Tantangan Organisasi Profesi Advokat Indonesia
Kolom

Tantangan Organisasi Profesi Advokat Indonesia

RUU Advokat yang semula bernama RUU Bantuan Hukum yang dirumuskan Pemerintah bersama organisasi-organisasi profesi telah masuk ke Sekretariat Negara RI. Rencananya dalam waktu dekat RUU tersebut akan diajukan ke DPR dan paling lambat akhir tahun 2000 diharapkan RUU yang bersangkutan telah diundangkan.

Bacaan 2 Menit
Tantangan Organisasi Profesi Advokat Indonesia
Hukumonline

Bersamaan dengan itu, diskursus mengenai kedudukan dan peranan profesi advokat/pengacara kembali marak diangkat. Niatan para advokat Indonesia untuk memulai konsolidasi profesinya belakangan ini ditandai oleh salah satu rekomendasi munas IKADIN (November 1999) berupa himbauan moral kepada anggotanya untuk menjauhkan praktek suap dari pelaksanaan kegiatan profesi.

Bahkan, sekelompok advokat di Bandung mengambil langkah lebih konkret untuk membenahi permasalahan kultural advokat dengan melakukan kampanye gerakan anti suap. Tujuan yang hendak dicapai dari berbagai upaya tersebut adalah mengingatkan para advokat akan martabat dan tanggung jawab profesinya, serta mengembalikan profesi advokat kepada fungsi sosio kulturalnya sebagai officium nobile (profesi yang terhormat).

Terlepas dari adanya pandangan bahwa RUU Advokat justru akan menjadi belenggu bagi kalangan advokat sendiri, untuk pihak-pihak yang percaya bahwa permasalahan mendasar bisa diselesaikan dengan memperjelas status advokat dalam tatanan hukum dan peradilan Indonesia, maka advokasi terhadap materi RUU advokat merupakan jalan singkat yang menjanjikan.

Undang-undang Advokat

Hingga saat ini, sikap kebijakan hukum dan peradilan nasional masih diskriminatif bahkan mengesampingkan fungsi dan peranan advokat. Selain itu belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur profesi advokat. Berbeda dengan polisi, jaksa, dan hakim, tidak satu pun hukum positif di Indonesia yang secara tegas mengakui mereka sebagai elemen penegakan hukum.

Akibatnya, hambatan-hambatan status kerap kali mereka hadapi ketika melaksanakan tugas dan peranannya, yang justru paling banyak ditemukan di lingkungan Pengadilan. Mulai dari minimnya akses mereka terhadap informasi perkara yang ditangani, ketimpangan dalam hubungan fungsional dengan aparat penegak hukum (polisi dan jaksa), hingga sikap antagonis yang tak jarang ditunjukkan hakim dalam proses persidangan.

Apabila keperluan akan undang-undang tersendiri yang mengatur profesi advokat tidak lagi diperdebatkan, lantas apa substansi yang harus dicakup di dalamnya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu mengetahui salah satu ciri yang paling mengedepan bagi sebuah lingkup pekerjaan untuk dikatakan profesional, yaitu otonomi atau kemandirian.

Otonomi ini dapat diimplementasikan dalam tiga cara. Cara yang pertama adalah melaksanakan kontrol terhadap proses rekruitmen keanggotaan profesi. Cara kedua adalah merumuskan dan memberlakukan kode etik profesi di kalangan mereka sendiri. Sedang cara yang ketiga adalah menciptakan mekanisme pengawasan terhadap kegiatan profesi di lapangan.

Sebagai profesi hukum, kalangan advokat membutuhkan otonomi dikarenakan kompleksitas pekerjaan mereka yang tidak bisa dinilai oleh pihak-pihak di luar profesi, baik pemerintah, pengadilan, bahkan oleh klien.

Independensi advokat

Satu-satunya perangkat yang bisa digunakan untuk menilai pekerjaan advokat adalah kode etik profesi yang diciptakan dan diberlakukan di kalangan mereka sendiri. Dengan adanya kode etik profesi, penilaian apakah tindakan seorang advokat telah menyalahi standar profesi semestinya dapat dilaksanakan secara obyektif.

Otonomi juga dibutuhkan karena eratnya hubungan profesi mereka dengan kepentingan publik. Sebab, kewenangan fungsional advokat lahir atas kebutuhan publik akan keahlian yang mereka miliki. Akibatnya, pertanggungjawaban mereka harus lebih besar diarahkan kepada publik (bersifat altruistis).

Eksistensi organisasi profesi pada proses rekruitmen anggota diperlukan untuk memastikan tingkat kemahiran dan keterampilan anggota yang menjalankan praktek profesi, serta kepekaan mereka terhadap nilai-nilai tanggungjawab sosial profesi yang salah satu wujudnya adalah penyediaan bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat tidak mampu. Dengan demikan kepentingan publik yang menggunakan jasa mereka dapat lebih terjaga.

Dari berbagai gambaran di atas, substansi terpenting yang harus dicerminkan dalam rancangan undang-undang advokat adalah jaminan terhadap otonomi dan independensi advokat. Pemberdayaan organisasi profesi dalam mengatur berbagai urusannya secara mandiri, di samping pengakuan dan pelibatan peranan mereka secara kelembagaan dalam keseluruhan proses penegakan hukum mutlak dibutuhkan.

Sebagai hasilnya diharapkan problem kultural yang ditandai oleh maraknya berbagai bentuk pelanggaran profesi yang dilakukan oleh oknum-oknum advokat di Indonesia dapat dengan efektif terawasi. Juga problem struktural yang ditemui akan berakhir atau setidaknya berkurang oleh kesetaraan status antara advokat dengan aparat penegak hukum lainnya yang diberikan rancangan undang-undang tersebut.

Dalam kondisi riil yang ada di Indonesia, organisasi profesi hukum masih berkutat pada konflik-konflik internal dan belum mampu menunjukkan wibawanya, baik ke dalam pada anggotanya sendiri maupun keluar pada proses reformasi hukum dan peradilan. Sebuah tanda tanya besar mencuat, sanggupkah mereka mengemban kepercayaan sedemikian berat?

Ketergantungan terhadap anggota

Sebelum merambah ke upaya pembenahan lain, pekerjaan rumah yang harus didahulukan oleh berbagai organisasi profesi hukum di Indonesia adalah menciptakan rasa ketergantungan anggotanya terhadap organisasi. Tugas ini tidak cuma bisa direalisasikan dengan memberi kewenangan organisasi untuk menerbitkan izin praktek sebagaimana diinginkan selama ini.

Tanpa kewenangan tersebut pun, apabila organisasi telah mampu menyediakan program-program yang menunjang profesionalisme anggotanya, dan menyelenggarakan advokasi untuk membela kepentingan profesi serta anggotanya, niscaya keberadaan berbagai organisasi tersebut tidak lagi dipandang sebelah mata.

Sementara di bidang pengawasan, penyiapan perangkat organisasi dapat dijadikan prioritas berikutnya. Fungsi Dewan Kehormatan yang selama ini bersifat pasif bisa lebih diberdayakan dengan memberikan kewenangan investigatif. Laporan atau pengaduan yang muncul dari masyarakat tentang tindak pelanggaran profesi yang dilakukan anggota harus dijamin penanganannya dalam sebuah peradilan profesi yang cepat, adil dan transparan.

Selain itu, rumusan kode etik yang ada selama ini perlu dirombak agar tidak hanya bersifat normatif tetapi juga aplikatif. Dalam artian, memiliki nilai guna sebagai rujukan oleh anggota profesi saat menemukan permasalahan dalam menjalankan kegiatan profesinya.

Akan tetapi otonomi yang dimiliki advokat tidak terlepas dari keterbatasan, mengingat hubungan langsung antara advokat dengan sistem peradilan, yang membuat mereka acap kali dikatakan sebagai salah satu petugas pengadilan (officer of the court). Fakta tersebut membuat Pengadilan berwenang untuk mengevaluasi tingkah laku advokat di lingkungan peradilan, tentu saja dengan substansi pengawasan yang jelas, sehingga tidak mengambil alih wilayah kewenangan organisasi profesi.

Pengadilan perlu mempertimbangkan argumen bahwa pelanggaran kode etik tidak melahirkan konsekuensi hukum bagi advokat/pengacara. Pelanggaran kode etik bukanlah perkara hukum, akan tetapi lebih dialamatkan kepada tindakan disipliner yang pantas, dan hanya organisasi profesilah yang berkompeten menegakkannya.

Pengawasan oleh Pengadilan bisa dilakukan melalui pembentukan pranata hukum contempt of court yang berisikan aturan formal mengenai hubungan advokat dan pihak-pihak lainnya terhadap lembaga, pejabat, dan proses peradilan, agar dapat meminimalisir munculnya penyelewengan dalam hubungan fungsional tersebut.

Konsekuensi hukum

Evaluasi ini juga bisa dilaksanakan dengan memberikan konsekuensi hukum bagi pelanggaran terhadap ketentuan hukum acara, khususnya pada bagian yang mengatur pelaksanaan fungsi advokat dan aparat penegak hukum lainnya dalam prosedur penanganan perkara. Sedang bagi tindak pelanggaran kode etik profesi, hakim di Pengadilan dapat melaporkannya kepada organisasi advokat yang bersangkutan, untuk diproses sebagaimana laporan dari masyarakat pada umumnya.

Masyarakat juga harus dilibatkan dalam mengawasi tingkah laku advokat. Dengan mensosialisasikan kode etik profesi kepada masyarakat, organisasi profesi dapat melindungi kepentingan masyarakat dari advokat yang bertindak di bawah standar. Pemahaman mereka akan kriteria obyektif dari tugas seorang advokat yang baik, ditambah saluran pengaduan terhadap tindakan advokat yang merugikan kepentingan mereka sebagai klien, merupakan sarana efektif bagi organisasi profesi melaksanakan fungsi pengawasannya secara optimal.

Bagi tindakan tertentu, jalur hukum perdata juga bisa dimanfaatkan untuk meminta pertanggungjawaban dari advokat yang dianggap merugikan, yaitu lewat ketentuan Pasal 1365 dan 1366 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Ketentuan ini lazim dijadikan sandaran dalam menentukan hubungan hukum antara klien dengan pengacaranya, termasuk jika kemudian terjadi perselisihan dalam hubungan tersebut.

Penulis adalah peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHKI)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tags: