Program Hukum 100 Hari
Tajuk

Program Hukum 100 Hari

Seorang teman, aktivis anti korupsi yang konsisten dalam dua dasawarsa terakhir, dalam diskusi tentang program 100 hari pemerintahan baru SBY-Boediono, dengan sinis dan setengah jengkel mengatakan bahwa Kejaksaan tidak perlu direformasi, karena reformasi di situ tidak akan membawa hasil dan mahal biaya, dan sebaiknya dananya di alihkan saja ke pembangunan institusi KPK.

Oleh:
Red
Bacaan 2 Menit
Program Hukum 100 Hari
Hukumonline

 

Untuk Mahkamah Agung, percepatan proses reformasi tetap harus dilakukan dengan memperhatikan progam utama dan rencana aksi yang telah disepakati oleh Mahkamah Agung sesuai dengan blue print reformasi Mahkamah Agung. Untuk program 100 hari, maka perlu ada beberapa tindakan nyata dan komunikasi keluar yang saya bayangkan sebagai berikut: (i) perlu pencanangan percepatan program reformasi institusi Mahkamah Agung, semua Pengadilan Tinggi di Indonesia dan lima Pengadilan Negeri di Jakarta; (ii) perlu pencanangan program audit tata kelola (governance audit) semua pengadilan di Indonesia untuk mengetahui dan membagi beban kerja, perbaikan remunerasi dan proses seleksi ulang seluruh hakim di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, dan menerapkannya kepada Mahkamah Agung bagi hakim agung yang baru; (iii) perlu penunjukan seorang champion dengan wewenang besar, baik dari dalam maupun dari luar Mahkamah Agung untuk mengomandani seluruh proses reformasi institusi Mahkamah Agung; (iv) perlu pesan ke dalam dan ke luar sistim peradilan bahwa perbaikan remunerasi hakim terkait dengan peningkatan kinerja hakim, dan karenanya harus dibuang jauh kesan bahwa reformasi peradilan berarti  reformasi sistim penggajian hakim; (v) pelaksanaan secara menyeluruh dan konsisten atas transparansi: (a) semua keputusan hakim di seluruh Indonesia di semua tingkat secara online, (b) proses dan status semua perkara yang sedang berjalan secara online; (vi) proses rekrutmen hakim harus dibuat selebar mungkin untuk  hakim karir maupun sumber daya manusia di luar peradilan yang terbukti mempunyai kemampuan tinggi, bersih dan penuh integritas dan mempunyai karakter terpuji; dan (vii) dimulainya laporan harta kekayaan seluruh hakim di segala tingkatan yang diumumkan secara online; dan (viii) diwajibkannya semua hakim untuk mengumumkan secara online dalam hal yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan perkara yang sedang dia adili.

 

Program 100 hari untuk institusi Kejaksaan tidak kalah pentingnya. Saya ingin sekali melihat bahwa dalam 100 hari: (i) semua kesan dan lambang-lambang militeristis di Kejaksaan dicopot dan diganti dengan baju putih lengan pendek atau batik lengan pendek seusia dengan iklim tropis Indonesia agar kesan menyeramkan dari wajah Kejaksaan diganti dengan wajah yang akrab dengan masyarakat umum; (ii) ditunjuknya champion perubahan internal di seluruh jajaran Kejaksaan, baik dari dalam maupun dari luar Kejaksaan; (iii) perlu pesan ke dalam dan ke luar bahwa perbaikan remunerasi terkait dengan peningkatan kinerja jaksa, dan karenanya harus dibuang jauh kesan bahwa reformasi kejaksaan berarti  reformasi sistim penggajian jaksa; (iv) pelaksanaan secara menyeluruh dan konsisten transparansi proses dan status perkara yang sedang dalam pemeriksaan dan penyidikan Kejaksaan secara online; (v) perlu pencanangan program audit tata kelola (governance audit) semua kanor kejaksaan di Indonesia untuk mengetahui dan membagi beban kerja, perbaikan remunerasi dan proses seleksi ulang seluruh jaksa; (vi) proses rekrutmen jaksa harus dibuat selebar mungkin untuk  jaksa karir maupun sumber daya manusia di luar kejaksaan yang terbukti mempunyai kemampuan tinggi, bersih dan penuh integritas dan mempunyai karakter terpuji; (vii) dimulainya laporan harta kekayaan seluruh jaksa di segala tingkatan yang diumumkan secara online; dan (viii) kewajiban semua jaksa untuk mengumumkan secara online dalam hal yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan perkara yang sedang dia sidik.

 

Demikian juga dengan Kepolisian. Kesan militeristis, transparansi, keangkuhan korps, dan kesan korup seperti direfleksikan di depan mata rakyat setiap hari bagaimana polisi lalu lintas memeras pelanggar lalu lintas di jalan, perlu diperbaiki dengan tuntas. Kemudahan untuk memberikan SP3 memberikan peluang untuk memerkarakan seseorang. Kemudahan memeriksa atas dasar laporan masyarakat tanpa bukti awal yang jelas juga harus ditinjau kembali. Negara ini bukan negara militer, dan bukan negara kepolisian juga. Konstitusi kita jelas mengatur hal itu. Simbol-simbol polisi sebagai pengayom masyarakat, dan tidak ditakuti masyarakat perlu segera direncanakan dan digulirkan dalam bahasa dan sikap yang sederhana. Peristiwa bentrok cicak lawan buaya baru-baru ini merupakan pengalaman berharga buat semua pihak bahwa bagaimanapun dan siapapun tidak bisa menindas sesuatu yang didukung oleh masyarakat luas. 

 

Seratus hari bukan waktu yang lama, sehingga yang ingin dilihat masyarakat bukan hal-hal yang di luar kewajaran. Mereka ingin menyaksikan dimulainya langkah nyata, diumumkannya tekad politik tingkat tinggi, dan kesiapan dari para pelaksana untuk mulai melaksanakan program-program besar. Seperti sahabat saya yang lebih senior mengatakan: kita tidak pernah kekurangan konsep dan pemikiran. Kita hanya tidak punya kemampuan untuk melaksanakan.

 

ats, menunggu sahur 31 agustus 2009

Ia mengatakan itu bukan tanpa dasar, karena perubahan yang terjadi di Kejaksaan Agung dan seluruh jajaran kejaksaan selama sepuluh tahun terakhir terkesan tidak berarti. Paling tidak ini tergambar dari kinerja kejaksaan di bidang pemberantasan korupsi yang kalah kemilau dibanding dengan KPK. Padahal KPK, walaupun diberi kekuasaan besar, masih sangat terbatas kemampuan institusi, fasilitas dan sumber daya manusianya.

 

Saya menganggap kekesalan teman ini tidak harus ditanggapi dengan sikap kesal juga, atau nyaris putus asa. Bagaimanapun Kejaksaan adalah institusi penegak hukum negara yang resmi dan tetap harus difungsikan penuh dan harus diubah menjadi institusi yang bebas korupsi, efektif dan mumpuni.

 

Dengan arah reformasi hukum yang kurang jelas seperti sekarang ini, saya membayangkan betapa sulitnya pemerintah yang baru memasukkan agenda (keberhasilan) reformasi hukum sebagai bagian dari program 100 hari-nya. Program 100 hari, dimanapun, harus mengandung quick wins, merebut hati rakyat, melambungkan atau paling tidak mempertahankan rating politik penguasa baru, dan punya angka realitas yang tinggi. Artinya, benar-benar bisa dicapai dalam waktu100 hari itu.

 

Reformasi hukum, sebagaimana saya mengartikannya, merupakan suatu proses yang komprehensif dan digerakkan secara ajeg dan konsisten oleh suatu mesin perubahan dengan wewenang dan kendali yang jelas dan akuntabel. Dimana: (i) ada upaya sungguh-sungguh untuk menyelaraskan substansi peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak terjadi tumpang tindih, kekurangjelasan, salah tafsir dan bentrokan kebijakan publik sebagai akibat dari peraturan yang tidak jelas dan tumpang tindih tersebut; (ii) seluruh peraturan perundang-undangan tidak boleh ada yang bertentangan dengan kebijakan dasar bangsa ini sebagaimana dinyatakan dalam Konstitusi kita,  UUD 1945; (iii) seluruh peraturan perundang-undangan tidak boleh mengandung sedikit pun kemungkinan untuk digunakan sebagai celah melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan benturan kepentingan fungsi pejabat publik; (iv) seluruh peraturan perundangan harus bisa mengubah masyarakat menjadi modern, berpendidikan tinggi, bersaing ketat dengan bangsa-bangsa lain di dunia, dan menjadi masyarakat terbuka yang menghargai pluralisme, tanpa melupakan jati diri bangsa ini; dan (v) seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku mampu menggerakkan ekonomi, mencapai angka pertumbuhan ideal, membuka kesempatan usaha berkeadilan,  dan mensejahterakan semua bagian masyarakat Indonesia.

 

Reformasi yang saya bayangkan juga mencakup usaha yang sungguh-sungguh, ajeg dan konsisten untuk melakukan pembaharuan di semua institusi penegak hukum, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung dengan seluruh bagian-bagian dan unit-unitnya. Dan, kalau memungkinkan juga mengubah fungsi dan kapasitas organisasi profesi hukum menjadi independen, bersih dan penuh kompetensi. Reformasi institusi ini sudah terjadi setengah jalan di Mahkamah Agung sebagai salah satu model dari usaha reformasi birokrasi, tetapi belum diketahui secara jelas apakah proses perubahan yang sama juga terjadi di Kepolisian dan kejaksaan.

Tags: