Dalam berita yang dilansir media massa beberapa hari lalu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan kalau CPI telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan persekongkolan dengan sejumlah calon pemasok dalam pengadaan tender pipa besar (casing) dan pipa kecil (tubing). Dikatakan pula, perbuatan CPI tersebut melanggar pasal 22 UU Anti Monopoli.
Namun dari putusan KPPU No.01/KPPU-L/2001 yang diperoleh hukumonline, tidak satu pun butir putusan yang menyatakan CPI terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 22.
Dalam butir pertama putusannya, KPPU menyatakan pengadaan casing dan tubing berdasarkan tender No.Q-034210-0000-0000-00-52 terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 22 UU Anti Monopoli. Pasalnya, penentuan pemenang tender dihasilkan melalui persekongkolan antar sesama peserta tender.
Pada butir kedua putusan tersebut, KPPU memerintahkan CPI agar menghentikan kegiatan pengadaan casing dan tubing berdasarkan tender tersebut selambat-lambatnya 30 hari.
KPPU boleh memilih
Terlepas dari siapa yang bersekongkol, apakah pemasok pipa atau CPI ataukah keduanya (CPI dengan pemasok), putusan KPPU yang menyatakan telah terjadi pelanggaran pasal 22 UUAM, menarik untuk dikritisi. Menariknya, lantaran KPPU menyatakan telah terjadi pelanggaran pasal 22 UUAM. Namun, pelanggaran tersebut bukanlah pelanggaran perdata atau pidana. Sehingga, KPPU hanya menjatuhkan sangsi kepada CPI untuk menghentikan tender.
Pada UU Anti Monopoli Pasal 48 ayat (2) dinyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan pasal 5& pasal 20-24& diancam pidana serendah-rendahnya Rp5 miliar dan setinggi-tingginya Rp25 miliar atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 bulan. Timbul pertanyaan apakah pelanggaran pasal 22 merupakan suatu pelanggaran pidana?
Syamsul Maarif, Wakil Ketua KPPU, mengemukakan bahwa tidak ada pertentangan antara apa yang diputuskan KPPU dengan ketentuan pasal 48 tersebut. Menurutnya, pasal 48 mengatur jenis-jenis sanksi pidana. KPPU berwenang untuk menjatuhkan sanksi apapun sanksinya.