Hukum sebagai Instrumen: Instrumen Pasar atau Instrumen Kepentingan?
Oleh: Dian Rosita *)

Hukum sebagai Instrumen: Instrumen Pasar atau Instrumen Kepentingan?

Saya merasa tertarik sekaligus bersemangat ketika membaca kolom Melly Darsa di majalah Tempo, beberapa waktu lalu mengenai neoliberalisme dan globalisasi. Akhir-akhir ini istilah neoliberalisme memang sering sekali lalu lalang di berbagai media, diungkapkan oleh berbagai pihak, dengan berbagai kepentingan.

Bacaan 2 Menit
Hukum sebagai Instrumen: Instrumen Pasar atau Instrumen Kepentingan?
Hukumonline

 

Rezim globalisasi ditandai dengan adanya penurunan secara sistematis berbagai penghalang terhadap arus lintas batas atas buruh, modal, produk, teknologi, pengetahuan, informasi, sistem kepercayaan, nilai dan pemikiran (Kaplinsky, 2006). Semakin beragamnya pola hubungan antara global dan regional telah mengikis batas antar Negara dan antar bangsa dimana berbagai tindakan politik, hukum, ekonomi dan sosial lainnya semakin meluas dan melintasi batas-batas antar Negara. Ketika ekonomi dan perdagangan semakin mendunia maka perkembangan ini membawa konsekuensi pada mendunianya sektor hukum yang ditandai dengan meningkatnya ekspansi rezim hukum internasional dalam bidang hukum publik dan privat. Ide mengenai Negara sebagai satu-satunya pemilik kedaulatan dalam penyusunan hukum semakin melemah dengan munculnya berbagai pola interaksi hukum yang melintasi batas-batas antara hukum internasional dan nasional, berbagai praktek yuridis baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional.

 

Ide untuk meningkatkan ketergantungan kepada pasar (dibandingkan kepada Negara) yang dibawa oleh rezim globalisasi memang tidak dapat dipisahkan dari gerakan ekonomi liberal yang berasal dari "Konsensus Washington" yang menghendaki reduksi secara sistematis terhadap peran Negara dalam sistem ekonomi nasional hingga ke titik minimal. Negara dianggap telah gagal, sehingga peran kontrol Negara perlu dialihkan kepada kehendak pasar.

 

Transformasi Indonesia menuju pada pasar liberal semakin nyata sebagai bagian dari resep pemulihan pasca krisis ekonomi 1997-1998. Dalam situasi ekonomi Negara yang morat-marit, perusahaan-perusahaan besar terlanda hutang dan perbankan nasional mengalami kejatuhan, Indonesia menandatangani skema structural adjustment yang digulirkan oleh IMF. Dua tuntutan IMF yang paling berpengaruh terhadap perubahan konstalasi ekonomi dan juga politik yaitu desentralisasi kewenangan adminsitratif dan rekapitalisasi perbankan nasional (Hadiz, Robinson, 2004).

 

What's law got to do with it?

Mereka yang mempercayai kekuatan pasar dalam menentukan keberhasilan pembangunan akan memilih untuk mengurangi campur tangan Negara dari perekonomian, kecuali melalui hukum yang menyediakan instrumen bagi pasar agar dapat berfungsi dengan baik (Trubek, 2006).  Untuk mendukung  pertumbuhan ekonomi dan pasar bebas, salah satu elemen prinsip yang perlu ada adalah legal framework for development' (World Bank 1992). Tesis yang mengemuka dalam hukum dan kapitalisme adalah bahwa makin tinggi Rule of Law maka makin tinggi keberhasilan pembangunan ekonomi. Hukum oleh sebagian pihak dinilai lebih mampu memberikan solusi yang terukur dibandingkan dengan analisa ekonomi dan politik yang kerap kali lebih rumit dan sekaligus terlihat lebih lambat memberikan hasil. Di saat para ekonom menyadari bahwa neoliberalisme memilih hukum sebagai instrumen untuk mengintervensi pasar, maka pada saat itulah berbagai agenda pembangunan hukum menjadi tujuan sentral.  Berbagai instrumen hukum kemudian disusun sebagai bagian dari transformasi menuju pasar bebas.

 

Dalam agenda neoliberalisme, desentralisasi merupakan salah satu pilar utama strategi reformasi ekonomi yang digunakan oleh IMF dan juga dikampanyekan oleh Bank Dunia. Negara sedapat mungkin dijauhkan dari dominasi penguasaan aset, untuk itu perlu ada mekanisme untuk mendistribusikan aset milik Negara. Dalam konteks inilah desentralisasi merupakan salah satu kerangka institutional yang digunakan dan fungsi hukum adalah menyediakan institusi bagi pelaksanaan desentralisasi melalui UU No. 22/1999. Undang-undang ini memperkenalkan sejumlah prinsip yang pada intinya merupakan pendistribusian kewenangan dalam pengambilan keputusan dan berusaha memotong birokrasi yang kompleks.

 

Namun disinilah muncul paradoks. Bagi neoliberalis bukan masalah siapa yang akan mendapatkan aset tersebut dan bagaimana aset tersebut akan didistribusikan, asalkan tujuan utama untuk mendistribusikan aset Negara tercapai.  Dalam kondisi Pemerintahan Pusat yang lemah, maka pilihan untuk melakukan desentralisasi tidak berdampak pada terciptanya good governance namun justru menciptakan chaos: eksploitasi kekayaan alam, konflik horizontal, lemahnya pemerintahan lokal akibat politik uang dan praktek korupsi. Dalam kasus ini terbukti bahwa hukum tidak mampu menciptakan kerangka insitusional bagi terciptanya good governance.  Pilihan untuk melaksanakan desentralisasi bagi Indonesia saat itu bukan lagi merupakan pilihan ekonomis, namun lebih kepada pilihan politis.

 

Neoliberalisme juga menuntut formalisasi hak karena hukum dinilai memberi rasa aman bagi perlindungan hak kebendaan (property right) dan kebebasan berkontrak. Sistem hak kebendaan mengatur mengenai kepemilikan yang merupakan dasar bagi kapitalisme. Hernando de Soto menyatakan bahwa Negara Barat memiliki sistem kepemilikan, sedangkan di Negara berkembang sistem kepemilikan tersebut umumnya dianggap tidak berdasar hukum (ilegal). Legalisasi hak kepemilikan akan memudahkan proses rekam informasi mengenai kepemilikan aset sehingga jaminan atas hak seseorang dalam kontrak dan transaksi menjadi lebih kuat.

 

Melly Darsa dalam tulisannya mencontohkan permasalahan kebendaan sebagai hasil sintesa antara nilai neoliberalisme dan nilai lokal yang dinilai berhasil. Namun dalam kondisi Indonesia dimana hak kepemilikan berbasis pada kepemilikan bersama hal ini menimbulkan masalah yang pelik. Bila hak tersebut diformalkan maka dapat diartikan bahwa hak lokal (hak masyarakat) kini berada pada legal radar. Sementara di sisi lain mereka tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk terjun dalam arena hukum: they do not know how to play the game.  Pasar bebas bukanlah pasar yang netral karena terdapat masalah bargaining position di dalamnya. Permasalahan yang muncul dengan demikian adalah masalah relasi kekuasaan yang tidak seimbang.  Berbagai kasus sengketa pertanahan antara masyarakat adat dan investor serta sengketa hak milik intelektual memperlihatkan masalah ini. Kondisi awal dimana hak tidak diformalkan dapat saja menjadi lebih menguntungkan bagi sebagian masyarakat, dimana mereka tidak dapat demikian mudah dikapitalisir karena tidak dapat dipetakan dalam radar hukum.  Formalisasi dengan demikian tidak selalu dapat menjawab kebutuhan perlindungan bagi hak-hak masyarakat.  

 

Pendekatan hukum sebagai instrumen yang mensyaratkan formalisasi menyebabkan sulitnya terjadi sintesa – suatu kondisi interaksi dan adaptasi system hukum sebagaimana dikemukakan oleh Melly Darsa dalam tulisannya. Hukum justru menciptakan masalah baru bukan hanya bagi pasar namun juga bagi masyarakat karena hukum ditransplantasikan sedemikian rupa dari sistem yang dianggap lebih modern tanpa sungguh-sungguh memperhatikan kebutuhan nasional dan konteks spesifik Negara. Dalam kondisi ini hukum tidak menjadi solusi namun justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri.  

 

Dalam arus transformasi hukum seperti saat ini maka proses pembentukan hukum nasional seharusnya diawali dengan proses lokalisasi atau domestifikasi suatu ketentuan. Proses ini bertujuan untuk mengurangi resiko yang muncul dalam implementasi tuntutan global. Berbagai konsekuensi atas pilihan-pilihan hukum harus dianalisa konsekuensi politis dan sosialnya secara gamblang..  Selain itu kebijakan pembangunan hukum dalam era globalisasi seharusnya lebih diperluas lagi. Bukan hanya fokus untuk menciptakan aturan yang lebih sesuai dengan konteks nasional namun juga untuk meningkatkan kapasitas masyarakat sehingga masyarakat mampu membuat pilihan-pilihan untuk memperkuat posisi tawar mereka.

 

Konklusi

Fokus yang bertubi-tubi terhadap hukum menyebabkan minimnya analisa tentang bagaimana faktor sosial, ekonomi dan politis berpengaruh terhadap hukum justru merupakan penyebab utama kegagalan hukum sebagai instrumen pasar bebas. Permasalahan hukum di Indonesia tidak terlepas dari beberapa kelemahan, meliputi: lemahnya penegakan hukum, peraturan yang tidak tepat atau tidak sesuai kebutuhan, dan legitimasi yang rendah. Lemahnya penegakan hukum umumnya disebabkan karena substansi hukum yang lemah dan tidak memperhatikan dinamika sosial politik dan ekonomi sehingga sehingga seringkali diabaikan karena tidak tepat dengan kebutuhan. Selain itu juga penyebab lainnya adalah permasalahan birokrasi yang tidak efisien dan praktek korupsi.

 

Pendapat Melly Darsa yang menyatakan bahwa kaum profesional dan akademisi hukum telah termarginalisasi dari proses pembangunan hukum dapat dibenarkan dari sudut pandang bahwa proses marginalisasi tersebut tidak dapat lepas dari lemahnya kapasitas para akademisi dan profesi hukum dalam diskursus hukum substantive. Untuk itu pembangunan hukum perlu diarahkan pada upaya membangun pengetahuan hukum (legal knowledge) para akademisi dan praktisi hukum sehingga mereka dapat berperan dalam proses transformasi hukum dan melaksanakan hukum secara lebih bertanggung jawab dan responsif terhadap kepentingan sosial, ekonomi dan politik.

 

Ketika kontrol atas perumusan dan pelaksanaan hukum diserahkan pada Negara (Negara yang oleh para kaum neoliberalis dianggap telah gagal), maka dengan kata lain kita telah menyerahkan sebuah cek kosong. Tanpa adanya good government maka sulit untuk menciptakan tatanan hukum yang baik karena kita tidak memiliki institusi yang cukup kuat untuk mampu melakukan kontrol atas proses perumusan dan pelaksanaan hukum. Dalam kondisi demikian, segala instrumen hukum yang disediakan akan dipergunakan oleh penguasa dan pemilik kapital untuk memaksimalkan keuntungan dalam situasi korupsi yang demikian endemik. Dengan kata lain: If you want to make Government retreat from the market by creating policy instrument, than what you need is a strong Government.

 

-----

*) Penulis adalah penggiat hukum dan pembangunan

Namun jika kita cermati lebih teliti, sepertinya lebih banyak dari para pengguna istilah tersebut yang terlihat kurang memahami hakikat neoliberalisme. Beberapa komentar bahkan terkesan konyol dan menggelikan. Dalam kondisi demikian, munculnya tulisan Melly Darsa telah memicu sebuah diskusi yang lebih bergizi tentang konsep neoliberalisme dan hubungannya dengan perkembangan ekonomi dan hukum di Indonesia.

 

Melly Darsa menyatakan bahwa, ditinjau dari perspektif hukum, neoliberalisme telah membawa pengaruh positif dalam perkembangan hukum dan iklim usaha di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Sayangnya Melly tidak memberi argumen atas kriteria apa penilaian positif itu disimpulkannya. Pendapat lain dikemukakan Vedi R. Hadiz dan Richard Robinson (2005) yang menyatakan secara gamblang bahwa agenda neoliberalisme di Indonesia sesungguhya telah dibajak oleh kepentingan oligarki dalam Negara untuk melanggengkan kekuasaan.

 

Dalam kerangka neoliberalisme dan globalisasi, fungsi hukum sesungguhnya adalah menyediakan instrumen bagi pasar.  Tulisan singkat ini akan mencoba menarik benang merah hubungan antara hukum dalam konteks globalisasi dan neoliberalisme di Indonesia.

 

Globalisasi dan Neoliberalisme

Globalisasi sebagai suatu tatanan dunia sesungguhnya bukanlah muncul tanpa sebab. Krisis ekonomi yang berkepanjangan pada masa Perang Dunia I telah menenggelamkan konsep liberalisme ekonomi. Dalam perjalanannya hingga awal abad XX pertumbuhan dan akumulasi kapital yang diharapkan oleh golongan kapitalis terlihat semakin melambat karena adanya proteksi, paham keadilan sosial, kesejahteraan dan subsidi bagi rakyat dan sebagainya (Fakih, 2004). Hal ini kemudian mendorong munculnya strategi baru tentang perlunya suatu tatanan perdagangan global yang mampu menyingkirkan rintangan investasi melalui  pasar bebas, dengan meningkatkan perlindungan pada hak kebendaan, good governance, dan lain sebagainya. Pada saat itulah globalisasi muncul sebagai dasar pijakan kembali paham liberalisme atau kemudian lazim disebut sebagai neoliberalisme.

Tags: