Mahkamah Agung Seragamkan Format Akta Perdamaian
Utama

Mahkamah Agung Seragamkan Format Akta Perdamaian

Peraturan perundang-undangan memang mengharuskan perdamaian dibuat secara tertulis. Soal format, tidak diatur secara khusus.

Oleh:
Mys/M-7
Bacaan 2 Menit
Mahkamah Agung Seragamkan Format Akta Perdamaian
Hukumonline

 

Ia khawatir gagasan MA menyeragamkan format akta menjadi mubazir karena dalam perdamaian, kesepakatan pihak berperkaralah yang paling menentukan. Laksanto juga mengingatkan kemungkinan adanya perdamaian yang tidak tertulis.

 

Bisa jadi, yang dimaksud Laksanto adalah perdamaian di luar pengadilan. Sedangkan, perdamaian dalam konteks Surat Wakil Ketua MA adalah mediasi di lembaga peradilan. Anggota Indonesian Mediator Association (IMA), Tony Budidjaja, menjelaskan bahwa dalam teori dan praktik hukum di Indonesia, perdamaian dapat dibuat dengan akta di bawah tangan atau akta otentik (dibuat di hadapan notaris atau hakim). Jika yang dimaksud MA adalah akta yang dibuat di hadapan hakim –biasa disebut putusan perdamaian – maka penyeragaman format akta diperlukan. Penyeragaman itu, kata Tony, bermanfaat bagi hakim untuk kepentingan administrasi atau pengawasan. Misalnya, untuk kepentingan validasi akta perdamaian dan kepentingan eksekusi.

 

Bagi para pihak, lanjut peraih Asia Law Leading Lawyers 2006 ini, penyeragaman akta akan bermanfaat untuk menambah keyakinan (rasa aman) mengenai kekuatan hukum atas perdamaian yang mereka buat. Ini juga membantu para pihak mendokumentasikan perdamaian yang mereka capai. Manfaat ini juga dapat dirasakan mediator, khususnya mediator yang tidak punya latar belakang hukum, dimana kecepatan dalam mendokumentasikan perdamaian sangatlah krusial, papar Tony.

 

Perma No. 1 Tahun 2008 sebenarnya menggariskan bahwa para pihak –dibantu mediator—merumuskan secara tertulis kesepakatan yang mereka capai. Para pihak juga wajib membubuhkan tanda tangan. Cuma, jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian (acta van dading), kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai.

 

Syarat formil perdamaian harus dituangkan secara tertulis juga disinggung dalam pasal 1851 KUH Perdata. Jadi, tidak dibenarkan dalam bentuk lisan (oral). Setiap persetujuan perdamaian yang tidak dibuat dalam bentuk tertulis dinyatakan tidak sah. Semangat itu tertuang dalam pasal 1815 ayat (2) KUH Perdata.

 

Mengutip pendapat mantan hakim agung M. Yahya Harapan, dalam bukunya Hukum Acara Perdata, Undang-Undang melarang menerima persetujuan perdamaian yang disampaikan secara lisan oleh para pihak. Dengan kata lain, tidak dibenarkan membuat persetujuan secara lisan untuk dikukuhkan lebih lanjut dalam penetapan akta perdamaian.

 

Selain itu, yurisprudensi MA meneguhkan bahwa yang membuat persetujuan perdamaian itu haruslah orang yang mempunyai kekuasaan. Dalam Perma No. 1 Tahun 2008, yang dimaksud adalah hakim mediator. Putusan MA No. 1944 K/Pdt/1991 merumuskan norma, suatu akta perdamaian yang disepakati penggugat dan tergugat dalam sengketa gugatan perdata di pengadilan negeri, kemudian kesepakatan itu disahkan hakim dengan jalan menuangkannya dalam akta perdamaian, apabila ternyata dalam akta tersebut terdapat error in persona maka perjanjian damai tersebut tidak sah karena terdapat kekhilafan mengenai para pihak.

 

Yurisprudensi lain, putusan MA No. 454 K/Pdt/1991 merumuskan norma, akta perdamaian dapat dibatalkan jika isinya bertentangan dengan undang-undang. Dalam kasus ini, akta perdamaian melanggar ketentuan perceraian dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.

 

Selain melakukan sosialisasi langsung, Mahkamah Agung (MA) terus menggalakkan penerapan mediasi di pengadilan. Para petinggi MA secara bergantian berkunjung ke sejumlah pengadilan untuk menjelaskan materi Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2008, payung hukum mediasi di lembaga peradilan. Sosialisasi juga dilakukan terhadap komunitas di luar hakim.

 

Upaya lain yang dilakukan MA adalah menyeragamkan format akta perdamaian. Penyeragaman format akta perdamaian itu dibuat sebagai tindak lanjut Perma Mediasi. Himbauan untuk menyeragamkan format akta tertuang dalam Surat Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, Abdul Kadir Mappong, bernomor 24/Wk.MA.Y/VI/2009. Dalam surat yang ditujukan kepada para pimpinan badan peradilan umum dan agama seluruh Indonesia itu terungkap MA merasa perlu menyeragamkan karena selama ini masih ditemukan format berbeda di setiap pengadilan.

 

Selain menghimbau ada kesesuaian format akta, MA juga melampirkan contoh format akta perdamaian di pengadilan. Dalam contoh format yang dibuat MA, tertuang antara lain waktu tercapainya perdamaian, nama mediator, identitas para pihak yang bersengketa, dan materi perdamaian. Setelah akta perdamaian itu, majelis hakim menjatuhkan putusan yang isinya menghukum kedua belah pihak untuk mentaati isi persetujuan yang telah disepakati tersebut di atas.

 

Penyeragaman format akta perdamaian dikritik St. Laksanto Utomo. Dihubungi via telepon, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sahid itu berpendapat, sesuai dengan sifat kebebasan berkontrak, mestinya para pihak diberikan kebebasan menentukan format dan isi akta perdamaian yang mereka sepakati. Lucu saja kalau MA membuat format akta yang formil, kata Laksanto.

Halaman Selanjutnya:
Tags: