Dekrit Presiden Vs. Sidang Istimewa
Kolom

Dekrit Presiden Vs. Sidang Istimewa

Bagi masyarakat kita, bukan pertama kalinya mendengar keinginan meng-SI-kan Presiden Abdurrahman Wahid dilontarkan kalangan DPR. Juga bukan yang pertama kali keinginan membubarkan DPR melalui Dekrit disampaikan oleh Presiden Wahid, sebagai respons atas memorandum yang dikeluarkan DPR.

Bacaan 2 Menit
Dekrit Presiden Vs. Sidang Istimewa
Hukumonline

Kedua kekuatan tersebut tentunya memiliki argumentasi logis masing-masing. Dan keduanya, mendasarkan keinginan mereka dengan mengacu pada konstitusi yang dipahaminya. Penafsiran terhadap makna konstitusi yang antagonis seperti ini, terkadang membingungkan awam. Bahkan, cenderung memunculkan tindakan manipulasi sosial yang kita saksikan selama ini. Padahal, sekiranya kedua pihak berada pada aras yang sama, tidak perlu terjadi subyektifitas pemaknaan konstitusi.

Kondisi ini merupakan akibat dari eksperimen demokrasi para politisi, yang sebenarnya takut menerima kenyataan demokrasi. Kini, mereka menyesali bahwa pilihannya mengecewakan. Sementara yang terpilih merasa  kedudukannya terancam. Seharusnya, sentimen subyektif seperti itu tidak pantas mengemuka di alam demokrasi kini.

Kenyataannya, sekarang kita masih dalam tahap transisi menuju demokrasi atau  tengah melakukan konsolidasi demokrasi. Maka, wajar saja konflik dan kemelut politik menyeruak di era kepemimpinan sipil yang multiinterpretasi terhadap makna demokrasi.  Sehingga, Sidang Istimewa atau Dekrit Presiden yang memiliki substansi sangat penting dan sakral dalam kehidupan bernegara, seolah dilumrahkan dan dianggap kelaziman konstitusional. Para pemegang kekuasaan merasa dapat setiap saat menggunakan legitimasinya melakukan hal tersebut.

Namun bagi pemerhati demokrasi, setidaknya bagi mereka yang berpikir sebagai negarawan, kondisi seperti itu amat memprihatinkan. Mempelajari konstitusi bukan monopoli para akademisi hukum. Begitupun mencermati kondisi politik bukan monopoli para politisi. Persoalan politik dan konstitusi merupakan persoalan kita bersama yang layak dicermati sebagai bahan masukan dan perbaikan pembangunan demokrasi. Begitupun dalam mencermati perseteruan DPR dengan presiden

Legalitas kekuasaan

Sebagaimana layaknya kedudukan Presiden Wahid, kedudukan para anggota DPR memiliki legitimasi yang kuat. Dalam sistem politik kita, DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif berfungsi mengawasi jalannya pemerintahan. Presiden, pemegang kekuasaan eksekutif berwenang menjalankan roda pemerintahan, mengeluarkan kebijakan, melakukan hubungan internasional, yang kesemuanya tidak lepas dari persetujuan atau setidaknya sepengetahuan DPR.

Untuk itulah lembaga kepresidenaan dan lembaga DPR perlu menjalin kerjasama  erat dalam hal menjalankan fungsi kekuasaan masing-masing, sebagaimana diatur dalam konstitusi. Konsekuensi logis dari pembagian kekuasaan tersebut adalah tidak adanya kekuasaan yang boleh mendominasi satu dengan yang lainnya. Kedua lembaga tersebut tunduk kepada aturan konstitusi dan secara moral bertanggungjawab terhadap konstituen politik yang memberikan kepercayaan kepada mereka.

Jauh hari sebelum terjadinya konflik kekuasaan sebagaimana dialami oleh banyak negara, John Locke (1632-1704) dan Montesqieu (1689-1755) telah mengantisipasi keadaan ini melalui gagasannya mengenai pembagian kekuasaan nNegara. Di dalam karya mereka Two Treaties of Government (John Locke) dan The Spirit of Laws (Montesqieu), ditekankan pentingnya pembagian wewenang kekuasaan dan pentingnya konstitusi dalam negara agar kekuasaan tidak sewenang-wenang.

Tags: