RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Menunggu Masukan
Fokus

RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Menunggu Masukan

Ada kabar gembira bagi masyarakat Indonesia. Terutama bagi pihak-pihak yang selama ini merasa kesulitan dalam mendapatkan informasi-informasi dari pemerintah, misalnya mendapatkan salinan peraturan, keputusan pengadilan, dan informasi-informasi lain.

Oleh:
Nay/APr
Bacaan 2 Menit
RUU  Kebebasan Memperoleh Informasi Menunggu Masukan
Hukumonline

ICEL (Indonesian Center for Environmental Law) telah meluncurkan draft pertama Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Kebebasan Memperoleh Informasi (Freedom of Information Act). RUU ini sudah didaftarkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Rencananya setelah dilakukan perbaikan-perbaikan dari hasil diskusi dan road show, Undang-undang ini akan segera diserahkan pada pimpinan DPR.

Menurut Mas Ahmad Santosa, peneliti senior ICEL, alasan yang mendorong perlunya dibuat Undang-undang ini adalah karena kebebasan memperoleh informasi merupakan hak azasi dan ciri negara demokrasi.

Salah satu elemen penting dalam mewujudkan pemerintahan yang terbuka (open government) adalah hak setiap anggota masyarakat untuk memperoleh informasi. Pemerintahan yang terbuka mendorong terwujudnya pemerintahan yang bersih dari praktek KKN.

Keterbukaan dapat mencegah penyalahgunaan kewenangan dan tindakan-tindakan menyimpang yang merugikan orang banyak. Dengan keterbukaan, akan memudahkan masyarakat untuk melakukan pangawasan terhadap proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat publik.

Hak setiap anggota masyarakat untuk memperoleh informasi juga sangat relevan untuk meningkatkan kuallitas pelibatan masyarakat (public involvement) dalam proses pengambilan keputusan publik.

Pelibatan masyarakat tidak banyak berarti apabila tanpa jaminan atau kemudahan memperoleh informasi. Jaminan hukum terhadap hak untuk memperoleh akses informasi telah diberikan di berbagai negara dalam kemasan hukum Freedom of Information Act (FoIA) atau Official Information Act (OIA).

Kemudahan informasi

Dalam draft RUU Kebebasan Memperoleh Informasi disebutkan bahwa setiap informasi bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap orang (Pasal 2 ayat 1), kecuali yang membahayakan negara, kepentingan usaha, dan hak-hak pribadi.

Hal ini dipertegas dalam Pasal 3, setiap informasi harus dapat diakses oleh setiap orang dengan cepat dan tepat waktu, murah, dan sederhana. Lalu dalam Pasal 5 (1) dinyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan informasi sesuai dengan Undang-undang ini.

Dengan Undang-undang ini, tidak ada alasan bagi lembaga pemerintah atau swasta untuk menutup pintu informasi. Ketentuan ini disebut dalam Pasal 10 (1) menyatakan bahwa setiap lembaga negara baik di pusat maupun daerah wajib memberikan informasi secara berkala sejkalipun tanpa adanya permintaan. Lalu dalam Pasal 14 (1), lembaga-lembaga swasta yang melaksanakan proyek-proyek pemerintah berkewajiban memberikan informasi berdasarkan permintaan setiap orang.

Nah yang paling penting, sistem penyediaan informasi yang dapat mewujudkan ketersediaan dan pelayanan secara cepat dan tepat waktu, murah, serta sederhana.

Selama ini, banyak keluhan dari masyarakat atau praktisi untuk mendapatkan informasi. Informasi sedikit sering menjadi sulit dan mahal karena birokrasi yang berbelit atau sengaja dipersulit oleh oknum-oknum yang ingin mengambil keuntungan. Oleh karena itu, kemudahan mendapatkan akses informasi, khususnya menyangkut peraturan dan perundang-undangan, jelas amat ditunggu-tunggu oleh banyak kalangan.

Belum diatur 

Hak untuk memperoleh informasi  dan kebebasan mendapatkan informasi belum diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan khusus di Indonesia. Andaikata pun ada, hanya diatur dalam peraturan perundang-undangan tertentu seperti pengelolaan lingkungan hidup. Bahkan beberapa peraturan perundang-undangan, salahsatunya Undang-undang No. 7 tahun 1971 tentang Kearsipan, bertentangan dengan semangat menumbuhkan kebebasan untuk mendapatkan informasi.

Berdasarkan Undang-undang Kearsipan ini misalnya, penyimpan arsip dapat dipidana penjara 20 tahun apabila memberitahukan isi naskah dan dokumen yang digolongkan rahasia kepada pihak ketiga. Sementara kerahasiaan  tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan dan ditetapkan oleh pejabat secara diskresif (penggunaan kewenangan).

Mas Ahmad Santosa juga mengkhawatirkan RUU tentang Rahasia Dagang yang sekarang tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Ia mengkhawatirkan, RUU ini dapat menjadi perisai untuk menutup diri terhadap akses publik terhadap informasi

Keadaan ini diperparah juga oleh budaya birokrasi kita yang serba tertutup. Informasi yang dimiliki oleh pemerintah tidak bisa diakses oleh publik. Bahkan kecenderungannya, informasi yang dimiliki oleh pemerintah diperlakukan sebagai hal yang rahasia.

Informasi yang dikecualikan

ICEL dalam pengamatannya terhadap pelaksanaan Freedom of Information Act (FoIA) di berbagai negara melihat bahwa isu yang kontroversial dalam pelaksanaan Undang-undang ini adalah yang berkaitan dengan  "informasi yang dikecualikan" .

Pelaksanaan di berbagai negara membuktikan bahwa pemberlakuan pengecualian (exemption) yang didasarkan pada pertimbangan rahasia negara (state secret), rahasia dagang (trade secret), dan rahasia pribadi (personal privacy)- yang tidak hati-hati dapat menghilangkan tujuan dari FoIA itu sendiri.

Untuk mengatasi hal ini, RUU versi ICEL memperkenalkan dua hal. Pertama, pemberlakuan/pengembangan akses sejumlah informasi secara proaktif (tanpa perlu permintaan dari masyarakat). Alasannya menurut Mas Ahmad Santosa, segala peraturan perundang-undangan dan keputusan pemerintah akan masuk dalam kategori ini.

Kedua, adalah pemberlakuan pengecualian yang tidak didasarkan pada pendekatan kategorikal. Akan tetapi, didasarkan pada pendekatan konsekuensial (analisis akibat) melalui uji konsekuensial secara ketat, yaitu pihak yang menolak memberikan informasi harus dapat membuktikan bahwa pemberian informasi tersebut dapat membahayakan.

Ancaman hukuman

Undang-undang ini juga akan mewajibkan setiap lembaga negara di tingkat pusat maupun daerah untuk melakukan  pembenahan dan penyempurnaan sistem penyediaan dan pelayanan informasi untuk memudahkan publik mendapatkan akses informasi.

Apabila dengan sengaja terdapat pihak yang menghambat akses masyarakat untuk memperoleh informasi, Undang-undang ini memberi ancaman hukuman maksimal bagi pelakunya 5 tahun penjara.

Ancaman hukuman ini dianggap perlu karena  menghambat akses masyarakat terhadap informasi merupakan kejahatan publik. Selain itu, juga dimaksudkan sebagai upaya mempercepat perubahan sikap di kalangan birokrasi Indonesia yang selama ini bersikap tertutup dan resisten terhadap permintaan informasi yang menyangkut kepentingan publik.

Untuk mengawasi pelaksanaannya, Undang-undang ini juga memberikan dasar bagi pembentukan Komisi Informasi. Pengangkatan dan pemberhentian anggota komisi ini dilakukan oleh DPR di tingkat pusat dan DPRD di tingkat daerah.

Fungsi komisi ini adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang ini serta penyelesaian sengketa berkaitan dengan pelaksanaannya. Dalam menyelesaikan sengketa, Komisi Informasi berfungsi sebagai external reviewer yang menerima pengaduan di tahap kedua. Pengaduan di tahap pertama harus diajukan pada  atasan pejabat yang bertanggungjawab untuk memberikan informasi tersebut.

 Undang-undang tentang kebebasan informasi ini memang hanya satu elemen dari upaya besar yang harus dilakukan oleh semua pihak untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang transparan, accountable, dan terbuka bagi partisipasi publik. Untuk itu, harus ada pengakuan hak-hak masyarakat lainnya. Namun bagaimanapun juga, langkah awal yang telah dilakukan oleh ICEL ini patut mendapat sokongan.

    

Tags: