Speciale Delicten, Sebuah Buku Intisari dan Komparasi
Resensi

Speciale Delicten, Sebuah Buku Intisari dan Komparasi

Satu dari sedikit buku yang mencoba merujuk delik-delik tertentu dalam KUHP ke Wetboek van Straftsrecht Belanda atau WvS. Penulis menemukan sejumlah kesalahan dalam pemahaman dan praktik hukum pidana Indonesia.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
<i>Speciale Delicten</i>, Sebuah Buku Intisari dan Komparasi
Hukumonline

Pengalaman 12 tahun lalu masih terus diingat Andi Hamzah. Kala itu ia berada di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Seseorang memperlihatkan surat panggilan polisi. Yang dipanggil tentu bukan Andi Hamzah, melainkan seorang warga Sengkang yang diperkarakan lantaran memagari sendiri tanah miliknya. Rupanya, pemagaran tersebut mengganggu pemandangan tetangga si empunya tanah. Pemilik tanah diperkarakan ke polisi dengan tuduhan melakukan perbuatan tidak menyenangkan.

 

Dalam surat panggilan polisi tadi jelas tertera pasal 335 KUHP. Ancaman hukuman maksimalnya satu tahun. Yang membuat Andi Hamzah tidak habis pikir adalah langkah kepolisian yang begitu mudah menjerat orang dengan tuduhan pencemaran nama baik. Bagaimana mungkin upaya seseorang memagari lahan miliknya bisa dipidana hanya karena pagar tersebut merusak pemandangan orang lain?

 

Sebagai seorang jurist, Andi Hamzah mencoba menelusuri latar belakang pasal 335 KUHP ke dalam hukum pidana Belanda (Wetboek van Straftsrecht). Ternyata, dalam KUHP Belanda, frasa ‘perbuatan yang tidak menyenangkan' (onaangename bejegening) atau frasa ‘dengan ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan' tidak ditemukan. Gara-gara masuknya frasa tadi, simpul Andi Hamzah, berkembanglah suatu penafsiran yang keliru atau pura-pura keliru dalam praktik hukum pidana Indonesia (hal. 36-37).

 

Walhasil, pasal 335 KUHP ini merupakan salah satu pasal keranjang sampah yang bisa menjerat siapa saja. Agar tidak disalahgunakan lagi, Andi Hamzah berharap kalimat ‘ataupun perbuatan yang tidak menyenangkan atau ancaman perbuatan tidak menyenangkan' dalam pasal ini dihapus dalam rumusan KUHP baru kelak.

 

Pengalaman dan kritik Andi Hamzah terhadap pasal 335 KUHP tadi tertuang dalam buku terbarunya, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP. Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti Jakarta ini adalah salah seorang jurist yang produktif menulis, khususnya buku-buku tentang hukum pidana dan hukum acara pidana. Maklum, ia berpengalaman sebagai jaksa, akademisi, dan anggota tim penyusun berbagai RUU di pemerintahan.

 

Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP

 

Penulis: Prof. DR. Jur. Andi Hamzah

Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta

Cetakan pertama: April 2009

Halaman:205 + xix

 

Buku yang membahas dan menyajikan KUHP sebenarnya cukup banyak, antara lain tulisan Prof. Moeljatno, Prof. Oemar Seno Adji, Roeslan Saleh, A.Z Abidin, PAF Lamintang, R. Soesilo, dan S.R. Sianturi. Baik yang membahas pasal-pasal KUHP secara umum, maupun tindak pidana tertentu saja. Beruntung, para penyusun buku-buku tersebut bisa berbahasa Belanda, sehingga sedikit banyak bisa merujuk pada Wetboek van Straftsrecht.

 

Penguasaan bahasa Belanda bagi penyusun buku tentang KUHP Indonesia mutlak perlu. Jika tidak, akan terjadi kesalahan menafsirkan suatu istilah yang dipakai. Itulah masalah yang paling sulit dalam praktik penerapan hukum pidana di Indonesia sekarang, karena sering yang diuraikan justru bahasa terjemahannya, tulis Andi Hamzah dalam kata pengantar. Penulis memberi contoh istilah makar. Banyak analis dan penulis buku yang membuat terjemahan kata makar. Padahal kalau merujuk ke WvS Belanda, istilah yang dipakai adalah aanslag.

 

Itu baru soal bahasa. Penulis juga menyinggung ketertinggalan KUHP dibanding induknya di Belanda. Banyak rumusan pasal pidana yang di Belanda sudah diubah, tetapi dalam KUHP masih dipertahankan. Ketertinggalan yang sangat riil adalah pidana denda, yang sudah terlalu jauh dimakan inflasi (hal. 1).

 

Kritik-kritik itulah yang menjadi salah satu kekuatan buku ini. Setidaknya, kritik penulis bisa membuka mata praktisi pidana dan masyarakat tentang bagaimana KUHP dimaknai oleh para pengambil keputusan. Dan, sangat mungkin kritik itu menjadi ‘amunisi' bagi orang-orang yang ingin memperkarakan pasal-pasal KUHP ke Mahkamah Konstitusi.

 

Buku Speciale Delicten sangat berguna untuk kepentingan praktis jaksa, advokat, hakim, dan akademisi hukum. Penulis menyajikan inti delik dari tindak pidana  kekerasan, delik kekayaan, pemalsuan surat, kesusilaan, penghinaan, dan delik-delik yang berkaitan dengan kerusuhan. Tak hanya inti delik, kebutuhan praktis tersebut juga ditopang komparasi dengan WvS Belanda bahkan negara lain, contoh kasus atau yurisprudensi. Salah satunya adalah pasal 284 KUHP tentang permukahan (overspel). Penulis mencatat semula rumusan pasal ini dikenal di WvS. Tetapi tindak pidana itu sekarang sudah dihapus, bahkan oleh sebagian besar negara Eropa. Begitu pula Jepang. KUHP China malah tidak mempunyai bab khusus tentang kesusilaan. Kalau terjadi delik pemerkosaan misalnya, itu dimasukkan ke dalam bab tentang kejahatan terhadap badan orang (hal. 159).

 

Uraian penulis memang singkat sesuai dengan esensi dasar buku ini yang hanya memuat inti delik. Awalnya, buku ini hanya fokus membahas delik kerusuhan, yang dipakai penulis untuk kebutuhan pendidikan pembentukan jaksa. Lalu, materinya meluas hingga ke delik-delik yang paling sering terjadi dan diajukan ke pengadilan. Lantaran sifatnya yang demikian, pemerhati KUHP tentu tidak akan mendapatkan penjelasan panjang lebar dan detil, termasuk perdebatan-perdebatannya di kalangan akademisi –antara lain Noyon, van Bemmelen, van Hattum, Clairen, dan Simons-- seperti dilakukan PAF Lamintang dalam buku Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia.

 

Bagaimanapun, buku ini tetap menarik untuk dibaca. Bukan hanya sekadar menambah koleksi buku Anda, tetapi juga memberikan perspektif yang kritis terhadap delik-delik yang sering terjadi di peradilan. Sebuah perspektif yang kian jarang ditemukan dalam sidang-sidang perkara pidana di Indonesia….

Halaman Selanjutnya:
Tags: