Kabareskrim: Lebih Mudah Tangkap Koruptor Ketimbang Maling Sandal
Berita

Kabareskrim: Lebih Mudah Tangkap Koruptor Ketimbang Maling Sandal

Kekuatan politik, mafia bisnis, dan legitimasi aparat negara adalah tiga pilar yang selama ini ‘melestarikan' korupsi.

Oleh:
Fat
Bacaan 2 Menit
Kabareskrim: Lebih Mudah Tangkap Koruptor Ketimbang Maling Sandal
Hukumonline

 

Dalam forum yang sama, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Arminsyah berpendapat fenomena korupsi sangat terkait dengan tingkat kesejahteraan. Korupsi marak di Indonesia, karena angka kemiskinan juga terus meningkat. Untuk itu, menurut Arminsyah, solusi yang tepat adalah meningkatkan kesejahteraan, khusus untuk kalangan penyelenggara negara.

 

Kenapa penyelenggara negara, karena selama ini koruptor yang ditangkap oleh aparat penegak hukum kebanyakan dari lingkungan pemerintahan, Arminsyah menjelaskan.

 

Penyebaran Tersangka Korupsi di KPK tahun 2008-Agustus 2009

NO

Level Jabatan

Jumlah

%

1

Anggota DPR/DPRD

18

18,95

2

Komisi Negara

2

2,11

3

Dewan Gubernur/Pejabat BI

7

7,37

4

Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota)

12

12,63

5

Duta Besar, Pejabat Konsulat, Imigrasi

13

13,68

6

Pejabat eselon, Pimpro

17

17,89

7

Pejabat BUMN

5

5,26

8

Aparat Hukum

1

1,05

9

Swasta

19

20,00

10

BPK

1

1,05

 

Jumlah

95

100

Sumber: Dokumen ICW, 2009

 

Jalur transaksi korupsi

Sementara itu, Peneliti Hukum ICW Febri Diansyah memaparkan ada tiga pilar yang selama ini ‘melestarikan' korupsi. Tiga pilar itu antara lain kekuatan politik, mafia bisnis, dan legitimasi aparat negara. Ketiga pilar ini, kata Febri, jika bersatu akan sangat berbahaya. Misalnya, kekuatan politik yang ada di parlemen berkolaborasi dengan mafia bisnis yang kemudian dilegitimasi oleh oknum penyelenggara negara.

 

Seperti undang-undang yang substansinya memihak para pengusaha, bukan memihak masyarakat kecil, Febri mencontohkan.

 

Sosiolog Universitas Indonesia Imam Prasodjo menerangkan ada empat jalur utama transaksi korupsi. Pertama, grand corruption yang biasanya dilakukan oleh elit politik dengan menggunakan kekuasaannya membuat dan melaksanakan kebijakan nasional untuk kepentingan pribadi. Kedua adalah bureaucratic corruption, yakni perilaku korup para birokrat dalam berhubungan dengan elit politik maupun dengan publik. Seperti pegawai negeri sipil, gajinya kecil tapi tandatangannya mahal, katanya.

 

Berikutnya, judicial corruption, yakni perilaku korup aparat polisi, jaksa, dan hakim yang melakukan jual beli kasus hukum. Terakhir, legislative corruption, yakni transaksi korup para anggota legislatif dengan membuat regulasi yang berpihak kepada kepentingan pihak yang menyogok. Jadi dari keempat jalur ini, KPK harus tembang pilih, yaitu memilih jalur grand corruption. Bahwa kasus yang besar lebih dipilih ketimbang kasus yang kecil-kecil, pungkasnya.

Ada kalangan yang bilang Indonesia adalah surganya para koruptor. Lihat saja, fenomena korupsi di negeri ini. Seorang koruptor bisa melengang ke luar negeri tanpa terdeteksi aparat penegak hukum. Mereka, para koruptor, biasanya baru teridentifikasi ketika sudah nyaman di negeri orang. Sebuah tim khusus lintas instansi penegak hukum bernama Tim Pemburu Koruptor dibentuk, namun hasilnya belum maksimal.

 

Pertanyaan yang muncul, apakah begitu sulitnya menangkap koruptor? Jawaban setiap orang pasti beragam. Tetapi, Kabareskrim Susno Duadji sesumbar mengatakan menangkap koruptor sebenarnya mudah. Dalam sebuah acara diskusi di DPD, Kamis (27/8), Susno mengatakan koruptor mudah ditangkap karena mereka memiliki karakteristik atau ciri-ciri yang khas.

 

Koruptor, lanjutnya, mudah dikenali karena biasanya berasal dari kalangan yang memiliki kekuasaan, menduduki posisi penentu kebijakan, atau rekanan, atau panitia pengadaan barang dan jasa. Begitu mudahnya, Susno bahkan membandingkan dengan pelaku pencurian sendal. Mencari pelaku yang mencuri sandal lebih sulit ketimbang mencari koruptor, ujar Kabareskrim yang sebelumnya menjabat Kapolda Jawa Barat itu.

 

Walaupun menyatakan mudah, namun Susno mengatakan kesuksesan pemberantasan korupsi tetap bergantung pada faktor lain. Salah satu yang penting adalah sinergi antara Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketiganya, menurut Susno, adalah lembaga yang memiliki posisi penting dalam menjaga semangat pemberantasan korupsi.     

 

Strategi lainnya, kata Susno, pemberantasan korupsi harus dimulai dari pucuk pimpinan. Posisi pimpinan dinilai sebagai posisi strategis yang rentan korupsi. Jabatan apapun pasti memiliki resiko masing-masing. Jika seseorang takut sama resiko, apapun bentuknya, (lebih baik) tidak usah menjabat, dia menambahkan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: