Kepemilikan Silang di Media Penyiaran Kebebasan Pers atau Ancaman Demokrasi
Kolom

Kepemilikan Silang di Media Penyiaran Kebebasan Pers atau Ancaman Demokrasi

Perdebatan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran akan terus bergulir karena sampai saat ini RUU Penyiaran belum ditetapkan sebagai Undang-Undang oleh DPR. Salah satu perdebatan di dalam RUU Penyiaran, yaitu perlu tidaknya larangan kepemilikan silang (cross ownership) media penyiaran di Indonesia. Wacana ini penting untuk terus diperdebatkan mengingat akan dilakukan kompromi antara DPR serta praktisi dan pemilik media penyiaran untuk mengakhiri perseteruan pendapat dalam waktu dekat ini.

Bacaan 2 Menit
Kepemilikan Silang di Media Penyiaran  Kebebasan Pers  atau Ancaman Demokrasi
Hukumonline

Kebebasan pers dalam teori demokrasi modern selalu dianggap sebagai sebuah indikator demokrasi. Dalam semboyan negara demokrasi dinyatakan, tiada demokrasi tanpa kebebasan pers. Memang tidak ada yang menyangkal pendapat semacam ini. Pengalaman demokrasi di negara maju menunjukan bahwa demokrasi hanya mungkin jika terdapat persaingan politik yang didukung oleh aliran informasi yang bebas.

Sebuah pertanyaan pun muncul, apakah ketika sistem negara demokratis dengan civil society sudah terbentuk, ancaman kebebasan pers berhenti. Jawabnya, tentu saja tidak. Kebebasan pers akan terus mendapat ancaman. Mungkin, bukan lagi dari penguasa atau masyarakat yang sedang menjadi tren saat ini.

Ancaman kebebasan pers di masa depan sangat mungkin berasal dari institusi pers itu sendiri. Yaitu, para pemilik modal di perusahaan pers. Ancaman yang terakhir ini bukan saja ancaman terhadap pekerja pers, tetapi sekaligus merupakan  ancaman terhadap kematangan demokrasi itu sendiri. 

Fenomena ini dilihat dengan baik oleh Robert Mc Chesney, Guru Besar di Universitas Wisconsin Amerika Serikat, dalam berbagai tulisannya seputar ekonomi politik di media, khususnya yang terjadi di AS. Menurut Chesney, penguasaan beberapa kelompok pemodal terhadap media telah berimplikasi buruk bagi praktek politik di AS. Apalagi bila disadari bahwa penguasaan media dan pemilikan pribadi telah memberi peluang bagi kepentingan komersial yang mempengaruhi isi media.

Chesney mengambil contoh bahwa komersialisme dalam bidang media dan komunikasi telah berpengaruh besar dalam mendorong depolitisasi masyarakat sipil AS. Pemilik media menciptakan suatu budaya politik yang lemah, penuh apatisme, dan egoisme yang sangat kental di antara warga negaranya.

Chesney juga mengungkapkan bahwa dampak penghapusan pengaturan cross ownership secara tegas sejak awal 1990-an di AS, telah melahirkan sekelompok pengusaha media massa sebagai kekuatan politik baru yang acap kali bertindak untuk kelangsungan bisnisnya sendiri. Secara politik, pengusaha media massa dapat menentang dengan sekeras mungkin intervensi negara dalam aktivitas mereka. Kebijakan negara dipandang sebagai kejahatan besar terhadap pasar bebas dalam industri media, tanpa mau mempelajari terlebih dahulu apa maksud di balik kebijakan tersebut.

Pengaturan cross ownership

Cross ownership di media massa selalu menjadi konflik dalam berbagai pembentukan undang-undang yang mengatur seputar tentang media massa dan telekomunikasi di beberapa negara. Hal ini tentu tidak lepas dari pentingnya ketentuan ini dalam mengatur hubungan antara pemilik media, masyarakat, dan pemerintah. Begitu juga yang terjadi di Indonesia.  Pengaturan cross ownership dalam RUU Penyiaran terdapat dalam Pasal 16 yang menyatakan bahwa :

Tags: