Perjuangan Amir Machmud dan Noktah Hitam Peradilan Kita
Fokus

Perjuangan Amir Machmud dan Noktah Hitam Peradilan Kita

Bekerja sebagai sopir di lembaga yang bertugas memberantasa narkoba, Amir Machmud malah terjerat kasus zat haram itu. Dihukum empat tahun bui, tapi terdakwa tidak pernah tahu kapan sidang pembacaan vonis berlangsung. Kini, Amir memperjuangkan keadilan.

Oleh:
Rfq/Mys
Bacaan 2 Menit
Perjuangan Amir Machmud dan Noktah Hitam Peradilan Kita
Hukumonline

 

Surat dakwaan dibacakan 26 Februari, berselang sebulan kemudian jaksa membacakan tuntutan, tepatnya pada 27 Maret 2008. Kala itu, Amir meminta hukuman diperingan. Majelis akhirnya memutuskan untuk menunda persidangan untuk pembacaan putusan seminggu kemudian. Berarti, putusan seharusnya dibacakan pada 3 April 2008. Anehnya, Amir tak pernah lagi dipanggil untuk sidang. Yang terjadi kemudian, Amir menerima salinan putusan dengan vonis empat tahun penjara. Harap dicatat, salinan putusan itu diterima Amir pada 13 Maret 2009, berarti hampir setahun setelah pembacaan tuntutan. Dan, yang menyampaikan salinan putusan itu adalah Kepala Rutan, bukan jaksa. Ketidakhadiran terdakwa dalam pembacaan putusan, kalau benar, tentu sangat aneh. Jaksa dan hakim pasti paham betul rumusan pasal 196 ayat (1) KUHAP: pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa. Kalaupun terdakwa tidak hadir, misalnya dengan putusan verstek, dapat dibenarkan kalau terdakwa tidak diketahui dengan jelas keberadaannya dan sudah dipanggil secara patut.

 

Kejanggalan itulah antara lain yang dibeberkan tim LBH Mawar Saron dalam memori peninjauan kembali. Menurut Friska, kliennya menempuh upaya hukum luar biasa karena ada kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata. Penjatuhan vonis tanpa kehadiran terdakwa dinilai sebagai putusan yang sesat. Apalagi, majelis hakim tidak memeriksa Didi, saksi kunci yang mengetahui latar belakang ekstasi saat Amir tertangkap polisi di tempat hiburan Rajamas, Jakarta Barat.

 

Melalui permohonan PK, Hotma Sitompul dan Friska berharap klien mereka dibebaskan Mahkamah Agung, dan segera melepaskannya dari tahanan.

 

Bantahan

Bambang Suharidjadi, juru bicara Kejaksaan Negeri Jakarta Barat, membantah sejumlah argumentasi pengacara Amir Machmud. Soal proses persidangan yang cepat, kata Bambang, itu sudah sesuai prosedur. Semua tahapan persidangan dalam KUHAP sudah dijalankan. Artinya, jaksa sudah menjalankan semua tahapan sesuai proses yang berlaku. Sudah menjalankan proses. Itu sudah berjalan. Penuntut umum hanya menerima berkas dari polisi. Dilimpahkan ke pengadilan, hakim memutuskan seperti yang temen-temen ketahui, katanya.

 

Bambang memastikan pekan depan jaksa akan memberikan tanggapan atas permohonan PK. Satu per satu argumentasi pengacara Amir akan ditanggapi. Cuma, Bambang tak mau berspekulasi. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada hakim Herry Setyo Budi. Kalau toh memang berpihak kepada pemohon, ya haknya majelis yang memutuskan, ujarnya.

 

Ketika kasus vonis Amir mencuat, Ketua MA Harifin Tumpa juga sempat mengeluarkan bantahan. Pengadilan bersikukuh pembacaan vonis dilakukan dalam sidang, bukan di luar persidangan. Kalaupun tuntutan dan vonis dibacakan pada hari yang sama, kata Harifin, itu biasa dilakukan. Apalagi perkara Amir termasuk perkara yang pembuktiannya mudah. Harifin malah meragukan jika Amir tak ditawari penasihat hukum. Bisa saja, seorang terdakwa enggan didampingi penasihat hukum karena khawatir tidak sanggup membayar.

 

Bukan yang pertama

Potret simsalabim pengadilan kita sebenarnya bukan terjadi hanya dalam kasus Amir Machmud. Masih di PN Jakarta Barat, kita belum lupa penanganan perkara ekstasi atas nama terdakwa Gunawan Tjahjadi. Sidang perkara ini mulai dari surat dakwaan hingga vonis hanya berlangsung tiga hari. Dakwaan dibaca pada 16 Februari, putusan sudah dijatuhkan pada 18 Februari.

 

Lagi-lagi Mahkamah Agung bersikap defensif. Mahkamah menilai tidak ada prosedur yang dilanggar karena jaksa meminta persidangan dengan acara cepat. Sebaliknya, jaksa Sultoni akhirnya dikenakan sanksi. Kasi Pidum Kejari Jakarta Barat itu dipersalahkan karena tidak menyampaikan rencana tuntutan kepada atasan. Sementara soal dugaan uang bermain di balik persidangan kilat itu tak jelas hasil pemeriksaannya. Gunawan ‘hanya' divonis satu tahun penjara dan sempat menghilang sehingga tak bisa dieksekusi.

 

Di pengadilan lain, noktah pengadilan juga menetes. Tahun lalu, terungkap vonis salah terhadap Devid Eko Prianto dan Imam Hambali alias Kemat di Jombang, Jawa Timur. Keduanya divonis bersalah melakukan pembunuhan terhadap Asrori. Rekan mereka, Maman Sugianto, masih menjalani proses persidangan ketika tanpa sengaja terungkap bahwa pelaku pembunuhan Asrori adalah Very Idham Henyansyah alias Ryan. Ryan diadili di Pengadilan Negeri Depok atas kasus pembunuhan lain.

 

Mahkamah Agung pada tingkat peninjauan kembali akhirnya membebaskan Devid dan Kemat. Majelis PK –Artidjo Alkostar, I Made Tara, dan Djoko Sarwoko – menilai argumentasi pemohon PK tentang novum terbukti. Bukti baru itu menyatakan tidak ada keterlibatan keduanya dalam pembunuhan Asrori, jelas Artidjo sesaat setelah menjatuhkan putusan pada 3 Desember tahun lalu. Kini, Amir Machmud pun tengah berjuang mengajukan permohonan PK.

 

Demikian pula akhirnya Maman, yang dibebaskan pengadilan. Kapolda Jawa Timur akhirnya berinisiatif memberikan ‘santunan' kepada korban salah tangkap dan salah vonis tersebut. Akankah pengadilan kita akan terus kecipratan noktah hitam seperti ini? Ataukah, kasus-kasus semacam ini menggambarkan peradilan sesat akibat pikiran positivistik yang membelenggu penyidik, jaksa, dan hakim?

 

Wallohu a'lam.

 

Herawati menyimak dengan tekun proses persidangan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis (27/8) lalu. Perempuan paruh baya ini berharap banyak pada proses yang tengah berlangsung. Beruntung, ia dibantu LBH Mawar Saron, lembaga nirlaba pimpinan advokat Hotma Sitompul.

 

Herawati tidak sedang duduk sebagai terdakwa. Ia hanya menyaksikan sidang perdana permohonan peninjauan kembali yang diajukan suaminya. Amir Machmud, sang suami, hingga kini masih mendekam di Lapas Kelas IIA Pemuda Tangerang. Amir berada di sana setelah diganjar vonis empat tahun. Pengadilan Negeri Jakarta Barat pula dulu yang mengantar Amir ke balik jeruji besi. Toh, Herawati tetap yakin suaminya tidak bersalah. Dia dipukuli dalam keadaan sakit. Waktu dibikin BAP, bapak sudah pasrah, ujarnya dengan suara tercekat.

 

Kegundahan Herawati sebenarnya bukan semata soal dugaan pemukulan oleh penyidik. Yang paling menganggu adalah seluruh rangkaian proses hukum hingga vonis jatuh. Yang paling utama adalah proses peradilannya tidak beres. Criminal justice sistemnya di dalam kasus ini tidak ada yang beres, kata Hotma Sitompul, usai persidangan.

 

Amir didakwa melanggar Undang-Undang Psikotropika dengan ancaman maksimal 15 tahun. Dengan ancaman seperti itu, seharusnya penyidik, jaksa, dan hakim tahu bahwa Amir harus didampingi pengacara. Di setiap tingkat pemeriksaan, pemohon peninjauan kembali, wajib didampingi oleh penasihat hukum, tandas Friska JM Gultom, pengacara dari LBH Mawar Saron. Kalau sejak awal didampingi penasihat hukum, kasus ini mungkin tidak akan terjadi, sambung Hotma.

 

Itu baru satu kejanggalan dari banyak kejanggalan yang terungkap ke permukaan. Dugaan kejanggalan itu pula yang membuat petinggi Kejaksaan dan bagian pengawasan Mahkamah Agung sampai turun tangan memeriksa jaksa dan hakim yang menangani perkara Amir. Tim dari kedua lembaga turun karena persidangan seperti simsalabim. Tim Komisi Yudisial juga langsung menemui Amir di Lapas pada 25 Juni lalu. Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas mengatakan lembaganya melakukan investigasi atas kejanggalan kasus itu, khususnya terkait prilaku hakim yang menangani perkara – Agusdin, Yoseph S.E. Fina, dan Mutarto.

Halaman Selanjutnya:
Tags: