingga dengan sifatnya itu Perkom dapat diperlakukan seperti UU sehingga dapat di uji oleh MK.

 

Untuk menguji apakah benar Perkom dapat di-judicial review di MK perlu dilihat tempat dimana teori wet in materiele zin ini diterapkan. Adalah Belanda yang mengenal konsep wet in materiele zin ini. Selain wet in materiele zin, di Belanda juga dikenal istilah wet in formele zin. Secara harafiah, pengertian wet in formele zin adalah Undang-undang dalam arti formal. Apa beda wet in materiele zin  dengan wet in formele zin, bedanya adalah proses dan siapa yang membuatnya. Wet in formele zin dibuat bersama antara Pemerintah dan Lembaga Legislatif Belanda secara bersama-sama, sementara wet in materiele zin adalah setiap keputusan yang mengikat umum (algemeen verbindende voorschriften) baik yang dibuat bersama-sama antara Pemerintah dan Lembaga Legislatif maupun yang dibuat oleh lembaga lain yang lebih rendah misalnya Menteri atau Pemerintah Propinsi.

 

A. Hamid S. Attamimi menyatakan, dalam pengertian wet dalam arti formal dan wet dalam arti material, kata wet khusus di sini tidak tepat apabila diterjemahkan dengan undang-undang. Jadi  tidak tepat apabila kata-kata wet in formele zin diterjemahkan dengan Undang-undang dalam arti formal ataupun kata-kata  wet in materiele zin diterjemahkan dengan undang-undang dalam arti material karena kata-kata Undang-undang  dalam bahasa Indoensia tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan konteks pengertian ketatanegaraan Indonesia menurut UUD 1945. Apabila dilepaskan dari konteks pengertian tersebut, akan timbul kerancuan mengenai pemahamannya (Maria Farida, Ilmu Peundang-undangan).

 

Dengan penjelasan singkat diatas, dapat disimpulkan jika Perkom yang dikeluarkan oleh KPPU adalah suatu produk peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Lembaga Negara dan diakui baik secara teori hukum maupun lembaga yang mempunyai kewenangan cukup, yakni MA dan MK.

 

------

*) Penulis adalah Staf Komisi Pengawas Persaingan Usaha pada Direktorat Penegakan Hukum. Versi awal tulisan ini pernah dimuat dalam majalah Kompetisi.

 

 

Sesaat sebelum Peraturan Komisi (Perkom) terkait Merger dan Akuisisi disahkan atau diberlakukan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyampaikan kepada publik draft Perkom tentang Merger dan Akuisisi tersebut dengan maksud untuk mendapatkan masukan dan kritik sebelum draft tersebut disahkan. Masukan dan kritik pun masuk, ada yang mempertanyakan tentang substansinya, adapula yang meragukan keabsahan atau keberlakuan Perkom itu.

 

Tulisan ini tidak secara khusus membahas Perkom Merger dan Akuisisi, namun membahas secara umum hal-hal yang terkait dengan Peraturan Komisi yang dikeluarkan KPPU. Sampai saat ini KPPU tercatat telah menerbitkan 3 Perkom, yakni Perkom No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU, Perkom No. 2 Tahun 2008 tentang Kewenangan Sekretariat Komisi Dalam Penanganan Perkara dan Perkom No. 1 Tahun 2009 tentang Pra-Notifikasi Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan. Adapun dasar KPPU mengeluarkan Perkom-perkom tersebut seperti terlihat dalam konsideran Perkom adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal 35 huruf f UU 5/1999 menyebutkan, salah satu tugas Komisi meliputi menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan UU. Jika memang UU 5/1999 mengamanatkan demikian, apakah secara teori ketatanegaraan Lembaga Negara seperti KPPU dapat/diperbolehkan mengeluarkan suatu Peraturan Perundang-undangan yang bersifat mengatur dan mengikat.

 

Sebelum menjawab pertanyaan diatas perlu dilakukan kilas balik teori klasik pemisahan kekuasaan yang dicetuskan oleh John Locke (1632-1704) dan dikembangkan oleh Montesquieu (1689-1755). Montesquieu dalam teori yang akrab disebut Trias Politika memisahkan kekuasaan Negara menjadi tiga kamar, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Teori yang banyak dianut banyak Negara ini lambat laun mengalami pemudaran secara massif, atau dapat dikatakan beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang berkembang.

Tags: