Ketentuan hukum di bidang pelayaran yang dianggap bukan sebagai pembinaan ini dimulai dari PP No.2 Tahun 1969 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut dan Inpres 4 Tahun 1984 serta berbagai peraturan lainya.
Firdaus menyebutkan, armada nasional Indonesia dulunya berada pada posisi wahid di ASEAN. Namun saat ini, melorot ke posisi empat. Ia menyesalkan sedikitnya pihak yang menaruh perhatian untuk masalah pelayaran.
"Semua orang berpikir ini hari, tidak pernah berpikir strategis. Saya juga kecewa dengan DPR saat bicara tentang PP No. 82 Tahun 1999 tentang Angkutan di Perairan," tegas Firdaus
Padahal, Firdaus melanjutkan, Peraturan Pemerintah adalah urusan Pemerintah. "Tapi kok kenapa kami harus ke DPR. Apalagi kemudian INSA diadu dengan ISAA," ujarnya dalam sebuah peluncuran buku hukum maritim baru-baru ini.
Pembinaan pelayaran
Firdaus juga menyatakan kebingungan dirinya mengenai pihak yang bertanggung jawab masalah pelayaran nasional karena adanya Menteri Kelautan dan Dewan Maritim di dalamnya. Sementara itu, ada juga Ditjen Perhubungan Laut di bawah Menteri Perhubungan.
INSA menganggap, pembinaan pelayaran penting. Karena saat ini, pengangkutan dalam negeri yang dibawa oleh armada nasional jumlahnya baru 46%, sedangkan sisanya dibawa oleh armada asing. Sementara untuk pengangkutan luar negeri dari Indonesia, baru 3% yang dilayani oleh armada nasional.
Sementara itu, praktisi hukum Chandra Motik Djemat mengungkapkan bahwa ketentuan hukum yang ada ternyata ambivalen. Di antaranya persoalan cabbotage yang penerapannya dinilai tidaklah konsisten karena kerancuan atas penggunaan kapal-kapal asing dengan kapal-kapal asal Indonesia.