Hati-Hati Jebakan Pasal Pencemaran
Resensi

Hati-Hati Jebakan Pasal Pencemaran

Kasus pidana pencemaran nama baik sedang marak. Awalnya kasus pencemaran nama baik seringkali menimpa jurnalis seperti kasus Dahri Uhum Nasution di Medan dan Risang Bima Wijaya di Yogyakarta.

Oleh:
CRS (HOLE)
Bacaan 2 Menit
Hati-Hati Jebakan Pasal Pencemaran
Hukumonline

 

Dari semua kasus pencemaran nama baik, pasal yang dikenakan adalah Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini tergolong pasal karet karena batasannya tidak jelas. Sayangnya, tidak juga dilengkapi dengan penjelasan yang memadai. Yang ada hanyalah "Cukup Jelas". Kedua pasal ini sangat multi-tafsir. Tergantung pada "kebutuhan."

 

Untuk lebih menjamin kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat, kebebasan berekspresi, dan kemerdekaan pers di Indonesia, sejumlah pihak –diwakili Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) -- sebenarnya pernah membawa masalah ini ke Mahkamah Konstitusi. Risang dan Bersihar Lubis meminta Mahkamah menguji Pasal 310, 311, 316 dan Pasal 207 KUHP terhadap UUD 1945.  

 

Permohonan Risang dan Bersihar memang kandas di tangan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah berpendapat yang dipersoalkan keduanya lebih pada penerapan norma-norma KUHP tadi, bukan konstitusionalitasnya. Nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang adalah hak konstitusional yang harus dilindungi. Kompetensi Mahkamah hanya menguji norma, bukan menguji penerapan norma tersebut di lapangan.

 

 

Menggugat Pasal-Pasal Pencemaran Nama Baik

 

Penulis: M. Halim, Fulthoni, dan M. Nur Solkhin

Editor: Muhammad Yasin

Penerbit: LBH Pers dan Yayasan Tifa, Jakarta

Tahun Terbit: Maret 2009

Halaman: 208

 

 

Penolakan itu membawa konsekuensi bahwa aparat penegak hukum masih bisa menggunakan pasal-pasal karet tadi. Ini berbanding terbalik dengan kondisi di banyak negara yang menghapuskan pidana pencemaran nama baik. Pencemaran nama baik umumnya diselesaikan melalui jalur perdata, yakni berupa ganti rugi, dan bukan pemenjaraan fisik.

 

Berangkat dari argumen itulah LBH Pers bersama pemangku kepentingan lainnya melakukan eksaminasi publik atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Hasil dari eksaminasi publik tersebut diolah menjadi suatu buku yang berjudul Menggugat Pasal-Pasal Pencemaran Nama Baik, Hasil Eksaminasi Publik Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-VI.2008 Tentang Permohonan Uji Materi Pasal 310, 311, 316 dan 207 KUHP Terhadap UUD 1945.

 

Eksaminasi publik ini secara umum bertujuan membentuk atau menciptakan putusan yang kredibel dan pada gilirannya lembaga yudikatif dapat melahirkan putusan yang memiliki dasar, argumentasi, dan memperhatikan perkembangan zaman. Selain itu, melalui pembentukan lembaga eksaminasi publik, putusan-putusan lembaga peradilan dapat memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum, dan mampu dipertanggungjawabkan pada zamannya (hal. 6). Tujuan khususnya adalah menguji putusan Mahkamah Konstitusi dari sudut filosofis, yuridis, dan sosiologis dalam konteks kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan kebebasan menyatakan pendapat di Indonesia.

 

Ada empat cara yang digunakan. Pertama adalah dengan mengumpulkan data perkara perihal pengujian pasal-pasal KUHP terhadap UUD 1945. Metode selanjutnya adalah melakukan diskusi untuk merumuskan materi, proses, dan hasil eksaminasi. Metode ketiga adalah melaksanakan sidang eksaminasi. Metode terakhir adalah dengan menerbiitkan buku mengenai hasil eksaminasi dan mendeseminasikannya kepada publik.

 

Tentu saja bagian penting dari buku ini bukan mekanisme untuk sampai pada eksaminasi, melainkan substansi eksaminasi itu sendiri. Untuk memahami masalah ini, dihadirkan eksaminator dari disiplin ilmu berbeda. Ada dari perspektif hak asasi manusia, sosiologi hukum, pengamat pers, hingga advokat/hukum pidana. Tentu saja, memandang sesuatu secara multidisipliner akan memperkaya analisis. Barangkali, inilah yang patut menjadi perhatian penting dari buku ini.

 

Analisis yang dikembangkan oleh majelis eksaminasi terdiri dari 6 hal. Analisis pertama terkait dengan pembatasan hak menyatakan pendapat. Majelis eksaminasi juga menganalisis putusan MK terkait dengan penerapan norma dan bukan tentang validitas norma. Majelis juga menilai mengenai tindakan MK yang mendelegitimasi eksistensinya sebagai negative legislator.

 

Lebih lanjut, majelis eksaminasi juga mengevaluasi putusan MK terkait dengan tindakan MK yang lebih mendahulukan kepentingan individu di atas kepentingan publik. Majelis eksaminasi menilai bahwa MK telah salah menempatkan posisinya yaitu antara MK sebagai The Guardian atau MK sebagai The Interpreter of Constitution. Analisis terakhir dari majelis eksaminasi terkait dengan putusan MK yang menegasikan prinsip right to know dan akuntabilitas pejabat publik.

 

Simpulan dari analisis majelis eksaminasi adalah MK telah salah dalam memahami konteks permohonan, selain itu pertimbangan MK terkait dengan pembatasan kebebasan ekspresi tidaklah tepat. Lebih jauh lagi, majelis eksaminasi menilai bahwa pertimbangan MK yang menyatakan permohonan para pemohon merupakan bagian dari constitutional complaint, memiliki kelemahan dasar karena MK mengabaikan fakta bahwa persoalan norma yang terjadi disebabkan rumusan delik yang kabur, sehingga hakim akan secara konsiten melanggar hak-hak yang dilindungi dalam Pasal 28 F UUD 1945.

 

Buku ini sebenarnya sangat relevan untuk dibaca mengingat maraknya kasus pencemaran nama baik belakangan ini. Cuma, buku ini bukan tanpa kelemahan. Tim penulis buku ini terlalu memfokuskan diri pada kerangka teori, sehingga kerangka teori lebih banyak disajikan ketimbang analisis terhadap putusan Mahkamah. Padahal esensi buku ini mestinya justru menganalisis putusan Mahkamah Konstitusi. Belum lagi sejumlah kesalahan ketik yang menunjukkan kekurangcermatan editing.

 

Namun secara umum, buku ini tetap menarik untuk dibaca terutama menambah pengetahuan kita. Siapa tahu suatu saat giliran Anda yang dituduh mencemarkan nama baik.

 

Tetapi belakangan justru menimpa rakyat biasa seperti  konsumen yang mengeluhkan buruknya pelayanan publik. Anda tentu masih ingat kasus yang menimpa ibu dua anak, Prita Mulyasari. Gara-gara menuliskan keluhan pelayanan rumah sakit dan mengirimkan keluhan itu lewat email, Prita dijerat dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik.

Halaman Selanjutnya:
Tags: