Begitu pandai orang memanfaatkan celah untuk "menekan" orang lain, sementara polisi kebingungan untuk mengusut kasus ini lebih lanjut. Booming SMS juga menjadi celah bagi para pelaku untuk mengembangkan modus baru dalam menggangu kenyamanan orang lain dalam berkomunikasi. Namun bila ditilik lebih dalam, sebenarnya masalah ini tidaklah terlalu rumit seperti yang dibayangkan.
Hampir tiga bulan lamanya, Desi (bukan nama sebenarnya) mengalami teror melalui SMS. Setelah menemui custumer service dari Telkomsel, yang bersangkutan diminta untuk membuat laporan ke kepolisian tentang kasus yang dialaminya.
Malang nasib Desi, bukti elektronik berupa kiriman SMS melalui operator Telkomsel tersebut tanpa rasa bersalah telah dihapus oleh pihak kepolisian. Menurut pihak kepolisian: "Hal begini saja kok dijadikan masalah!,". Padahal jika ditelusuri lebih lanjut, kasus ini bisa menjadi perhatian dan pendidikan untuk banyak pihak.
Teror SMS
Menurut informasi yang diperoleh hukumonline, SMS tersebut dikirim dengan menggunakan nomor Telkomsel. Sebagai layanan pasca bayar, tentunya identitas dari pelanggan tercantum pada form aplikasi. Jika kemudian hari diperlukan, data tersebut dapat diminta atau diketahui oleh masyarakat.
Masalahnya, kasus ini merupakan yang pertama kali melibatkan SMS sebagai media untuk melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan. Karena itu, masih terdapat keraguan dari si korban maupun penyelidik, dalam hal ini polisi.
Teror, penghinaan, atau apapun namanya, jika telah menimbulkan keresahan di dalam masyarakat sepatutnya diberikan sanksi bagi si pelaku. SMS hanyalah sebagai media. Selebihnya, tetap saja tindakan biasa yang dikenal dalam kehidupan sehari-hari.
Telkomsel selaku penyelenggara jasa di bidang telekomunikasi mestinya lebih peka dalam melihat masalah ini dan tidak perlu terlalu kaku dalam kebijakannya. Bukti yang ditunjukkan oleh korban melalui layar handphone kiranya dapat menunjukkan bahwa telah dilakukan pengiriman SMS dari nomor tersebut.