Tahan Pengacara LBH Jakarta, Polisi Dinilai Tak Profesional
Berita

Tahan Pengacara LBH Jakarta, Polisi Dinilai Tak Profesional

Polisi tahan dua pengacara publik LBH Jakarta lantaran tak memiliki izin advokat. Padahal Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan sanksi pidana yang diatur dalam UU Advokat.

Oleh:
IHW
Bacaan 2 Menit
Tahan Pengacara LBH Jakarta, Polisi Dinilai Tak Profesional
Hukumonline

 

Direktur LBH Jakarta, Asfinawati kepada hukumonline menceritakan kronologis penahanan Tommy dan Haris. Semua berawal ketika Tommy dan Haris mendampingi dua orang kliennya, W (14 tahun) dan N (21), yang diperiksa sebagai saksi dalam suatu perkara pembunuhan, Senin (27/7). Polisi melakukan pemeriksaan sejak pukul 8 pagi.

 

Ketika waktu menunjukkan pukul 11 siang, Tommy dan Haris meminta kepada kepolisian untuk menghentikan dulu proses pemeriksaan karena W harus pergi sekolah. Polisi menolak permintaan itu dan melanjutkan pemeriksaan hingga pukul 5 sore. Meski proses pemeriksaan telah selesai, W dan N belum boleh meninggalkan Polres. Tommy, Haris dan dua kliennya pun harus tetap menunggu.

 

Lantaran merasa ada yang tak beres, Tommy mengajukan protes kepada polisi. Sayangnya protes itu tak berjalan mulus. Justru giliran Tommy dan Haris yang harus ditahan.

 

Polisi, kata Asfinawati, setidaknya menerapkan tiga pasal untuk menahan Tommy dan Haris. Pasal 216 KUHP, Pasal 335 KUHP dan Pasal 31 UU Advokat, kata Asfin –demikian ia disapa- lewat gagang telepon, Selasa (28/7).

 

Seperti dilansir detik.com, Kasat Reskrim Polres Jakarta Utara, Kompol Roma Hutajulu membenarkan penahanan dua pengacara LBH Jakarta itu. Keduanya ditahan karena tak mempunyai kartu advokat. Oleh karena itu, Tommy dan Haris dikenakan Pasal 31 UU Advokat.

 

Sementara untuk Pasal 216 KUHP, Tommy dan Haris dianggap menghalang-halangi polisi untuk melaksanakan tugasnya mengusut perkara. Sedangkan untuk Pasal 335 KUHP, Tommy dan Haris dianggap melakukan perbuatan tidak menyenangkan kepada polisi.

 

Polisi Lebay

Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Adnan Pandupraja mengaku kecewa dengan tindakan polisi ini. Ia mengaku lebih kecewa lagi karena pada saat ia mendatangi Polres Jakarta Utara, tak ada satu pun pejabat yang mau menemuinya. Saya sangat kecewa. Saya sudah sampaikan keluhan saya ini kepada atasan Kapolres Jakarta Utara, kata Pandu, lewat telepon.

 

Sikap senada ditunjukkan Sekretaris Dewan Kehormatan Pusat (DKP) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Sugeng Teguh Santoso. Polisi sangat berlebihan kalau sampai menahan dua pengacara publik itu.

 

Menurut dia, semua pasal yang dituduhkan polisi kepada Tommy dan Haris, rontok. Pasal 216 KUHP misalnya. Tindakan Tommy dan Haris yang meminta agar polisi menghentikan proses pemeriksaan karena kliennya harus pergi sekolah, adalah alasan yang dibenarkan menurut hukum.

 

Sekarang Pasal 335 KUHP. Memang polisi yang menangani perkara itu menganggap dirinya siapa sampai merasa menjadi korban perbuatan tak menyenangkan? gugat Sugeng. Menurut dia, polisi adalah institusi dan aparat publik yang harus siap mendengarkan kritik dan masukkan dari warga negaranya. Udah nggak jamannya lagi aparat kepolisian bertindak arogan!

 

Nah, sekarang pasal pamungkas yang menunjukkan Polisi lebay, yaitu Pasal 31 UU Advokat. Haduh… Bagaimana ini? Pasal itu sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi oleh Mahkamah Konstitusi beberapa tahun lalu. Terus kenapa Polisi masih memakainya? Sugeng terheran-heran.

 

Seperti halnya penelitian ILRC, di lapangan masih banyak polisi yang menggunakan Pasal 31 UU Advokat. Entah apa penyebabnya. Upaya hukumonline menghubungi Kadiv Humas Mabes Polri Nanan Sukarna untuk meminta keterangan mengenai hal ini tak membuahkan hasil.

 

Pekerjaan rumah ke depan

Dengan kejadian ini, Asfin menilai kepolisian telah gagal mereformasi dirinya sendiri. Lebih ironis karena pada 22 Juni lalu, Kapolri mengeluarkan Peraturan No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tragis. Judul peraturan Kapolri yang bunyinya indah itu, tak seindah praktik di lapangan.

 

Tak percaya? Coba tengok Pasal 27 Ayat (2) huruf o Peraturan No 8/2009 itu yang merumuskan setiap petugas dilarang menghalang-halangi penasehat hukum untuk memberi bantuan hukum kepada saksi/tersangka. Putusan MK yang membatalkan Pasal 31 masih memberi peluang bagi LBH untuk memberi bantuan hukum kepada masyarakat. Kenapa sekarang ini malah dihalang-halangi?

 

Ke depan Asfin berharap agar pemerintah segera merampungkan draf RUU Bantuan Hukum dan membahasnya bersama DPR. Supaya lebih memberikan perlindungan bagi para pemberi bantuan hukum dan pembela HAM, pungkasnya.

Mei 2008 lalu Indonesian Legal Resource Centre (ILRC) mempublikasikan hasil penelitiannya tentang masih banyaknya pelarangan berpraktrek bagi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang ada di kampus-kampus. Kepolisian sering menggunakan Pasal 31 UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat untuk melarang LBH Kampus mendampingi masyarakat yang diperiksa sebagai saksi atau bahkan tersangka.

 

Pasal 31 UU Advokat sendiri mengatur tentang ancaman sanksi penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp50 juta bagi orang yang bertindak seolah-olah sebagai advokat. Namun Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 31 ini dengan alasan hak seseorang mendapatkan bantuan hukum adalah bagian dari hak asasi yang diatur dalam konstitusi. Sementara LBH kampus menjalankan fungsi negara untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma itu.

 

Hasil penelitian ILRC ternyata bukan isapan jempol. Pelarangan terhadap pegiat LBH terjadi di Polres Jakarta Utara. Kali ini yang menjadi ‘korban' bukanlah LBH kampus, melainkan LBH Jakarta. Ironisnya, polisi sampai harus menahan Tommy Albert Tobing (Pengacara Publik) dan M Haris Barkah (Asisten Pengacara Publik) lantaran tak mampu menunjukkan kartu izin sebagai advokat.

Tags: