Kriminalisasi Penularan Penyakit Harus Diperjelas
RUU Kesehatan:

Kriminalisasi Penularan Penyakit Harus Diperjelas

Bagaimana kalau suatu penyakit menular dari orang-orang terlantar di jalanan? Bukan mereka seharusnya dipelihara oleh negara?

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Kriminalisasi Penularan Penyakit Harus Diperjelas
Hukumonline

 

Pada kesempatan yang sama, CEDAW Working Group Initiative (CWGI) dan Kelompok Perempuan untuk Keadilan Buruh (KPKB) menilai RUU Kesehatan masih memuat pasal-pasal yang diskriminatif. Rena Herdiyani, Koordinator CWGI, misalnya, menganggap RUU ini belum menjamin pemenuhan hak asasi perempuan secara menyeluruh atas kesehatan reproduksi. RUU ini masih bersifat diskriminatif, ujarnya.

 

Ratna dan Rena juga mengkritik ketertutupan proses pembahasan RUU Kesehatan. Bidang kesehatan sama halnya dengan pendidikan, sehingga proses pembahasan RUU seharusnya dibuka kepada publik. Toh, yang menjadi target RUU ini kelak adalah masyarakat juga. Di satu sisi, Ratna dan Rena berharap segera ada pengganti Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, dan di sisi lain berharap penggantinya tidak mengandung pasal-pasal yang masih diskriminatif dan melanggar HAM.

 

RUU Kesehatan masih memberikan peluang multitafsir dan overkriminalisasi terhadap orang-orang yang mengalami penyakit tertentu. Misalnya, kriminalisasi terhadap penderita penyakit menular. RUU Kesehatan memuat ancaman pidana penjara hingga lima tahun atau denda 600 juta rupiah kepada setiap orang pengidap penyakit menular yang melakukan perbuatan yang dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain.

 

Jaringan Kerja Kerja Prolegnas Pro Perempuan menilai rumusan pasal 115 RUU Kesehatan itu multitafsir dan kriminalisasi berlebihan. Ancaman sanksi ini berkaitan dengan rumusan pasal 78 ayat (1) DIM RUU yang melarang setiap orang menyebarkan penyakit menular. Aturan itu berlebihan, kata Ratna Bataramunti, di Jakarta, Minggu (02/8) siang.

 

Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan itu meminta DPR dan Pemerintah memberikan penjelasan yang detil agar kriminalisasi terhadap penularan penyakir menular tidak multitafsir. Sebagaimana diketahui, saat ini DPR dan Pemerintah tengah membahas RUU Kesehatan dalam Rapat Panja tertutup. RUU ini diharapkan menjadi pengganti Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

 

Menurut Ratna, setidaknya ada dua poin penting yang harus diperjelas dalam rumusan tersebut. Pertama, frasa ‘penyakit menular'. DPR dan Pemerintah harus membuat rumusan yang jelas apa saja penyakit menular yang bisa dikriminalisasi. Apakah termasuk penyakit ringan –misalnya penyakit mata-- yang menular kepada orang lain? Kalau menggunakan pola pikir legalistik formal, maka frasa itu bermakna semua penyakit menular. Kedua, perbuatan apa saja yang bisa disebut menularkan penyakit. Perbuatan pidana menularkan penyakit harus dikualifisir secara benar agar tidak multitafsir. Ratna menyayangkan pada bagian penjelasan pasal 78 dan pasal 115 hanya tertulis cukup jelas. Itu harus diperjelas, ujarnya. Jika tidak dijelaskan, Ratna melanjutkan, pasal 78 berpotensi membatasi seseorang untuk berbuat.

 

Ratna khawatir rumusan ini merupakan bagian dari politik hukum yang mendiskriminasi kelompok tertentu. Dalam hal ini adalah mereka yang menderita penyakit menular, seperti penderita HIV/AIDS. Tidak ada seorang pun yang menginginkan dirinya sakit dan senang menularkan penyakit tersebut kepada orag lain. Orang tidak layak dikriminalisasi karena penyakitnya, tambah Ratna.

Halaman Selanjutnya:
Tags: