Tindak Pidana Perbankan Dapat Didakwa dengan UU Korupsi
Korupsi PLTU Sampit:

Tindak Pidana Perbankan Dapat Didakwa dengan UU Korupsi

Penuntut umum mengenakan UU Korupsi, karena melihat modus operandi dan kepemilikan saham di Bank Mandiri. Selain itu, korupsi masih dianggap sebagai extra ordinary crime yang harus diprioritaskan penanggulangan dan pemberantasannya.

Oleh:
Nov
Bacaan 2 Menit
Tindak Pidana Perbankan Dapat Didakwa dengan UU Korupsi
Hukumonline

 

Selain itu, penuntut umum menganggap korupsi merupakan extra ordinary crime yang penanggulangan dan pemberantaannya masih harus diprioritaskan. Ditambah lagi, ada beberapa yurisprudensi, yaitu putusan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung (MA) yang membenarkan pengenaan UU Korupsi pada tindak pidana di lingkup perbankan.

 

Salah satunya, putusan Kasasi MA No.1144 K/Pid/2006 tanggal 13 September 2007 tentang perkara kredit macet di PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Dimana, dalam putusan tersebut, majelis kasasi memutus ECW Neloe (Dirut Bank Mandiri), I Wayan Pugeg (Direktur Risk Management Bank Mandiri), M Sholeh Tasripan (EVP Coordinator Corporate and Government Bank Mandiri) bersama-sama Edyson (Dirut PT Cipta Graha Nusantara) telah melanggar ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) UU Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

 

Dengan demikian, penuntut umum berpendapat UU Korupsi tetap dapat dikenakan terhadap tindak pidana dalam lingkup kegiatan perbankan, seperti yang dilakukan kedua terdakwa. Memang, dalam dakwaannya, penuntut umum menguraikan ada kesalahan prosedur, ketidaklengkapan syarat, dan penyalahgunaan fasilitas kredit oleh PT Karya Putra Powerin (KPP). Dian Siswanto (Relationship Manager) dan Rudy Wibisono (Commercial Banking Center Manager) dianggap tidak melakukan verifikasi sesuai buku pedoman Pelaksanaan Kredit PT Bank Mandiri Tbk Tahun 1999 dan Surat Edaran PT Bank Mandiri Tbk Tahun No 024/KRD/RMN.POR/2003 tanggal 19 Desember 2003.

 

Sehingga, permohonan kredit yang diajukan kedua terdakwa melalui dua pengurus KPP itu disetujui Mandiri. Padahal, setelah ditelusuri, bukti-bukti dokumen yang diberikan KPP ternyata fiktif. Salah satunya, dokumen perjanjian No 02/CW/KPP-KPN/VI/04 tanggal 1 Juni 2004 antara KPP dengan PT Kahanza Prima Nusa. Dimana, seolah-olah dokumen itu ditandatangani oleh Mirza Zulkarnai Mursalin (Dirut PT Kahanza).

 

Dokumen ini dibuat agar mengesankan KPP memiliki kontrak kerja dengan PT Kahanza. Nyatanya, Mirza mengaku sama sekali tidak pernah menandatangani perjanjian itu. Namun, karena data-data dan dokumen-dokumen tersebut tidak diverifikasi oleh pihak Mandiri, permohonan kredit KPP dikabulkan. Dan ini berlanjut pada pencairan dana kredit yang oleh Mandiri dilakukan dalam tiga tahapan. Pertama, disetujui sebanyak Rp35.432.002.925, kemudian Rp4.793.228.433,62 dan terakhir Rp3.718.158.575,22.

 

Namun, karena permohonan pencairan kredit itu merupakan kewenangan dan berada di bawah pengawasan Mandiri, maka Farida tetap berpandangan bahwa yang terjadi dalam perkara ini lebih kepada kesalahan atau pelanggaran pejabat Mandiri dalam memproses persetujuan dan pengajuan pencairan kredit yang diajukan KPP. Kalau kita mau strict ke hukum, ada aturan Pasal 63 KUHAP. Di situ sudah jelas apabila terdapat peraturan yang sendiri, kayak kepabeanan, perbankan, pajak, maka UU Korupsi itu jadi bersifat umum. Dan ini seharusnya dipatuhi, karena jelas Pasal 46 sampai pasal 53 UU Perbankan, itu mengatur kehati-hatian, ujarnya.

 

Lebih lanjut, Farida mengatakan uraian dakwaan penuntut umum mengait-ngaitkan pelanggaran sejumlah pasal dalam Ketentuan Perkreditan Bank Mandiri (KPBM) yang sifatnya rahasia dan internal, sehingga apabila ditarik pada ketentuan umum yang dipergunakan mestinya adalah UU Perbankan. Kalau kita baca di dakwaan, itu sudah jelas melanggar pasal dari pada KPBM, Ketentuan Perkreditan Bank Mandiri. Nah, ini kan otomatis perbankan,dalihnya lagi.

 

Lagipula, Farida menambahkan, putusan Pengadilan Negeri dan MA yang dikemukakan penuntut umum untuk memperkuat dalilnya, bukanlah yurisprudensi. Itu hanya putusan. Belum menjadi yurisprudensi, cetusnya.

 

Masuk pokok perkara

Kemudian, untuk keberatan Farida yang lain, penuntut umum tidak mau menanggapi lebih jauh. Karena sebagian besar materi eksepsi telah memasuki pokok perkara. Salah satunya mengenai pernyataan penuntut umum mengenai kedua terdakwa yang telah mengajukan permohonan fasilitas kredit Mandiri melalui dua pengurus KPP, Agus Wijayanto Legowo (Direktur Utama KPP) dan Hesti Andi Tjahyanto alias Ica Sulaiman (Komisaris Utama KPP).

 

Pernyataan tersebut dianggap Farida sebagai asumsi belaka, karena penuntut umum tidak menguraikan secara jelas apakah permohonan itu diajukan berdasarkan perintah atau permintaan kedua terdakwa. Terlebih lagi, dua pengurus KPP yang menandatangani surat permohonan fasilitas kredit bukanlah orang yang berada di bawah pengampuan.

 

Oleh sebab itu, Farida menilai dakwan penuntut umum kabur (obscuur libel), sehingga patut dibatalkan demi hukum. Tapi, tidak begitu dengan penuntut umum. Lucia mengatakan eksepsi kedua terdakwa tidak perlu ditanggapi karena nanti akan dibuktikan di pokok perkara.

Sidang perkara korupsi dana pembangunan PLTU 2x7 Mega Watt (MW) Sampit, Kalimantan Tengah masih bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kini, giliran penuntut umum mengajukan tanggapannya atas nota keberatan kedua terdakwa, yang Kamis (27/8) lalu dibacakan penasehat hukumnya Farida Sulstyani di hadapan majelis hakim yang diketuai Ida Bagus Dwiyantara.

 

Atas dugaan penyalahgunaan fasilitas kredit Bank Mandiri ini, penuntut umum mengenakan Pasal 2 ayat (1) 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP kepada kedua terdakwa. Yakni, Brahmantyo Irawan Kuhandoko (Presiden Direktur PT Mosesa International) dan Achmad Fachrie (Direktur PT Mosesa International).

 

Pengenaan pasal dalam UU Korupsi ini sempat diprotes Farida. Pasalnya, perbuatan kedua terdakwa yang diuraikan penuntut umum dalam dakwaan berada dalam lingkup kegiatan perbankan. Sehingga, sesuai dengan ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHAP, seharusnya penuntut umum menggunakan asas lex specialis derogat legi generali atau dengan kata lain mengenakan kedua terdakwa dengan UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

 

Namun, penuntut umum Lucia Martha menyatakan bahwa pengenaan UU Korupsi pada tindak pidana yang dilakukan kedua terdakwa tidak sembarangan. Tentunya hal tersebut harus dilihat dari modus operandi kejahatan yang dilakukan, dan (dilakukan) pada bank dengan kepemilikan modal/saham oleh negara atau swasta, paparnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: