Akta Kelahiran: Dokumen Gratis yang Harus Dibayar
Fokus

Akta Kelahiran: Dokumen Gratis yang Harus Dibayar

Pertemuan dua hari di Parama Hotel, Bogor, itu sudah berlalu sebulan lebih. Tetapi isu yang diusung dalam perhelatan tersebut masih saja menyisakan tanda tanya. Mengapa dokumen yang seharusnya gratis harus dibayar? Pengurusan lewat Pengadilan Negeri dianggap memberatkan.

Oleh:
Mys/M-8
Bacaan 2 Menit
Akta Kelahiran: Dokumen Gratis yang Harus Dibayar
Hukumonline

 

Lain lagi pengalaman Tamin (bukan nama sebenarnya). Ketika isterinya melahirkan di salah satu rumah bersalin di Jagakarsa Jakarta Selatan, pihak rumah sakit menyodorkan formulir pengurusan akta kelahiran. Pengurusan harus dilakukan paling lambat dua minggu setelah bayi lahir. Syaratnya, si ayah bayi menyiapkan sejumlah dokumen seperti surat nikah dan kartu keluarga. Cukup? Ternyata tidak. Pihak rumah bersalin tanpa malu-malu menyodorkan angka Rp150 ribu.

 

Problem legislasi

Kisah nyata yang dialami Slamet dan Tamin di atas biasa jadi merupakan potret pengurusan akta kelahiran. Meskipun normatifnya gratis, di lapangan bisa lain ceritanya. Apalagi kalau ke daerah yang menjadikan pengurusan dokumen akta kelahiran sebagai objek retribusi daerah.

 

Lho, kok bisa? Faktanya memang demikian. Kajian yang dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI) menemukan ada daerah yang memungut retribusi dari pengurusan akta kelahiran. Telisik punya telisik, pangkalnya adalah inkonsistensi peraturan perundang-undangan nasional. Ada problem legislasi, terutama harmonisasi. Undang-Undang Administrasi Kependudukan dan Undang-Undang Perlindungan Anak menetapkan akta kelahiran tanpa biaya. Cobalah buka Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 dan peraturan organiknya, PP No. 66 Tahun 2001. Dalam peraturan ini, daerah diberi kewenangan memungut retribusi biaya penggantian biaya cetak akta catatan sipil. Akta kelahiran termasuk dalam pengertian akta catatan sipil tadi.

 

Menggunakan payung hukum Undang-Undang dan PP tadi, daerah seolah berlomba memungut biaya pengurusan akta kelahiran. Malah, kata Masnah Sari, komisioner KPAI, ada daerah yang sengaja mengakali. Anak pertama boleh gratis, anak kedua dan selanjutnya bayar. Kebijakan lain adalah memungut biaya jika pengurusan melampaui batas waktu yang ditentukan Undang-Undang. Kebijakan daerah memungut biaya itu sudah kami kritik habis, ujar Masnah kepada hukumonline.

 

KPAI termasuk yang concern terhadap problem legislasi ini. Karena itu, awal Juli lalu, KPAI mengumpulkan puluhan pemangku kepentingan akta kelahiran –mulai dari aparat pemerintah dan akademisi, hingga pengamat dan aktivis-- di Parama Hotel, Bogor. Selama dua hari, pertemuan itu memetakan problem yuridis dan kelembagaan akta kelahiran gratis. Dari situlah kembali mencuat rekomendasi agar legislator segera mengharmonisasi peraturan perundang-undangan terkait akta kelahiran. Selain itu, Pemerintah Pusat dan Daerah harus mengalokasikan anggaran untuk memenuhi akta kelahiran tidak dipungut biaya. Untuk semua anak berusia 0 – 18 tahun sebaiknya diputihkan akta kelahirannya.

 

Ke Pengadilan berarti duit

Pungutan terhadap akta kelahiran sulit dielakkan jika mata rantainya panjang. Apalagi mata rantai panjang itu diakibatkan oleh keteledoran orang tua si anak. Pasal 27 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan tegas menyebutkan setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh kepada instansi pelaksana setempat. Laporan itu wajib disampaikan paling lambat 60 hari pasca kelahiran.

 

Lebih dari 60 hari, orang tua harus bersiap berurusan dengan birokrasi pengadilan. Undang-Undang menyebutkan jika pelaporan atau pendaftaran si anak lewat dari satu tahun, maka pengesahan kelahiran si anak dilakukan melalui penetapan pengadilan. Berurusan dengan pengadilan, apalagi bagi keluarga miskin, tentu menyulitkan. Menurut Hasril Hertanto, Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, pengurusan akta kelahiran ke pengadilan bakal memaksa penduduk mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

 

Masnah Sari, komisioner KPAI, sependapat dengan Hasril. Penetapan Pengadilan Negeri itu yang menambah biaya. Lebih berat kan? ujarnya dengan nada tanya. Setiap orang yang meminta penetapan ke pengadilan tentu harus membayar sejumlah biaya saat ia mendaftarkan permohonan penetapan itu ke panitera.

 

Sebenarnya KPAI berharap pengurusan akta kelahiran dipermudah. Sepanjang ada kartu keluarga, keterangan lahir dari dokter atau bidang, akta kelahiran si bayi sudah bisa diurus. Ibaratnya, jelas Masnah, seseorang yang menemukan bayi di pinggir jalan pun bisa mengurus akta kelahiran bayi tersebut.

 

Akses dan kebijakan jemput bola

Salah satu problem pengurusan akta kelahiran adalah kesulitan masyarakat untuk mengakses. Sebuah penelitian yang dilakukan mahasiswa FISIP Universitas Indonesia di Subang Juli tahun lalu memperkuat asumsi bahwa masyarakat yang jauh dari pusat layanan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil relatif tak memiliki akta kelahiran. Jarak yang jauh ke instansi pelaksana membuat penduduk menjadi malas. Sekalipun tidak dipungut biaya, ongkos yang harus dikeluarkan masyarakat tertentu tetap tinggi.

 

Kalau ini yang menjadi masalah, solusinya adalah mendekatkan layanan akta kelahiran kepada masyarakat. Akses perlu dibuka seluas-luasnya. Aparat instansi pelaksana perlu jemput bola. Pemerintah Kabupaten Pidie, Aceh, termasuk pilot project sistem administrasi kependudukan yang didanai GTZ. Masyarakat di sana bisa memanfaatkan Unit Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Keliling (UP3SK). Menggunakan mobil, petugas UP3SK mendatangi tempat-tempat umum, layaknya mobil layanan SIM/STNK Polda Metro Jaya. Masyarakat yang ingin mengurus akta kelahiran gratis, bisa langsung di tempat.

 

Untuk menjalankan kebijakan jemput bola, para pemangku kepentingan, khususnya Ditjen Administrasi Kependudukan Depdagri, harus segera duduk bareng. Intinya bagaimana teknis pelaksanaan pelayanan di lapangan agar tidak memberatkan masyarakat. Bukankah esensinya perlindungan terhadap anak-anak dan penduduk merupakan tanggung jawab negara?

 

Beruntunglah ratusan anak yang hadir di Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat, 2 Agustus lalu. Mereka tidak perlu repot-repot mendatangi kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta untuk mendapatkan akta kelahiran. Dalam rangka Peringatan Hari Anak Nasional, Pemda DKI Jakarta membuatkan sekitar seribu akta kelahiran yang bakal diberikan kepada yang berhak, khususnya anak-anak kaum miskin perkotaan. Akta kelahiran gratis akan diberikan kepada anak keluarga miskin secara bertahap, kata Gubernur Fauzi Bowo saat memberikan sambutan pada acara tersebut.

 

Pemda DKI Jakarta memang punya mimpi: 2010 mendatang semua anak di Jakarta sudah memiliki akta kelahiran. Mimpi lain: akta kelahiran itu akan dijadikan pintu masuk membangun identitas tunggal setiap penduduk, alias single identity number (SIN). Identitas tunggal inilah yang diamanatkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

 

Persoalannya memang bukan semata mengenai proyek identitas tunggal tadi. Ada persoalan sederhana yang dilupakan banyak orang, bahkan seolah sudah dianggap lazim dalam lingkungan birokrasi. Pungutan terhadap akta kelahiran. Undang-Undang tegas menyatakan pengurusan akta kelahiran adalah gratis. Kalimat senada tertera dalam pasal 28 ayat (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenai biaya. Ayat (1) yang dirujuk dalam kalimat tadi malah tegas membebankan tanggung jawab penyediaan akta kelahiran itu kepada Pemerintah. Dalam pelaksanaannya Pemerintah bisa mendelegasikan tanggung jawab itu kepada kelurahan/desa.

 

Tetapi, benarkah akta kelahiran diperoleh dengan gratis? Tidak ada makan siang gratis, bukan? Setidaknya, pengalaman itu dirasakan Slamet. Warga Depok ini happy bukan main ketika pada pemilu lalu ada caleg yang memberikan ‘bantuan' akta gratis bagi warga. Dua anaknya yang sudah beranjak remaja belum memiliki akta kelahiran. Janji si caleg, Slamet tak perlu bayar asalkan mau ‘bayar' dengan suara. Slamet nggak bersedia menjual suaranya. Bukan lantaran punya aliran politik berbeda dengan caleg. Sepengetahuan Slamet, akta kelahiran memang dari sononya sudah gratis. Selama ini ia tidak mengurusnya karena malas berurusan dengan birokrasi.

 

Kemarahan Slamet memuncak lantaran keluarga lain yang mendapatkan akta dipungut biaya sekitar 35 ribu rupiah per akta. Gara-gara urusan akta, hubungan Slamet dengan pengurus partai si caleg di kawasan itu renggang.

Halaman Selanjutnya:
Tags: