Cerita tentang Seorang Mahasiswa Rechtshogeschool
Resensi

Cerita tentang Seorang Mahasiswa Rechtshogeschool

Buku ini mengisahkan kiprah Maroeto Nitimihardjo dalam pergerakan kemerdekaan. Ia dianggap sebagai salah seorang saksi sejarah yang mengetahui banyak kejadian sekitar proklamasi.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Cerita tentang Seorang Mahasiswa <i>Rechtshogeschool</i>
Hukumonline

 

Buku ini mencoba menguraikan sedikit banyak tentang peran yang dimainkan Maroeto Nitimihardjo baik saat menjelang proklamasi hingga masa-masa sesudah kemerdekaan ketika ia aktif di Partai Murba. Buku ini adalah semacam biografi pria kelahiran 26 Desember 1906 tersebut. Yang menarik, si penulis adalah anak kandung Maroeto sendiri. Hadidjojo, sang penulis, menguraikan peristiwa demi peristiwa historis berdasarkan penuturan ayahnya, wawancara klarifikasi dengan tokoh-tokoh lain, dan riset.

 

Maroeto adalah seorang tokoh perjuangan yang memilih kuliah di Fakultas Hukum. Lulus dari MULO, ia melanjutkan pendidikan ke AMS-A di Yogyakarta. Di sini Maroeto mulai terlibat dengan organisasi Jong Java. Tetapi ia baru bersedia menjadi pengurus organisasi ini setelah kuliah di Rechtshogeschool (RHS) di Jakarta. Maroeto malah bertahan sebagai bendahara dalam periode tiga ketua umum Jong Java, yaitu di masa kepemimpinan Wongsonegoro, Sarwono Prawirohardjo dan Kuntjoro Purbodiningrat. Lantaran jabatannya tersebut, Maroeto dipercaya memimpin SOMPI (Studiefounds Oentuk Menolong Pelajar Indonesia), lembaga yang memberikan bantuan dana untuk bersekolah.

 

Maroeto mulai kuliah di RHS pada 1926-1927, lebih junior dibanding Muhammad Yamin. Teman akrabnya di RHS adalah Soegondo Djojopeospito dan Djohan Syahruzah. Sewaktu kuliah di RHS inilah aktivitas organisasi Maroeto padat. Mahasiswa di Jakarta lantas membentuk organisasi yang lebih nasionalis, Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia. Di organisasi yang memiliki motto Hidup Hanya Sekali, Tetapi Kemerdekaan untuk Selama-Lamanya itu Maroeto duduk sebagai wakil ketua. Kiprah organisasi ini dalam sejarah perjuangan kemerdekaan pantas ditulis dengan tinta emas (hal. 27).

 

Mahasiswa juga membentuk  klub debat yang bernama Indonesie Studieclub di Jalan Kramat Raya, semacam forum diskusi bagi mahasiswa dan pelajar di Jakarta. Maroeto ditunjuk sebagai ketua klub ini bukan karena ia hebat dalam berdebat atau berpidato, melainkan lebih karena ia rajin mengkoordinir dan mengatur pertemuan antar mahasiswa, pemuda dan pelajar (hal. 18). Lewat klub inilah ia berkenalan dengan Soekarno, yang ketika itu memimpin Studieclub di Bandung.

 

Lantaran aktif berorganisasi, kuliah Maroeto di RHS bisa dibilang keteteran. Pada penyelenggaraan Kongres Pemuda II, yang melahirkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Maroeto adalah Ketua Penyelenggara, dan Yamin sebagai Ketua Komite Pengarah.

 

Begitulah, nama Maroeto selalu muncul dalam berbagai peristiwa penting menjelang kemerdekaan. Ia pernah ditangkap bersama Djohan Syahruzah karena aktivitas politik dan dipenjara 2,5 tahun. Atas jaminan dari H. Agus Salim, Maroeto dan Djohan tidak akan ditangkap lagi dengan perjanjian mereka tidak akan mendapat gelar ahli hukum (rechtskundige) dari RHS, kecuali mau meninggalkan aktivitas politik. Maroeto tampaknya lebih memilih terus aktif di politik memperjuangkan kemerdekaan ketimbang memperjuangkan gelar ahli hukum itu, alih-alih kuliah satu tahun lagi ke Belanda untuk mendapatkan gelar Meester in de Rechten.

 

Bahkan ketika ia menikah dengan Moerbilantirin Soemadibrata, Maroeto tetap menjalankan aktivitas politik. Ia malah termasuk salah seorang tokoh gerakan ilegal pada masa Jepang, yang ingin segera mendapatkan kemerdekaan. Jalur untuk mencapai kemerdekaan itulah yang antara lain melahirkan perbedaan di kalangan pejuang. Perbedaan itu terus berlanjut hingga agresi militer Belanda. Maroeto yang menjadi anggota Badan Pekerja KNIP ikut mengajukan mosi terhadap kesepakatan Konperensi Meja Bundar (KMB). Menurut Maroeto, perjanjian itu sangat merugikan Indonesia. Hatta, yang memimpin tim Indonesia di KMB, menyebut Maroeto sebagai kepala geng ultranasionalis.

 

Ayahku Maroeto Nitimihardjo

Mengungkap Rahasia Gerakan Kemerdekaan

 

Penulis: Hadidjojo

Penerbit: Kata Hasta Pustaka, Jakarta

Edisi Pertama: 2009

Halaman: 512 +xxiv

 

 

Melalui buku setebal 512 halaman ini kita dapat melihat perbedaan karakter sejumlah tokoh pejuang kemerdekaan. Misalnya bagaimana pertentangan pandangan Hatta dan Sjahrir, bagaimana kelompok ilegal pecah, dan latar belakang hilangnya Tan Malaka. Agar tidak kehilangan konteks, penulis menghubungkan tokoh-tokoh pejuang dalam buku ini dengan keturunan mereka yang masih hidup sekarang. Cara ini memudahkan pembaca yang lahir jauh setelah kemerdekaan bisa lebih memahami dan mengikuti alur tulisan.

 

Buku ini bukanlah ditujukan untuk menonjolkan ketokohan Maroeto, melainkan sekadar menuliskan perjuangan seorang pejuang dari suatu flatform tertentu dengan segala suka dukanya. Buku ini diharapkan bisa memperlihatkan upaya pemuda pelajar dengan semangat pantang menyerah pada masa-masa pergerakan kemerdekaan. Termasuk peran beberapa mahasiswa RHS di Jakarta kala itu.

 

Agar pemahaman kita lebih komprehensif, ada baiknya membaca buku-buku yang ditulis sejumlah tokoh yang disebut dalam buku ini. Ada beberapa tokoh perjuangan yang biografinya diterbitkan seperti Bung Karno, Hatta, Yamin, Iwa Kusuma Sumantri, Adam Malik, dan Sahardjo. Dengan membaca secara komparatif itulah kita bisa mengkritisi buku tentang Maroeto Nitimihardjo.

 

Setelah mengalami penurunan fungsi ginjal dan dirawat di RSCM, Maroeto wafat di Jakarta pada 17 Januari 1989 dalam usia 83 tahun. Ia dimakamkan di TPU Tanah Kusir. Makamnya bersebelahan dengan makam tokoh nasional Sjafrudin Prawiranegara.

Di rumah yang terletak di Jalan Bogor Lama No. 50 Manggarai -kini Jalan Sahardjo- berkumpul seluruh pimpinan kelompok ilegal. Ini adalah kelompok yang melakukan gerakan bawah tanah menentang Jepang, dipimpin Soekarni. Suasana Jakarta pada saat itu terasa mencekam. Semalaman mereka begadang menunggu kabar dari Rengasdengklok, tempat Soekarno dan Hatta dibawa setelah diculik kelompok pemuda.

 

Soekarni datang datang membawa kabar gembira. Proklamasi pasti diumumkan besok. Teksnya akan dibuat di rumah Laksamana Maeda malam itu juga. Kelompok ilegal mengutus enam orang wakil pemuda untuk ikut menandatangani naskah proklamasi, yaitu Soekarni, Chairul Saleh, Adam malik, Maroeto Nitimihardjo, Pandu Kartawiguna, dan Djawoto.

 

Rumah di Jalan Bogor Lama itu memang sudah lama dijadikan semacam markas pertemuan-pertemuan penting. Rumah itu adalah milik Maroeto Nitimihardjo. Sebagai tuan rumah, Maroeto banyak terlibat dalam gerakan dan aktivitas seputar proklamasi. Ia tahu perdebatan-perdebatan dan penulisan naskah proklamasi. Namanya selalu ditulis di buku-buku yang mengisahkan riwayat proklamasi, midalnya dalam buku yang ditulis Adam Malik, Riwayat Proklamasi (1947). Tetapi ia sendiri tidak peduli gambaran tentang seberapa besar keterlibatannya dalam riwayat proklamasi. (hal. 80)

Tags: