Pengalaman ThailandKonstitusi Baru, Konstitusi Rakyat
Kolom

Pengalaman ThailandKonstitusi Baru, Konstitusi Rakyat

Arena tarung politik yang mulai mendingin masih menyisakan soal-soal yang belum tuntas. Ketidakjelasan sistem politik menjadi semakin terlihat saat para yuris dan komentator bersilang pendapat dan mengajukan klaim-klaim konstitusional atau inkonstitusional. Apakah kisah seperti ini akan terus kita pertahankan?

Bacaan 2 Menit
Pengalaman ThailandKonstitusi Baru, Konstitusi Rakyat
Hukumonline

Sampai dengan hampir satu dekade yang lalu, krisis konstitusi yang parah juga terjadi di Thailand. Bahkan, lebih parah dari Indonesia. Bahkan sampai dengan tahun 1992 atau dalam kurun waktu 60 tahun sejak menjadi monarki konstitusional (dari monarki absolut tanpa konstitusi), Thailand memiliki 15 konstitusi dan 16 kudeta militer. Enam dari 15 konstitusi tersebut merupakan "konstitusi sementara" sebagai janji dari pihak militer yang melakukan kudeta pada saat itu.

Baru pada 1992, setelah didorong oleh krisis politik, hukum, dan ekonomi yang berkepanjangan, masyarakat Thailand mulai berpikir bahwa saatnya telah tiba bagi mereka untuk memiliki konstitusi yang jelas. Lebih penting lagi, konstitusi baru yang akan dibuat juga harus merupakan hukum tertinggi yang dihormati oleh semua orang tanpa terkecuali. Dengan demikian, setiap warga negara juga memiliki kesadaran yang tinggi dan hak untuk melakukan kontrol terhadap pelaksana konstitusi tersebut.

Ada dua aspek penting yang dapat dijadikan pelajaran bagi Indonesia, yaitu proses pembentukan konstitusi yang sangat partisipatif dan isi konstitusi Thailand yang sangat lengkap dan mengandung semangat demokrasi partisipatoris.

Keinginan bersama

Soal penting yang sangat menarik untuk dicatat adalah keputusan yang diambil oleh parlemen Thailand atas dorongan rakyat, untuk memberikan wewenang mengubah konstitusi kepada lembaga independen di luar parlemen. Suatu hal yang sangat langka, yang hanya dimungkinkan oleh dorongan yang begitu kuatnya dari rakyat melalui LSM, akademisi, serta tokoh politik yang berpengaruh.

Hal ini dimungkinkan karena rakyat Thailand sudah amat jenuh dengan kondisi politik yang sangat labil dan korupsi yang merajalela. Peristiwa monumental yang mendorong kesadaran itu adalah terjadinya insiden "Black May" padan 1992. Namun setelah itu, perdebatan yang berkepanjangan terjadi di parlemen Thailand mengenai apa dan bagaimana reformasi yang akan dilakukan.

Baru pada 1994, karena dorongan yang kuat dari rakyat, dibentuk Komite Pengembangan Demokrasi (Democracy Development Committee). Komisi ini bertugas membuat rekomendasi prioritas langkah-langkah yang harus dilakukan untuk melakukan perubahan secara mendasar.

Rekomendasi utama yang dihasilkan komisi ini adalah perubahan konstitusi yang harus dilakukan oleh Majelis Pembentuk Konstitusi (Constitutional Drafting Assembly, CDA). Untuk itu, hal pertama yang harus dilakukan adalah amandemen terhadap konstitusi yang berlaku pada saat itu, yaitu terhadap pasal yang mengatur mengenai perubahan konstitusi.

Tags: