Pertamina Gagal Batalkan Putusan ICC
Utama

Pertamina Gagal Batalkan Putusan ICC

Jika Pertamina selaku pemegang kuasa pertambangan menjalin kontrak dengan pihak lain, maka Pertamina harus tunduk pada ketentuan hukum privat.

Oleh:
Mon
Bacaan 2 Menit
Pertamina Gagal Batalkan Putusan ICC
Hukumonline

 

Majelis hakim menilai dalam perkara ini, Pertamina dan PT Lirik telah terikat Enhanced Oil Recovery (EOR) Contract.  Perjanjian itu sendiri telah memenuhi syarat sahnya kontrak berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam klausul arbitrase, kontrak itu menunjuk ICC sebagai lembaga arbitrase yang menangani penyelesaian perselisihan. Pertamina-lah yang mengusulkan penunjukan ICC. Pertamina tahu dengan pasti bagaimana hukum dan lembaga apa yang akan menyelesaikan perselisihan yang timbul dalam kontrak, kata Sugeng. 

 

Dengan begitu, secara hukum penyelesaian perselisihan oleh ICC tidak menyingkirkan kewenangan Pertamina sebagaimana satu-satunya wakil pemerintah yang memegang kuasa pertambangan di bidang minyak dan gas (migas). Pertimbangan majelis hakim sekaligus menampik dalil gugatan Pertamina.

 

Pertamina beralasan putusan ICC cacat lantaran melanggar penegakan dan kepastian hukum. Sebab, putusan ICC menyingkirkan kewenangan bandar minyak nasional itu sebagai satu-satunya kuasa pemegang pertambangan migas mewakili pemerintah. Karena itu bertentangan dengan ketertiban umum sesuai Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD'45.  

 

Menurut majelis hakim, Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 merupakan pengaturan kewenangan pemerintah berupa kebijakan yang bersifat publik. Apabila pemerintah membuat dan menandatangani suatu kontrak dengan pihak swasta, berarti pemerintah sedang melakukan perbuatan yang bersifat privat. Dengan demikian pemerintah harus tunduk pada hukum privat.

 

Kewenangan pemerintah yang bersifat publik, kata majelis, seharusnya muncul sebelum kontrak atau perjanjian dibuat dan ditandatangani. Apabila pemerintah telah menandatangani kontrak yang bersifat privat, maka antara pemerintah dengan pihak yang terikat kontrak mempunyai kedudukan yang sama dan seimbang. Perjanjian itu mengikat bagi yang membuatnya selaku undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata, kata Sugeng.

 

Putusan Internasional

Putusan ICC, kata majelis, merupakan putusan arbitrase internasional. Sebab, saat terjadi perselisihan Pertamina telah memilih Fred B.G. Tumbuan sebagai arbiter untuk mewakili Pertamina. Sedangkan, PT Lirik menunjuk Priyatna Abdurrasyid. Satu arbiter lagi, Michael Pryles, ditunjuk olah Pertamina dan PT Lirik.

 

Selain itu, para pihak juga telah mengikuti prosedur dan beracara sesuai dengan aturan yang ditetapkan ICC. Hasilnya, putusan ICC menjatuhkan hukuman buat Pertamina untuk membayar ganti rugi dan bunga kepada PT Lirik lantaran terbukti melanggar EOR Contract.

 

Perkara ini sendiri timbul gara-gara Pertamina tidak mengabulkan permohonan komersialitas di ladang migas Molek, South Pulai dan North Pulai yang diajukan PT Lirik sesuai kontrak.

 

Karena putusan ICC merupakan putusan internasional, maka putusan itu tidak terikat untuk menuliskan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME. Secara hukum putusan arbitrase aquo, dapat didaftarkan tanpa batas waktu, sah, mempunyai kekuatan eksekutorial, dan dapat dilaksanakan eksekusi, imbuh Sugeng.

 

Kuasa hukum Pertamina, M. Yahya Harahap menyatakan keberatan atas putusan majelis hakim. Putusan itu dinilai bertentangan dengan putusan sela yang dijatuhkan sebelumnya. Menurut Yahya, dalam putusan sela, majelis hakim mengakui bahwa putusan ICC terhadap Pertamina dan PT Lirik merupakan putusan arbitrase nasional. Sebaliknya, dalam putusan akhir dinyatakan putusan ICC sebagai putusan internasional. Namun untuk menentukan apakah putusan itu benar atau tidak, pada dasarnya belum dipelajari dengan baik, ujar Yahya yang juga mantan hakim agung itu.

 

Sekedar mengingatkan, dalam putusan sela majelis hakim menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang memeriksa dan mengadili permohonan Pertamina. Majelis berpendapat Pasal 70 UU No. 30/1999—pasal yang mengatur tentang alasan pembatalan arbitrase—sendiri tidak membedakan pembatalan arbitrase dalam negeri atau internasional. Sepanjang putusan arbitrase tak memenuhi syarat Pasal 70, majelis hakim berwenang tanpa membedakan putusan arbitrase nasional ataupun internasional.

 

Sementara, kuasa hukum PT Lirik, Ariano Sitorus, menyambut positif putusan hakim. Menurutnya, putusan sesuai aturan hukum dan fakta di persidangan. Putusan hakim ini, kata Ariano, bisa menjadi preseden bagi para pihak mematuhi putusan arbitrase yang disepakati.

Putusan International Chamber of Commerce (ICC) terhadap PT Pertamina (Persero) dan PT Pertamina EP masih berlaku. Setidaknya, putusan yang menghukum Pertamina membayar ganti rugi kepada PT Lirik Petroleum itu tak dibatalkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakata Pusat. Putusan arbitrase tak memenuhi syarat batal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 70 UU Arbitrase No. 30 Tahun 1999, kata ketua majelis hakim, Sugeng Riyono, saat membacakan putusan, Rabu (02/9).

 

Dengan begitu, Pertamina harus tetap membayar kerugian kepada PT Lirik sebesar AS$34,172 juta (sekitar Rp346,8 miliar) dan biaya perkara arbitrase sebesar AS$323.250 (sekitar Rp3,2 miliar). Majelis hakim arbitrase ICC juga menghukum Pertamina membayar bunga 6 persen setiap tahun dari jumlah ganti rugi sejak Final Award (putusan akhir) dijatuhkan hingga putusan dieksekusi.

 

Untuk mengeksekusi putusan, putusan arbitrase itu sudah di daftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 21 April 2009. Akta pendaftaran putusan arbitrase itu tercatat dalam akta No. 02/PDT/ARB-INT/2009/PN.JKT.PST. Namun pada 11 Mei 2009, Pertamina melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase ICC ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Yakni, Partial Award (putusan awal) ICC tanggal 22 September 2008 dan Final Award 27 Februari 2009.

Halaman Selanjutnya:
Tags: