Kampungan
Tajuk

Kampungan

Istilah kampungan tidak selalu berkonotasi negatif atau merugikan. Kadang istilah ini berarti tradisional atau anti kemajuan atau kemajuan yang salah kaprah.

Oleh:
ATS
Bacaan 2 Menit
Kampungan
Hukumonline

Kalau Anda masuk rumah orang Minang asli, akan susah keluar tanpa Anda makan nasi kapau di rumah mereka. Kalaupun Anda bergegas, seorang ibu akan dengan setengah paksa memasukkan sejumput kecil nasi putih ke mulut Anda. Suatu simbol Anda telah diterima dan diperlakukan dengan baik. Kejadian yang mirip akan Anda alami kalau Anda masuk ke rumah petani miskin di pinggir hutan jati di sekitar Blora, Jawa Tengah. Anda akan ditawari nasi campur jagung dan ketela, kadang-kadang dengan ikan asin, menu terbaik mereka yang lazim tersedia waktu kemarau memuncak dan hutan jati meranggas. 

Kejadian yang sama akan Anda alami hampir di seluruh pojok Indonesia. Anda akan ditawari ubi yang dibakar di lubang yang ditimbuni batu panas oleh saudara-saudara kita di Lembah Baliem yang masih nyaris telanjang. Anda akan ditawari gulai kepala ikan di  desa-desa kecil di Aceh yang tidak pernah berhenti bergolak. Semua dalam keadaan mereka yang serba kekurangan dalam ukuran apapun yang Anda pakai. Dan semua ditawarkan kepada Anda dalam semangat menjamu tamu dengan apapun yang terbaik yang mereka miliki.

Inilah mungkin sifat dasar manusia Indonesia. Mereka dari Sabang sampai Merauke  tanpa pernah saling jumpa, tanpa saling kenal, tanpa dipaksa dengan sistematis, disatukan oleh sifat yang hampir kolektif sama. Tamu lebih berharga, kesan baik dari tamu adalah harkat dan martabat yang harus dijunjung. Tidak perduli apakah ada yang tersisa untuk anak-anak mereka, tanpa perduli apakah seluruh anggota keluarga harus menanggung derita karenanya.

Kalau dikaji, terlihat bahwa rasionalitas dikalahkan, gengsi dan martabat diutamakan. Jadilah kita orang Indonesia makhluk irasional dengan pola pikir yang tidak masuk akal sehat bagi banyak orang asing. Oleh mereka yang terpapar oleh budaya asing, sikap itu dikatakan sikap "kampungan", ciri khas masyarakat agraris. Istilah yang tidak negatif karena ada unsur martabatnya, tapi sering dicibir sebagai sikap orang pinggiran yang selalu mau berkorban tanpa imbalan.

Jadi waktu pemerintah semula bersikeras mau mengimpor mobil super mewah untuk ukuran kemiskinan Indonesia kini untuk KTT G-15 (yang sebagian juga negara-negara miskin), tanpa ingin membenarkan kebijakan gila itu, saya heran betul bahwa begitu banyak orang marah. Bukankah yang keluar adalah sikap kampungan yang khas masyarakat Indonesia untuk memberikan yang terbaik kepada para tamu terhormat? Mereka yang berteriak tentu sangat rasional waktu memprotes tindakan yang jauh dari sensitif itu. Tapi giliran mereka harus menerima tamu mereka sendiri, rasionalitas itu bisa hilang lenyap tak berbekas, karena apapun yang terbaik akan mereka berikan untuk tamunya demi martabat dan gengsi. Jadi marah tentu boleh, tetapi heran agaknya mengingkari kelakuan sendiri.

Waktu orang-orang dan Pansus ribut-ribut soal Brunei-gate, orang juga lupa bahwa "skandal" itu juga terjadi karena sikap "kampungan" (baca : tradisional) lainnya yang sudah temurun. Dalam tradisi pesantren, maka sang Kyai adalah penguasa tunggal dan tertinggi. Kata-katanya adalah sabda junjungan yang tidak pernah salah. Jadi kalau ada umat yang mau memberikan kontribusi, tentu bagaimana dan untuk apa itu mau digunakan terserah saja pada sabda sang Kyai. Tidak ada laporan keuangan, tidak ada akuntabilitas, tidak ada tanya-tanya. Semua yang dilakukan sang Kyai adalah untuk kebaikan umat, agama dan masyarakat luas. Jadi kenapa harus dipertanyakan? Toh, sang Kyai tidak menerima sepeser pun hasil kontribusi itu. Dia tetap sederhana, tidak berlimpah materi, pesantren tetap berjalan menyiarkan Islam, dan bahkan masih bisa sedekah menebar amal ke sana-sini ke masyarakat yang didera kesusahan. Kalau soalnya pelanggaran hukum, maka tentu hukum harus bicara dan ditegakkan. Akan tetapi kalau hanya terbatas pada kebijakan, tesnya adalah pada kepentingan publik secara luas.

Terus, waktu anggota majelis dan dewan yang juga banyak mengaku para kyai itu menganggap kekuasaan harus dibagi habis dengan parpol unggulan, dan waktu dewan ikut bertindak bak eksekutif dalam perkara perbankan dan restrukturisasi, dan sah-sah saja buat pimpinan majelis untuk bicara apa saja tentang kepala eksekutif dalam bahasa yang selalu bombastis yang sulit dimengerti para konstituen. Bahkan, dengan gagah berani memimpin demo mahasiswa mencoba menjalankan demokrasi jalanan yang sebenarnya hanya porsi mahasiwa.

Kita sekali lagi menerapkan sikap "kampungan" (baca : gotong royong) kita dengan amat baiknya. Bukankah di masyarakat adat semua masalah diselesaikan dengan musyawarah mufakat oleh semua unsur masyarakat? Tidak ada pemimpin tertinggi yang otoriter dan punya kata "putus" untuk mengakhiri suatu masalah. Semua dirembugkan, semua melalui proses panjang dari debat kusir diselingi kunyahan sirih, kopi kental dan saling berpantun ria? Kita tidak sedang melakukan pembebasan ideologi, tidak pula mencari pencerahan religius atau menerapkan trias politika.

Kita sedang menerapkan akar budaya kita dalam konteks perubahan besar-besaran yang sedang terjadi di Indonesia, di kawasan regional bahkan dunia. Kita sedang bersikap kampungan, sementara atap dunia diatas kita menjelang runtuh. Kita orang pinggiran yang tidak punya "sense of crisis" , karena krisis hanya terjadi di masyarakat yang materialistik, terbuka dan liberal yang tradisinya diperbaharui dengan konvensi, hukum dan suara terbanyak.  Di masyarakat kampungan, dunia berjalan perlahan, semua akan menjadi sembuh dengan sendirinya (self-healing), dan tiada bait terakhir untuk pantun yang terus berbalas.

Vive le sinetron, vive le dangdut !

Tags: