Master Settlement and Acquisition and Agreement I
Kolom

Master Settlement and Acquisition and Agreement I

Dalam beberapa minggu yang lalu soal MSAA marak kembali dibicarakan orang, baik di kalangan DPR, politisi, pengamat ekonomi maupun masyarakat pada umumnya. Inti pembicaraannya, berkisar pada pendapat adanya kejanggalan dalam MSAA. Misalnya, berkaitan dengan release and discharge, sehingga pemerintah pada akhirnya mengkaji MSAA. Bahkan, ada keinginan untuk merevisi dan membatalkan MSAA. Apakah tepat MSAA dibatalkan?

Bacaan 2 Menit
Master Settlement and Acquisition and Agreement I
Hukumonline

Sekelumit tulisan ringkas berikut ini kiranya dapat membantu pemahaman mengenai MSAA, sehingga dapat membantu menemukan jawaban yang tepat.

 

I. Latar belakang

Kenapa ada MSAA? MSAA itu timbul sebagai upaya pemerintah untuk membantu mempercepat proses pemulihan krisis ekonomi yang sedang dihadapi melalui pengembalian utang negara berupa BLBI dan atau kredit yang melanggar BMPK dari pihak terkait bank melalui langkah hukum di luar pengadilan (out of court settlement) berupa perjanjian pembayaran secara tunai dan dengan penyerahan aset yang disebut Master Settlement and Acquisition Agreement.

 

Dalam rangka menghadapi krisis, terutama di sektor keuangan dan perbankan yang terjadi sejak medio 1997, pemerintah telah berupaya keras untuk menangani dua permasalahan berat dan mendesak berkaitan dengan perbankan nasional. Yaitu, masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan pemberian kredit yang melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), termasuk Non-Performing Loan (NPL) yang jumlahnya sangat besar.

 

Komitmen pemerintah untuk menyelesaikan kedua masalah tersebut tertuang dalam Letter of Intent (LOI) IMF tanggal 15 Januari 1998 dengan target penyelesaian waktu itu berupa pembayaran BLBI bagi 2 bank penerima BLBI pada 29 Oktober 1998 dan pembayaran BLBI serta penyelesaian BMPK bagi bank lain tanggal 30 November 1998.

 

Pihak yang paling bertanggung jawab untuk menyelesaikan kedua masalah tersebut adalah para pemegang saham pengendali bank yang bermasalah (PPS bank). PPS bank dengan status Bank Take Over (BTO) menyelesaikan kredit yang melanggar BMPK sedangkan PPS bank dengan status Bank Beku Operasi (BBO)/Bank Beku Operasi (BBKU) menyelesaikan sekaligus BLBI dan kredit yang melanggar BMPK.

 

Sebagaimana kita maklum, BLBI tersebut pada awalnya adalah tagihan Bank Indonesia kepada bank-bank yang terjadi dalam kapasitas BI yang merupakan bagian dari pemerintah sebagai:

 

(i)           Lender of the last resort sesuai Pasal 32 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral menyediakan dana kepada bank-bank untuk menutup kesulitan likuiditas yang dihadapi.

(ii)          Pelaksana program penjaminan Pemerintah terhadap pembayaran kewajiban bank-bank umum berdasarkan Keppres No 26 Tahun 1998 dan pembayaran kewajiban kepada luar negeri berupa interbank debt arreas dan trade finance berdasarkan Keppres No 120 Tahun 1998. Tagihan BLBI kepada bank-bank tersebut selanjutnya dialihkan oleh BI kepada pemerintah bersamaan dengan penerbitan obligasi pemerintah sehingga tagihan (BLBI) BI kepada bank-bank beralih menjadi tagihan (BLBI) pemerintah kepada bank-bank.

 

Dalam persiapan dan pelaksanaannya untuk menindaklanjuti komitmen pemerintah tersebut di atas dan melakukan penagihan (recovery) kepada PPS bank yang mempunyai kewajiban (BLBI) kepada pemerintah, berdasarkan arahan sidang kabinet dalam rangka pemulihan ekonomi, BPPN menyusun Terms of Reference dibantu oleh beberapa konsultan dalam negeri maupun luar negeri, yaitu:

 

a.            International Legal Advisor: Orix, Allen & Gledhill, Brown & Wood, Coudert Brothers, Morgan, Lewis & Bokius, White&Case.

b.            Local Legal Advisor: Lubis Ganie Surowidjojo, Makarim & Taira, Soemadipradja & Taher, Wiriadinata & Widyawan.

c.            International Accountants: Arthur Andersen, Deloitte Touche Tohmatsu, Ernst & Young, KPMG Peat Marwick, Pricewaterhouse Coopers.

 

Di samping konsultan-konsultan itu, BPPN juga menunjuk suatu tim profesional yang terdiri dari J.P. Morgan, Lehman Brothers, Danareksa, dan Bahana Securities yang bertugas untuk melakukan berbagai negosiasi. Termasuk, melakukan appraisal atas aset PPS bank yang akan diserahkan kepada BPPN sebagai pembayaran kewajibannya kepada pemerintah. Hasil akhir dari negosiasi tersebut selain sebagai pemenuhan komitmen pemerintah kepada IMF dalam LOI juga berupa pembayaran kembali kewajiban bank-bank kepada pemerintah yang pada gilirannya akan membantu proses pemulihan perekonomian secara nasional.

 

II. Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA)

Negosiasi antara Pemerintah RI yang diwakili oleh BPPN, dibantu oleh konsultan dan tim profesional, dengan PPS bank menghasilkan 2 (dua) perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), yaitu:

 

1.            Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA)

MSAA ini diberlakukan terhadap PPS bank yang masih memiliki aset yang cukup untuk menyelesaikan kewajibannya kepada pemerintah. Penyelesaian kewajiban PPS bank ini dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: (i) PPS bank yang berstatus BBO/BBKU (seperti BDNI), melakukan penyelesaian BLBI dan kredit yang melanggar BMPK dan (ii) PPS bank yang berstatus BTO (seperti BCA) menyelesaikan kredit yang melanggar BMPK saja karena penyelesaian BLBI pada bank BTO dilakukan melalui proses rekapitalisasi yaitu dengan cara konversi tagihan BLBI menjadi penyertaan Pemerintah pada bank.

 

2.            Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNA) atau disebut juga Master Recognition Arrangement (MRA).

MRNA ini diberlakukan terhadap PPS bank yang asetnya tidak mencukupi (setelah dinilai) untuk memenuhi kewajibannya kepada pemerintah. PPS bank ini mengakui bahwa penyelesaian kewajiban PPS bank belum selesai tuntas karena walaupun telah melakukan pembayaran sebagian kewajibannya secara tunai, sisanya belum bisa dibayar penuh dengan cara penyerahan aset. Aset ini kemudian dimasukkan dalam daftar Personal Guarantee (PG) dari PPS bank untuk menjamin pelunasan kewajibannya dengan batas waktu yang ditetapkan.

 

Proses penyelesaian dan asumsi yang digunakan

1. Penyelesaian melalui MSAA

Kewajiban yang harus dibayar oleh PPS bank dengan status BBO/BBKU, misalnya BDNI, adalah sebesar kewajiban BLBI yang terhutang dikurangi nilai aset bank. Nilai aset bank ini adalahclean assets, yaitu setelah diperhitungkan dengan kewajiban kredit kepada pihak terkait yang melanggar BMPK dan NPL. Sementara kewajiban yang harus dibayar oleh PPS bank dengan status BTO dan direkapitalisasi, misalnya BCA, adalah sebesar total kewajiban kredit yang melanggar BMPK kepada pihak terkait. Dengan demikian dalam MSAA, bank BBTO tidak mempunyai kewajiban BLBI.

 

Sesuai MSAA, pembayaran kewajiban bank tersebut dilakukan oleh PPS bank secara tunai dan in kind, yaitu dengan menyerahkan aset. BPPN menetapkan besarnya pembayaran secara tunai, tanggal akhir pembayaran dan rekening BPPN yang digunakan untuk menampung pembayaran tersebut. Pembayaran dengan aset ini dilakukan melalui suatu transfer agreement, yaitu bank menyerahkan saham-saham dari perusahaan yang dimiliki, yang nilainya telah disepakati sebelumnya kepada suatu perusahaan yang dibentuk untuk itu (Holding Company yang juga disebut sebagai Acquisition Vehicle-AV).

 

Pada awalnya komposisi pemegang saham dari AV ini ditetapkan 75% dimiliki oleh BPPN dan 25% oleh PPS Bank. Tetapi kemudian, pada November 1998 dilakukan amandemen dengan mengubah kepemilikan wham di AV menjadi 100% dimiliki oleh PPS Bank. Pertimbangan perubahan komposisi kepemilikan saham ini adalah kekhawatiran BPPN apabila BPPN sebagai pemegang saham mayoritas, AV/Holding Company akan mengalami "nasib" yang sama dengan kebanyakan BUMN yang terus merugi. Dengan demikian, saat ini BPPN tidak menjadi pemegang saham pada AV/Holding Company. Namun, sebagai tindakan pengamanan BPPN telah meminta seluruh saham AV berikut hak suaranya digadaikan kepada BPPN.

 

Langkah-langkah penyelesaian:

a.            PPS bank mengambilalih kewajiban atas pinjaman kepada pihak terkait (BMPK), sehingga pinjaman dari bank kepada pihak terkait beralih menjadi pinjaman kepada PPS bank.

b.            Bank melakukan pengalihan kredit yang melanggar BMPK (affiliated loan/pinjaman kepada pihak terkait) tersebut kepada BPPN. Dan atas pengalihan ini, BPPN/Menteri Keuangan membayar dengan menerbitkan obligasi Pemerintah. Setelah pengalihan ini, BPPN berstatus sebagai kreditor dari PPS bank.

c.            PPS bank (sekarang debitor dari BPPN) menyerahkan asetnya (berupa saham-saham) kepada AV/Holding Company dengan suatu transfer agreement. Atas penyerahan aset ini, PPS bank menerima pembayaran berupa Promissory Notes yang dapat dikonversi menjadi Convertible Bond, yang sewaktu-waktu bisa dikonversi menjadi saham pada AV/Holding Company.

d.            PPS bank menyerahkan Promissory Notes yang diterima dari AV/Holding Company kepada BPPN sebagai pembayaran atas kewajiban yang terhutang.

e.            Pada saat dilakukan penyerahan aset oleh PPS bank seperti diuraikan pada huruf c di atas, konsultan BPPN melakukan penelitian atas aset yang diserahkan mengenai kesesuaiannya dengan Disclosure, Reprensentation & Warrantiesyang dinyatakan oleh PPS bank atas assets tersebut.Disclosure merupakan pernyataan mengenai kondisi aset yang diserahkan, yang dibuat oleh PPS bank sebelum penyerahan aset dan dilekatkan pada MSAA. Representation and Warrantiesmerupakan pernyataan yang dibuat oleh PPS bank yang menjamin bahwa tidak ada gugatan dari pihak ketiga atas aset yang diserahkan dan apabila ada gugatan, maka pihak yang menyerahkan (PPS bank) akan mengganti aset dengan assets lain atau menanggung gugatan tersebut.

Sebagai jaminan atas kebenaran dari Disclosure, Representation & Warranties, PPS bank menyerahkan aset selain dari aset yang digunakan untuk membayar kewajiban, kepada pihak ketiga yang independen. Misalnya, BDNI menyerahkan aset kepada Chase Manhattan Bank Singapore. Aset yang diserahkan untuk menjamin kebenaran Disclosure, Representation & Warranties disebut sebagai Holdback Assetsatau Escrow. Pencairan aset ini hanya dapat dilakukan atas permintaan BPPN.

f.             Setelah aset diserahkan kepada AV dan BPPN melalui AV/Holding Company menerima penyerahan tersebut (closing), berarti para pihak telah melaksanakan kewajiban dan menerima haknya. Sehingga, PPS bank dianggap telah menyelesaikan kewajibannya secara tuntas (settlement).

g.            MSAA juga mengatur mengenai Release and discharge (R & D). R & D dapat diterbitkan selama proses penyelesaian atau setelah proses penyelesaian berakhir (closing). Namun demikian, R & D yang dapat disamakan dengan kuitansi adalah yang jumlahnya sesuai dengan jumlah yang diterima sebagai pembayaran. Artinya, kalau jumlah yang dibayar baru 30% maka R & D juga hanya menyebutkan angka 30%.

 

Asumsi yang digunakan

Aset yang diserahkan sebagai pembayaran kewajiban PPS bank, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dinilai oleh konsultan yang independen dengan menggunakan asumsi "normal economic condition". Artinya, penilaian dilakukan dengan dasar kondisi ekonomi yang normal/wajar, bukan nilai pada waktu krisis.

 

Asumsi pertama ini digunakan karena setelah aset diserahkan, perubahan nilai aset, naik maupun turun, tidak lagi bergantung pada para pihak yang menyerahkan dan menerimanya, melainkan bergantung pada kondisi ekonomi dan politik yang terjadi. Dengan demikian apabila pemerintah berharap agar nilai aset tidak turun atau bahkan naik, pemerintah harus berusaha untuk menciptakan kondisi kestabilan ekonomi dan politik tersebut.

 

Selanjutnya, asumsi kedua adalah penilaian aset dilakukan dalam mata uang US Dollar dengan penetapan kurs untuk AS$1 sama dengan Rp11.075. Kewajiban PPS bank dalam AS Dollar juga ditetapkan menggunakan kurs yang sama. Dengan demikian apabila sekarang dilakukan pengungkapan jumlah kewajiban (hutang) dan jumlah pembayaran (aset) dalam rupiah, tentunya harus dengan memperhatikan perbedaan kurs asumsi dan kurs sekarang.

 

2. Master Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNA)

Pada dasarnya dalam MRNA (misalnya untuk Bank Danamon) belum terdapat suatu penyelesaian kewajiban PPS bank secara tuntas. PPS bank telah melakukan pembayaran kewajibannya sebagian secara tunai. Namun, sisanya yang akan dibayar dengan cara penyerahan aset belum dilakukan. Karena pada waktu dilakukan penilaian oleh konsultan independen, ternyata aset yang akan diserahkan tersebut nilainya tidak mencukupi, sehingga tidak diserahkan sebagai pembayaran. Aset ini kemudian dimasukkan dalam daftar Personnal Guarantee (PG) dari PPS bank untuk menjamin pelunasan kewajibannya dengan batas waktu yang ditetapkan.

 

Jadi perbedaan antara MSAA dan MRNA/MRA antara lain dalam MSAA terjadi pembayaran kewajiban menggunakan aset. Aset tersebut dapat dijual oleh dan atas perintah BPPN melalui Holding Company/AV tanpa memerlukan persetujuan dari PPS bank yang menyerahkan aset tersebut. Sebaliknya dalam MRNA/MRA, penjualan aset yang termasuk dalam daftar PG oleh BPPN harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari PPS bank atau dilakukan sendiri oleh PPS bank.

 

Permasalahan

1. Masalah Release and Discharge (R & D)

Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa dalam MSAA, BPPN mengeluarkan Release and discharge (R & D) apabila PPS bank telah memenuhi kewajibannya kepada Pemerintah. R & D pada intinya berisi 2 (dua) hal, yaitu:

a.            BPPN atas nama pemerintah menyatakan telah menerima pembayaran/ pelunasan atas kewajiban PPS bank, baik berupa kredit yang melanggar BMPK saja (dalam hal bank berstatus BTO) maupun berupa kredit yang melanggar BMPK dan BLBI sekaligus (dalam hal bank berstatus BBO/BBKU).

b.            Karena adanya pembayaran/pelunasan tersebut, maka sesuai dengan janji dalam MSAA, BPPN, Menteri Keuangan dan pemerintah tidak akan menuntut secara pidana PPS bank dan pengurus serta karyawan bank atas pelanggaran BMPK dan BLBI.

 

Makna pernyataan pada huruf a sama dengan kuitansi pelunasan. Karena BPPN selaku kreditor mewakili pemerintah menyatakan bahwa kewajiban PPS bank, baik berupa kredit yang melanggar BMPK saja atau kredit yang melanggar BMPK dan BLBI telah lunas.

 

Pernyataan dalam MSAA bahwa kewajiban BLBI dari PPS bank telah lunas ini menarik karena pada kesempatan lain pemerintah menyatakan bahwa sebagian besar BLBI yang dialihkan oleh BI dianggap tidak layak untuk dialihkan kepada pemerintah. Bagaimana mungkin di satu sisi pemerintah telah menerima lunas pembayaran atas tagihan BI kepada bank-bank berupa tagihan BLBI yang dialihkan. Namun di sisi lain, pemerintah masih menganggap bahwa sebagian besar BLBI tidak layak untuk dialihkan kepada pemerintah.

 

Masalah lain yang masih diperdebatkan berkenaan dengan R & D adalah apakah boleh diperjanjikan dalam MSAA bahwa pemerintah tidak akan menuntut secara pidana terhadap PPS bank yang telah menyelesaikan kewajibannya kepada Pemerintah. Ada pihak yang berpendapat bahwa janji itu tidak sah karena soal pidana tidak dapat diperjanjikan.

 

Namun, pihak lain berpendapat bahwa janji itu sah karena salah satu pihak yang terikat dalam perjanjian (MSAA) adalah pemerintah termasuk Jaksa Agung yang merupakan anggota Kabinet. Jaksa Agung menurut Undang-undang Nomor 51 Tahun 1991 Pasal 32 huruf c mempunyai wewenang artinya hak untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Hak untuk mengesampingkan perkara inilah yang menurut pihak lain itu diperjanjikan dalam MSAA untuk tidak digunakan atau dengan kata lain hak untuk menuntut tersebut dilepaskan.

 

Oey Hoey Tiong adalah Penasehat Hukum Eksekutif, Direktorat Hukum BI

 

*Makalah ini bagian I dari dua tulisan, disampaikan pada lokakarya Tinjauan Hukum Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan UU Bank Indonesia di Bogor pada 27-28 Februari 2002

Tags: