Revisi terhadap Kepmenaker 150/2000Kekalahan Gerakan Buruh?
Kolom

Revisi terhadap Kepmenaker 150/2000Kekalahan Gerakan Buruh?

Rencana pemerintah untuk merevisi Kepmenaker 150/2000 tinggal satu langkah lagi. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Al Hilal Hamdi, seperti dikutip dari sebuah media ibu kota, mengatakan bahwa revisi ini telah ada di tangan para pengusaha dan serikat buruh. Ada empat pasal yang rencananya akan direvisi oleh pemerintah, yaitu pasal 15, 16, 18 dan 26. Sementara pengusaha menginginkan tujuh pasal yang harus diubah.

Bacaan 2 Menit
Revisi terhadap Kepmenaker 150/2000Kekalahan Gerakan Buruh?
Hukumonline

Terlepas dari berapa jumlah pasal yang akan direvisi, kalangan serikat buruh sama sekali belum merasa pernah menerima sosialisasi rencana ini. Kesepakatan untuk merevisi Kepmenaker 150/2000 itu hanya merupakan persetujuan sepihak pemerintah sebagai kompromi atas tekanan dari kaum pengusaha, tanpa melibatkan serikat buruh.

Selama satu bulan terakhir ini, memang beberapa serikat pengusaha seperti Aprisindo, Apindo dan Kadin, gencar melancarkan kampanye berisi ancaman untuk melakukan diversifikasi ke negara lain. Demonstrasi buruh dijadikan alasan bagi rencana kaum pengusaha untuk meluaskan usahanya di Vietnam, Cina, dan tempat lainnya.

Bagi kalangan serikat buruh, kami menolak segala usaha pengkambinghitaman kaum buruh demi mengedepankan kepentingan para investor. Tampaknya, ancaman ini justru dikeluarkan karena ada konsesi konsesi yang ingin dicapai oleh para pengusaha atas kebijakan kebijakan ekonomi pemerintah yang mereka anggap bakal menambah naiknya biaya produksi.

Selain persoalan ekonomi biaya tinggi, peraturan perburuhan, kenaikan BBM dan listrik, ada pula serangkaian kenaikan pajak, baik yang diputuskan oleh pemerintah pusat maupun oleh pemda dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Berbagai kebijakan ekonomi ini, kemudian diprediksi bakal mengurangi besarnya profit yang bisa dinikmati oleh para pengusaha. Karena itu, variabel lainnya dalam struktur biaya produksi harus ditekan.

Di Indonesia, upah merupakan variabel yang paling fleksibel. Hal ini disebabkan tingginya jumlah pengangguran serta lemahnya gerakan buruh. Maka, sedapat mungkin, pengusaha harus mendesak pemerintah untuk memangkas komponen komponen dalam upah dan tunjangan.

Upah minimum adalah komponen yang relatif telah baku, karena ada standar hidup yang kurang lebih jelas dan pasti. Namun, berbagai komponen tunjangan lainnya harus dikurangi, agar keuntungan masih bisa tetap stabil. Salah satunya adalah besarnya tunjangan atas pesangon, masa kerja, dan ganti rugi yang semuanya tersebar dalam pasal pasal di Kepmenaker 150/2000 yang "kontroversial" ini.

Kepmenker 150/2000 berjudul Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan. Sesuai dengan judulnya, Kepmenaker ini bukan semata mata memberi kepastian tentang berapa besar jumlah pesangon, ganti rugi, dan uang jasa yang harus diterima oleh buruh ketika terjadi PHK di terhadap dirinya. Namun secara umum, juga mengatur perlindungan terhadap posisi buruh dalam berhadapan dengan pengusaha.

Posisi buruh lemah

PHK, baik perorangan maupun massal telah menjadi satu kejadian sehari hari. Dengan melimpahnya jumlah pengangguran (hampir mencapai jumlah 40 juta), posisi tawar buruh di hadapan pengusaha amat lemah. Pasar tenaga kerja yang membludak membuat pergantian buruh berjalan cepat.

Hampir setiap hari, serikat buruh kehilangan anggotanya karena di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Pengusaha dengan mudah dapat me PHK buruh, baik karena pertimbangan kepentingan efisiensi proses produksi maupun kepentingan untuk melepaskan diri dari buruh buruh yang vokal dan aktif dalam membangun serikat buruh di perusahaan tersebut.

Bukan merupakan kejadian yang aneh ketika buruh di PHK akibat berusaha mendirikan serikat buruh di tempat kerjanya. Meskipun pasal 2 Kepmenaker 150 ini telah menegaskan bahwa setiap PHK harus mendapat izin dari Panitia Daerah maupun Pusat. Namun, jumlah kasus PHK yang masuk ke lembaga ini tidak berkurang. Jumlah kasus PHK yang masuk sepanjang tahun 2000 sebanyak 3.000 kasus, yang tentu saja logikanya bukan hanya 3.000 orang yang diproses PHK karena dalam setiap kasus bisa melibatkan puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang.

Harus dipahami bahwa ini bukan semata mata disebabkan oleh krisis ekonomi. Namun, juga karena faktor faktor lain, seperti lemahnya perlindungan bagi buruh, kekuatan serikat buruh yang tidak mampu mempertahankan kepentingan anggotanya, ataupun penegakan hukum yang masih kacau balau oleh kolusi dan korupsi. Hal hal yang telah jelas tertulis dalam peraturan dan UU pun masih tetap diingkari dalam prakteknya. Apalagi hal hal yang memang belum diatur.

Oleh sebab itulah, kehadiran Kepmenaker ini menjadi penting untuk memproteksi buruh dari ancaman ancaman PHK sepihak dan mencegah agar pasar tenaga kerja tidak semakin anjlok dengan meningkatnya jumlah pengangguran. Pasal 15, misalnya menegaskan bahwa buruh tidak dianggap mangkir jika tengah melakukan mogok kerja sesuai peraturan yang berlaku.

Karenanya, diasumsikan bahwa buruh berhak atas upahnya, meskipun tengah mogok. Dan buruh pun berhak bekerja kembali seperti semula setelah perselisihan dengan pengusaha telah usai. Ini merupakan sebuah perlindungan terhadap hak mogok. Artinya, jika jalur jalur negosiasi telah gagal, buruh berhak untuk mempergunakan hak mogoknya, tanpa harus cemas akan intimidasi PHK dan pemotongan gaji. Ekspresi ketidakpuasannya atas kesejahteraan dan kondisi kerjanya betul betul dilindungi.

Selama ini, PHK seolah dijadikan tindakan balas dendam dari pengusaha kepada para buruhnya yang vokal dan aktif. Alasannya, selama mogok mereka telah mangkir bekerja lebih dari 5 hari. PHK juga digunakan sebagai senjata untuk menakut nakuti buruh lainnya agar tidak melakukan hal yang sama. Akibatnya, hak mogok hanya ada di atas kertas, karena besamya konsekuensi yang harus ditanggung buruh sebelum, selama, dan sesudah pemogokan.

Hak mogok

Desakan para penguaha untuk merevisi pasal ini adalah untuk memastikan bahwa hak mogok harus direduksi dan dibatasi, sekali lagi atas nama keuntungan. Sesungguhnya bukanlah hak mogok yang mesti dipangkas. Namun, kondisi dan situasi kerja yang mesti dibenahi, serta jaminan bahwa hak hak buruh tidak diingkari.

Mennakertrans sendiri menyatakan bahwa 40% dari seluruh pemogokan yang ada, bersumber dari hak hak normatif yang tidak dipenuhi. Membatasi hak mogok tanpa memperbaiki kesejahteraan, kondisi kerja dan perlakuan terhadap buruh, sama saja dengan menambah beban eksploitasi ke atas pundak buruh.

Pasal 16 menyatakan bahwa sebelum izin PHK diberikan oleh Panitia Pusat maupun daerah, maka buruh berhak atas 75% dari upahnya. Ini juga berlaku jika para buruh terkena sanksi skorsing dari perusahaan. Dalam kenyataan, proses keluamya ijin PHK bisa sangat panjang dan berbelit, bukan hanya dalam hitungan minggu, tapi juga bulan.

Dalam periode itu, buruh tentu tidak memiliki penghasilan alternatif, karena selama ini waktunya habis untuk bekerja di satu perusahaan saja. Membuka usaha sampingan adalah angan angan karena ketiadaan modal, sementara hidup harus berjalan terus. Maka, upah sebesar 75% ini sangat besar artinya, terutama di saat saat tanpa kepastian seperti ini. Peraturan ini sesungguhnya untuk mengingatkan pengusaha agar berpikir lima atau sepuluh kali sebelum mem PHK buruhnya. Sehingga meskipun ada perselisihan, tidak sampai berujung pada PHK.

Pasal pasal lain sesungguhnya juga memiliki esensi sama, yaitu tentang perlindungan. Sebagai contoh dalam pasal 18, meskipun seorang buruh terbukti melakukan kesalahan, ia tetap berhak atas uang penghargaan masa kerja. Ini menunjukkan bahwa kontribusi buruh tersebut bagi perusahaan selama ini tetap dihargai secara rasional dan layak, meski pada akhirnya di-PHK karena melakukan kesalahan. Sebuah hubungan kerja harus didasarkan pada pertimbangan obyektif dan adil atas apa yang nyata nyata telah dihasilkan selama ini, tanpa mencampuradukkannya dengan kesalahan kesalahan yang timbul belakangan.

Tidak konsisten

Tidak ada alasan yang cukup kuat untuk mendukung rencana revisi ini. Kepentingan yang dominan dan diakomodasi oleh pemerintah tentulah kepentingan pengusaha. Sebuah sikap yang sama sekali tidak konsisten. Karena jika alasannya untuk menjaga iklim investasi, dalam berbagai kutipan di media massa, Mennakertrans dan Menko Ekuin sendiri menyetujui ekonomi biaya tinggi sebagai penyebab utama munculnya ancaman diversifikasi ini, dan bukanlah aktivitas kaum buruhnya.

Tidak adil melihat pemerintah dengan mudahnya berkompromi dengan pengusaha untuk mempreteli kembali apa yang telah menjadi hak buruh. Maka, langkah langkah penegakan hukum dan pembersihan lembaga lembaga perburuhan dari berbagai praktek dan kebijakan lama adalah sesuatu yang sesungguhnya merupakan prioritas.

Daripada merevisi Kepmenaker, lebih baik pemerintah "merevisi" mekanisme pengawasan dan pembinaan berikut komposisi lembaga lembaganya. Dari pada mengorbankan satu pihak demi memuaskan pihak lainnya, lebih layak jika dicari di mana titik temu persoalan bersamanya, yang solusinya bisa tidak merugikan siapa pun dan melibatkan partisipasi kedua belah pihak. Dari pihak manajemen perusahaan juga dituntut transparansi dan keterbukaan, agar serikat buruh dapat mengetahui besarnya profit yang diperoleh perusahaan.

Selanjutnya, tuntutan serikat buruh juga dapat disesuaikan dengan kemampuan perusahaan. Sehingga,  perselisihan dapat diselesaikan lebih cepat dan adil. Adalah hak para pengusaha untuk dengan gigih mengupayakan berbagai keringanan pajak dan fasilitas dari pemerintah, bahkan hingga mengusahakan agar Kepmen 150 ini dicabut. Namun mengkambinghitamkan buruh sebagai alasannya sungguh tidak layak ditolerir.

Rencana pemerintah untuk merevisi Kepmenaker ini pun, jika terjadi, harus dilihat sebagai kekalahan sementara gerakan buruh atas kepentingan pengusaha akibat ketidakkonsistenan pemerintahan. Serikat serikat buruh mesti berkonsolidasi secara serius untuk menentang rencana revisi atau pencabutan ini, karena ditakutkan bisa menjadi preseden bagi kebijakan perburuhan pemerintah di masa mendatang.

Proses PHK yang mudah dan murah, akan membuat posisi tawar buruh dalam situasi krisis ini semakin dan semakin rendah lagi. Lalu siapa yang mau bertanggung jawab jika jumlah pengangguran semakin bertambah nantinya?

 

Dita Indah Sari adalah Ketua Umum Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI)

 

Tags: