Jalan Buntu Sumpah Advokat?
Oleh Amrie Hakim & Aisyah RJ Siregar*

Jalan Buntu Sumpah Advokat?

Perselisihan mereka harus diselesaikan sendiri oleh profesi Advokat atau apabila mengalami jalan buntu maka dapat diselesaikan melalui jalur hukum. ~ Surat MA tertanggal 1 Mei 2009 perihal Sikap Mahkamah Agung Terhadap Organisasi Advokat

Bacaan 2 Menit
Jalan Buntu Sumpah Advokat?
Hukumonline

 

Di dalam buku Advokat Mencari Legitimasi: Studi tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia diuraikan bahwa pada masa itu belum terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kualifikasi dasar yang harus dipenuhi oleh advokat sebelum menjalankan profesinya. Sedangkan kualifikasi dasar bagi para pelaku peradilan lainnya (hakim, jaksa, polisi, serta penyidik pegawai negeri sipil) telah disinggung dalam KUHAP dan UU yang mengatur jabatan masing-masing. Wilayah pengaturan lembaga peradilan ataupun pemerintah tidak terbatas pada registrasi saja, tetapi juga yang melakukan pengujian kualifikasi dan menentukan layak tidaknya seseorang untuk berpraktik sebagai advokat (Binziad Kadafi et al, Advokat Mencari Legitimasi: Studi tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta: 2002, hal. 108-109).

 

Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan berbagai kebijakan administratif yang berkaitan dengan pengaturan kualifikasi dan sertifikasi bagi para advokat. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 2 September 1998 No. 1 tahun 1999 disebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk menjadi pengacara. Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah mengikuti materi ujian advokat, apabila telah lulus ujian materi maka pengacara yang memiliki pengalaman menganani tiga perkara pidana umum dan tiga perkara perdata gugatan baru dapat mengajukan surat permohonan menjadi advokat kepada Menteri Kehakiman RI yang disampaikan melalui Ketua Pengadilan Tinggi setempat. Jika pemohonan dikabulkan, maka Menteri Kehakiman RI mengeluarkan surat izin praktek dan advokat yang bersangkutan diangkat sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Tinggi. Pengucapan sumpah memegang peranan penting karena hal tersebut bertujuan untuk memenuhi asas publisitas agar masyarakat mengetahui dan menjadi saksi sumpah calon advokat tersebut (ibid).

 

Sebelum kemerdekaan, pengaturan mengenai sumpah profesi ini diatur dalam Rechterlijke Organisatie (RO) pasal 187. Dalam ketentuan pasal tersebut disebutkan bahwa sebelum menerima jabatannya, advokat harus mengambil sumpah di hadapan ketua Raad Van Justitie (saat ini disebut Pengadilan Tinggi). Tata cara ini kemudian diadopsi dalam peraturan perundang-undangan yang secara umum sumpah jabatan diatur dalam pasal 37 UU No. 14 Tahun 1970 (ibid, hal. 220).

 

Sumpah advokat pasca UU Advokat

Dengan berlakunya UU Advokat, maka ketentuan mengenai pengangkatan untuk menjadi advokat diatur dalam ketentuan UU tersebut. Mengenai pengambilan sumpah advokat diatur bahwa sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya (pasal 4 ayat [1] UU Advokat). Sebagai panduan bagi Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia dalam melaksanakan ketentuan pasal 4 ayat (1) UU Advokat, Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan Surat Edaran No. 1 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pengambilan Sumpah Advokat tertanggal 29 Maret 2007 (lihat di sini)

 

Kita ketahui dari bunyi pasal 4 ayat (1) UU Advokat bahwa pihak yang mengucapkan sumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi adalah advokat dan bukan calon advokat. Artinya, pengucapan sumpah advokat merupakan proses lanjutan dari pengangkatan advokat yang dilakukan oleh organisasi advokat.

 

Dalam praktiknya sejak 2007, organisasi advokat yang secara ketat menjalankan ketentuan pasal 4 ayat (1) UU Advokat melaksanakan pengangkatan dan pengambilan sumpah/janji advokat pada hari yang sama. Pada akhir proses, advokat mengantongi surat pengangkatan sebagai advokat yang dikeluarkan oleh organisasi advokat dan salinan berita acara sumpah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi.

 

Di samping itu, dalam praktik juga terjadi pengangkatan advokat oleh organisasi advokat lainnya yang tidak diikuti dengan pengucapan sumpah/janji sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (1) UU Advokat. Meski demikian, pada satu waktu organisasi advokat yang sama melaksanakan pengangkatan advokat di Nanggroe Aceh Darusssalam yang diikuti dengan pengambilan sumpah oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama. Sebagian pihak mempertanyakan apakah Pengadilan Tinggi Agama termasuk Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat (1) UU Advokat. Karena sebelum berlakunya UU Advokat pengambilan sumpah pengacara oleh Pengadilan Tinggi Agama hanya berlaku untuk berpraktik di Pengadilan Agama.

 

Sumpah advokat kewajiban undang-undang

Dari uraian di atas kiranya cukup jelas bahwa pengucapan sumpah advokat bukan sekadar seremoni, tapi sebuah kewajiban yang diatur dalam UU Advokat. Sumpah advokat sudah ada dan dijalankan secara konsekuen bahkan sebelum UU Advokat berlaku. Pengesampingan kewajiban ini membawa akibat hukum yaitu advokat tidak dapat menjalankan profesinya sampai yang bersangkutan melaksanakan kewajiban tersebut. Tentunya terdapat tujuan dari pembentuk Undang-undang sehingga mewajibkan untuk melakukan pengambilan sumpah advokat.

 

Apa yang telah diatur oleh undang-undang tidak boleh dilanggar oleh peraturan di bawahnya. Sebagaimana aturan yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam hierarki peraturan perundang-undangan kedudukan dari undang-undang adalah di bawah dari UUD 1945 dan di atas peraturan lainnya (seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah). Oleh karena itu pengambilan sumpah advokat memiliki posisi yang kuat dan oleh karenanya adalah suatu kewajiban untuk semua calon advokat agar melaksanakan sumpah advokat.

 

Sumpah advokat bukan sekadar kewajiban undang-undang, namun juga punya arti penting yaitu sebagai kontak pertama antara advokat dengan publik. Hal ini karena profesi advokat tidak hanya berhubungan dengan diri sendiri, melainkan berhubungan dengan orang banyak dan tanggung jawab yang besar kepada para kliennya.

 

Frans Hendra Winarta dalam salah satu bukunya, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, mengatakan bahwa advokat dalam menjalankan pekerjaannya harus memegang teguh sumpah advokat. Dia mencontohkan sumpah advokat di AS yang menurutnya sangat baik. bunyi sumpah itu jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Saya tidak akan dengan kesadaran dan kemauan saya, menganjurkan atau menuntut suatu perkara yang palsu yang tidak berdasar hukum ataupun memberikan bantuan dan saya akan berbuat hal yang sama; saya tidak akan menghambat suatu proses peradilan untuk keuntungan seseorang atau itikad buruk seseorang, tetapi saya akan menjalankan fungsi saya selaku advokat di dalam proses peradilan sesuai dengan pengetahuan dan kebijaksanaan saya yang terbaik dengan segala kesetiaan saya terhadap pengadilan maupun kepada klien saya. Tuhan, bimbinglah daku (baca di sini).

 

Dalam konteks sumpah advokat Indonesia, Todung Mulya Lubis dalam bukunya Jalan Panjang Hak Asasi Manusia menulis bahwa pasal 5 jika dibaca bersamaan dengan pasal 4 UU Advokat akan memerlihatkan profesi advokat yang dikenal sebagai officium nobelium adalah profesi luhur, mulia dan bermartabat. Sumpah itu antara lain berbunyi, saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani. Dengan kata lain, Todung ingin menyampaikan bahwa sumpah advokat harusnya bukan sekadar seremoni atau kewajiban, tapi juga untuk menjaga moralitas advokat dari segala penyimpangan dan penyelewengan.

 

Sumpah advokat tertunda, pengangkatan tetap dilakukan

Konflik antar-organisasi advokat dan antara organisasi advokat dengan MA yang berimbas pada pelaksanaan pasal 4 ayat (1) UU Advokat semestinya tidak merugikan para calon advokat. Setidak-tidaknya organisasi advokat dapat meminimalisir kerugian calon advokat akibat kisruh di tingkat elit tersebut. Calon advokat sudah menjadi korban konflik yaitu dengan tertundanya pengambilan sumpah advokat hingga waktu yang tidak dapat ditentukan. Tapi, hal itu tidak boleh menjadi alasan untuk menunda pengangkatan para calon advokat yang telah memenuhi seluruh persyaratan yang diatur dalam UU Advokat (pasal 3 UU Advokat).

 

Seperti diuraikan sebelumnya, pengangkatan advokat dan pengucapan sumpah advokat adalah dua tahapan yang berdiri sendiri. Pengadilan Tinggi, sesuai ketentuan UU Advokat, hanya mengambil sumpah advokat yang sudah diangkat oleh organisasi advokat. Oleh karena itu, sambil melakukan proses lobi dengan sesama organisasi advokat juga dengan MA, organisasi advokat perlu mempersiapkan pengangkatan advokat seperti yang mereka laksanakan pada tahun-tahun sebelumnya.

 

Selain itu, setidaknya ada dua alasan pragmatis mengapa organisasi advokat harus tetap mengangkat advokat. Pertama, dilanjutkannya pengangkatan advokat berarti organisasi advokat tetap konsisten melaksanakan tugas yang diberikan oleh UU Advokat. Sebaliknya, menunda pengangkatan advokat sama dengan menyimpan bola panas yang telah disulut oleh kisruh di tingkat elit organisasi advokat.

 

Kedua, organisasi advokat hingga saat ini masih melakukan kegiatan sertifkasi advokat seperti pendidikan khusus advokat, ujian profesi advokat, dan administrasi magang calon advokat. Jika organisasi advokat ingin seluruh proses sertifikasi itu berjalan mulus, maka mereka harus melakukan pengangkatan advokat secara rutin sekurang-kurangnya satu tahun sekali.

 

Perselisihan organisasi advokat memang bukanlah suatu permasalahan yang dapat diselesaikan dengan mudah. Tapi, kebuntuan dalam penyelesaian konflik organisasi advokat tetap tidak boleh membuat proses sertifikasi advokat ikut menjadi buntu. Alangkah baiknya apabila organisasi advokat kembali melihat tujuan dari pembentukan organisasi advokat itu sendiri yaitu untuk meningkatkan kualitas profesi advokat. Dengan adanya kesamaan tujuan tersebut, diharapkan agar elit organisasi advokat tersebut mau untuk menurunkan ego masing-masing sehingga kebuntuan dan konflik akan berakhir.



* Amrie Hakim adalah pengasuh rubrik tanya-jawab hukum, Klinik, di  hukumonline.com. Aisyah RJ Siregar adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang saat ini sedang melaksanakan magang untuk rubrik yang sama di hukumonline.com.

Nasib para calon advokat masih diselimuti mendung tebal pasca dikeluarkannya surat Mahkamah Agung (MA) tertanggal 1 Mei 2009 (baca di sini). Mereka menunggu kepastian sampai kapankah MA akan tetap menginstruksikan Ketua Pengadilan Tinggi se-Indonesia untuk tidak mengambil sumpah advokat? Mereka juga menghitung-hitung besar-kecilnya peluang organisasi advokat akan bersatu, sebagaimana disyaratkan surat MA.

 

Sementara itu di tingkat organisasi advokat kegelisahan juga tak kurang hebatnya. Setiap tahun organisasi advokat memproduksi ribuan advokat baru dan mereka sulit membayangkan jika ribuan lawyer itu tidak dapat berpraktik karena belum mengucapkan sumpah. Organisasi advokat juga bertanya-tanya kok bisa-bisanya MA meminta mereka untuk bersatu sebagai syarat dilakukannya kembali pengambilan sumpah advokat oleh Ketua Pengadilan Tinggi?

 

Meski sikap organisasi advokat hampir seragam berkaitan dengan surat MA tersebut, yaitu menyayangkan dan memprotesnya. Tapi, organisasi advokat punya pandangan yang berbeda dalam melihat kewajiban sumpah advokat itu sendiri. Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) menganggap pengucapan sumpah advokat sebagai kewajiban undang-undang yang tidak bisa dikesampingkan. Pada sisi lain, Kongres Advokat Indonesia (KAI) menganggap pengucapan sumpah advokat sekadar seremoni belaka dan bukan suatu kewajiban undang-undang (baca di sini dan di sini).

 

Catatan ringkas ini ingin menelusuri lebih jauh bagaimana kedudukan sumpah advokat dalam UU Advokat, apakah merupakan kewajiban atau hanya seremoni. Catatan ini juga mencoba mencari tahu apakah surat MA akan mengakibatkan terhalanginya munculnya advokat-advokat baru di Indonesia.

 

Sumpah advokat pra UU Advokat

Sebelum berlakunya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), selain advokat terdapat juga penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum. Advokat, penasihat hukum dan pengacara berpraktik di dalam dan di luar pengadilan. Sementara konsultan hukum berpraktik di luar pengadilan. Dahulu yang konsultan hukum tidak mengucapkan sumpah di hadapan Ketua Pengadilan Tinggi, berbeda dengan advokat, penasihat hukum dan pengacara praktik.

Halaman Selanjutnya:
Tags: