Master Settlement and Acquisition and Agreement II
Kolom

Master Settlement and Acquisition and Agreement II

Atas desakan berbagai kalangan, termasuk DPR, pemerintah belakangan ini telah meminta konsultan hukum (KH) Kartini Mulyadi dan F. Tumbuan, untuk memberikan kajian (legal opinion) terhadap MSAA. Komentar secara singkat mengenai beberapa inti tanggapan yang dikemukakan oleh kedua konsultan hukum tersebut seperti di bawah ini.

Bacaan 2 Menit
Master Settlement and Acquisition and Agreement II
Hukumonline

2. Pengkajian MSAA untuk revisi atau pembatalan apakah tepat?

A. Pengkajian

1.     KH berpendapat bahwa BPPN melalui Acquisition Vehicle (AV) tidak mungkin dapat mengendalikan/mempengaruhi jalannya Acquisition Companies untuk mempertahankan dan meningkatkan nilai perusahaan-perusahaan dimaksud. Sehingga apabila terjadi penurunan nilai aset, maka tidak masuk akal dan tidak patut/tidak adil apabila risiko penurunan nilai dimaksud harus ditanggung oleh BPPN. Sedangkan Para Pemegang Saham (PPS) bank, menurut MSAA tidak mempunyai tanggungjawab apapun atas akibat penurunan tersebut. Hal ini jelas tidak sesuai dengan Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

     Komentar:

         Secara hipotetis dan konvensional pendapat tersebut benar dalam arti bagi suatu perusahaan kecil yang dimiliki oleh satu keluarga tentu peranan keluarga tersebut dalam menentukan arah perusahaan juga besar.

           Pendapat tersebut menjadi tidak benar kalau dilihat dalam kenyataan adanya perusahaan yang go public, sehingga tidak ada mayoritas mutlak. Pada perusahaan-perusahaan go public pertambahan nilainya ditentukan oleh manajemen yang diangkat oleh RUPS.

           Pendapat itu juga tidak benar bagi Acquisition Companies yang sahamnya dimiliki secara minoritas oleh AV dimana justru pada perusahaan seperti inilah harus dilihat siapa partner mayoritasnya (kalau ada).

           Pada dasarnya peningkatan nilai perusahaan lebih bergantung kepada profesionalitas pengurus/manajemen perusahaan yang bersangkutan, kondisi ekonomi dan politik bukan pada masalah besarnya kepemilikan secara mayoritas atau minoritas di perusahaan tersebut. Contoh, meskipun PT. Astra Internasional Tbk dan PT. Statomer merupakan Non-Controlled Acquisition Companies dalam kenyataannya justru terjadi peningkatan nilai Acquisition Shares ketika dijual.

2.         KH berpendapat bahwa PPS bank secara tidak langsung adalah pemegang saham AV, sehingga penyerahan Acquisition Shares kepada AV sama dengan penyerahan kepada dirinya sendiri. Karena itu penyerahan acquisition shares sebagai wujud pembayaran Affiliated Loans dianggap sebagai pembayaran utang oleh Shareholders selaku debitor kepada dirinya sendiri. Karena itu, Release and discharge yang diberikan BPPN selaku kreditor dari Affiliated Loans tidak mempunyai dasar hukum karena belum terjadi pembayaran lunas kewajiban Shareholders kepada BPPN. Oleh karena itu, bilamana terjadi penurunan nilai maka hal ini sepenuhnya tanggung jawab dan resiko Shareholders.

Komentar:

        Pendapat ini harus diakui secara hipotetis teoritis juga tidak benar karena secara langsung tidak mengakui adanya bentuk subyek hukum yang disebut badan hukum (Acquisition Companies) yang terpisah hak dan kewajibannya dari subyek hukum lainnya (Shareholders atau perusahaan milik Shareholders). Kalau pendapat ini diikuti, berarti tidak ada pemisahan antara hak dan kewajiban perusahaan dengan hak dan kewajiban Shareholders, sedangkan justru pemisahan hak dan kewajiban inilah yang menjadi inti dari adanya bentuk badan hukum itu sendiri.

            Penunjukan AV selaku perusahaan yang mengelola dan memiliki Acquisition Companies juga atas dasar penunjukan oleh BPPN, sehingga adalah menjadi hak sepenuhnya BPPN selaku pihak yang menerima pembayaran untuk menentukan apakah pembayaran itu akan dimiliki dan dikelola sendiri atau oleh pihak lain yang ditunjuk.

           Perlu diingat lagi dengan adanya gadai saham AV kepada BPPN berikut hak suaranya maka praktis AV berada di bawah kendali BPPN sebagaimana diatur dalam Deed of Pledge of Shares yang menyebutkan bahwa " ... the Shareholders each hereby constitutes and appoints the Attorney and grants power of attorney to the Attorney, with full right of substitution, the true and lawful attorney for the purpose of exercising all rights attached to and associated with the Shares .." The attorney dalam hal ini adalah BPPN.

3.         KH berpendapat khusus mengenai release and discharge sejauh itu menyangkut tuntutan pidana berkaitan dengan pelanggaran BMPK, maka release and discharge sebagaimana dimuat dalam MSAA tidak dapat mencakup pembebasan dari tuntutan pidana atas pelanggaran BMPK.

Komentar:

           Pendapat ini melangkah terlalu jauh karena belum menjelaskan apakah ada atau tidak suatu tindak pidana atas pelanggaran BMPK. Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pasal pun dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 (Undang-undang Perbankan) dan undang-undang lainnya yang menyatakan bahwa pelanggaran BMPK otomatis merupakan suatu pelanggaran pidana.   Hanya Pasal 49 dan 50 Undang-undang Perbankan mengatur bahwa pemegang saham, pengurus dan pegawai bank yang tidak mentaati langkah-langkah yang ditetapkan untuk memastikan ketaatan kepada undang-undang dan peraturan tentang perbankan. Langkah-langkah yang ditetapkan dalam hal terjadi pelanggaran BMPK diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia (SKBI) No.31/177/KEP/Dir beserta perubahannya yang menyatakan bahwa apabila terjadi pelanggaran BMPK maka bank diminta membuat suatu Action Plan untuk memperbaiki pelanggaran yang terjadi. Apabila Action Plan tersebut dilaksanakan, maka langkah-langkah menurut Undang-undang Perbankan sudah dipatuhi sehingga tidak ada pelanggaran BMPK. Namun apabila Action Plan yang dimaksud sebagai langkah-langkah tersebut sengaja tidak dipatuhi maka Bank Indonesia akan melaporkannya sebagai suatu tindak pidana di bidang perbankan.

           Mengenai kewenangan pemerintah cq Jaksa Agung untuk mendeponir (tidak melanjutkan penuntutan) suatu perkara pidana diatur dalam pasal 32 huruf c Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan yang menyatakan bahwa Jaksa Agung berwenang untuk menyampingkan suatu perkara demi kepentingan umum. Jadi memang benar pendapat yang menyatakan bahwa pasal 1853 KUHPerdata menyatakan bahwa perdamaian secara perdata tidak menghapuskan hak dari Kejaksaan untuk melakukan tuntutan pidana namun pendapat ini tidak cermat karena justru hak untuk melakukan pertuntutan itulah yang di-waive (dilepaskan) dengan MSAA.

 

4.        KH berpendapat bahwa kesepakatan/persetujuan yang dibuat antara Shareholders dan BPPN dalam MSAA yang menyebutkan bahwa kekurangan pembayaran Affiliated Loans sebagai akibat hasil penjualan Acquisition Shares yang ternyata tidak cukup nantinya menjadi beban/kerugian negara cq. rakyat Indonesia (yang dalam hal ini adalah pihak ketiga) karena harus ditanggung oleh BPPN, tidak mempunyai kekuatan hukum.

     Komentar:

          Dalam melaksanakan suatu perbuatan hukum, negara cq Rakyat Indonesia diwakili oleh pemerintah. Tindakan pemerintah merupakan tindakan negara cq rakyat Indonesia sehingga Negara cq Rakyat Indonesia bukanlah pihak ketiga dalam suatu perbuatan hukum (MSAA) yang dilakukan oleh pemerintah. Contoh apabila suatu BUMN mengalami kerugian sebagai suatu resiko usaha tentu saja kerugian BUMN tersebut dipikul dan ditanggung oleh negara cq rakyat Indonesia melalui APBN.

          Tindakan BPPN mengenai MSAA bahkan sudah dilaporkan kepada DPR, sehingga sebenarnya wakil rakyat sudah mengetahui adanya MSAA jauh sebelum masalah ini timbul dan DPR pada waktu itu tidak memberikan suatu penyangkalan atas MSAA, hal ini berarti secara implisit DPR menyetujui MSAA.

          Pendapat KH yang mengkonstruksikan bahwa rakyat Indonesia sebagai pihak ketiga tidak dapat diikat dalam perjanjian yang dibuat oleh pemerintah adalah keliru. Karena memang rakyat yang membayar pajak pada waktu ditagih pajaknya tidak pernah diberitahu bahwa wajib pajak itu mempunyai beban kewajiban sebagai akibat Pemerintah melakukan suatu transaksi tertentu. Rakyat tidak bisa diminta membayar pajak lebih besar dari apa yang diatur mengenai kewajiban membayar pajak dengan Undang undang berapapun besarnya kewajiban negara. Apakah dengan adanya "potensi" kerugian ini para wajib pajak harus membayar pajak lebih besar dari apa yang diatur oleh Undang undang?

5.         KH berpendapat bahwa Shareholders sadar bahwa pilihan cara pembayaran kewajiban dengan assets apabila di kemudian hari ternyata tidak cukup untuk melunasi Affiliated Loans adalah sepenuhnya menjadi risiko dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh Shareholders sendiri. Klausula MSAA yang menyatakan tentang pembayaran lunas Affiliated Loans oleh Shareholders perlu direvisi, sehingga Shareholders tetap bertanggungjawab atas kekurangan tersebut sebagai utang mereka pribadi.

Komentar:

a.         Pendapat ini tidak menghargai apa yang disebut sebagai "deal" dalam suatu transaksi. Dalam suatu transaksi apabila sudah terjadi "deal", maka resiko ada pada masing-masing pihak yang melakukan perjanjian. Sehingga misalnya dalam pembelian barang, apabila barang sudah diserahkan oleh penjual maka menurut KUHPerdata resiko atas kemusnahan barang/penurunan nilai adalah pada pihak yang menerima/pembeli. Dalam persoalan MSAA, kalau pihak Shareholders sudah menyerahkan aset berupa Acquisition Companies kepada pihak yang ditunjuk oleh BPPN sebagai bentuk pelunasan kewajiban berarti sudah terjadi "deal", sehingga resiko penurunan nilai selanjutnya ditanggung oleh BPPN. Persoalan siapa pihak yang ditunjuk oleh BPPN untuk menerima penyerahan Acquisition Shares adalah "out of context" karena BPPN bebas menunjuk siapapun untuk mewakili kepentingan BPPN.

b.       Kalau pendapat KH diikuti maka akan terjadi kejanggalan sebagaimana ilustrasi berikut:

Seorang (A) yang ingin membeli mobil dari cabang dealer (B) setelah terjadi kesepakatan harga diminta oleh dealer B tersebut untuk menyetor uang pembayaran ke kantor utamanya (C) dan setelah mendapatkan bukti setor diminta agar kembali kepada B untuk menyerahkan bukti setor tersebut sekaligus mengambil mobilnya. Dalam hal ini, apabila

(i).  Pembeli A sudah menyetor uangnya pada C dan mendapatkan bukti setor setelah itu terjadi kebakaran atau perampokan sehingga uang setoran A tadi musnah sebagian atau seluruhnya, maka menurut pendapat KH ini pembeli A harus menyetor ulang harga pembelian mobil tadi. It's not fair.

(ii).Berbeda halnya kalau pembeli A dalam perjalanan menyetor uang ke C dirampok di tengah jalan, sehingga uang yang sedianya akan disetorkan hilang. Dalam hal ini bukti setor yang diminta oleh B belum diperoleh A, sehingga dapat dipahami bahwa pembayaran belum dilakukan.Karena itu, sudah wajar kalau A diminta untuk menyetor kembali uang harga  pembelian mobil tadi.

B. Ide Revisi atau Pembatalan MSAA

Ide pembatalan MSAA/MRNA disuarakan oleh banyak kalangan karena terpicu oleh pendapat bahwa dengan adanya penurunan nilai aset yang diserahkan oleh PPS bank, pemerintah akan mengalami kerugian. Sehingga, diperdebatkan perlu tidaknya R & D dicabut atau MSAA/MRNA direvisi atau bahkan dibatalkan.

     Komentar

          Untuk PPS bank yang telah deal dengan BPPN, yakni telah melakukan pembayaran tunai dan menyerahkan aset yang saat itu sebelum terjadi penyerahan telah dinilai oleh konsultan independen bahwa besarnya sama dengan kewajibannya yang harus dibayar, maka risiko penurunan aset tidak dapat lagi dibebankan secara sepihak kepada PPS bank, karena menjadi tidak adil. Asumsinya sepanjang PPS bank tidak melakukan mark up aset, melanggar disclosure, representation dan warranties dalam MSAA dan penilan asset oleh konsultan yang independen telah dilakukan dengan benar.

          Bahwa Pemerintah melalui Menteri Koordinator Perekonomian mengusulkan perpanjangan jangka waktu pembayaran kewajiban kepada PPS bank dengan meminta PPS bank menambah aset yang diserahkan dan Personal Guarantee, akan efektif dan adil sepanjang disepakati oleh pihak lain (PPS bank) karena kesepakatan merupakan undang-undang bagi para pihak dalam perjanjian. Dengan kata lain, pemerintah tidak dapat memaksakan kehendaknya secara sepihak agar usulan tersebut diterima oleh PPS bank karena akan bertentangan dengan asas konsensus pada suatu perjanjian agar berlaku efektif dan mengikat para pihak.

          Pembatalan MSAA terkait dengan perbuatan hukum yang mendahului seperti pemberian BLBI oleh kepada bank (yang kemudian menjadi bank berstatus BTO dan BBO/BBKU), pengalihan tagihan BLBI kepada pemerintah, penerbitan obligasi oleh pemerintah dan penagihan BLBI oleh BPPN kepada PPS bank. Apabila MSAA dibatalkan, maka rangkaian perbuatan hukum sebelumnya tersebut akan dibalik dan hal tersebut sangat mustahil. Dan apabila mungkin dilakukan, maka biaya yang akan timbul sangat besar dan dampaknya akan terjadi tindakan yang tidak kita nginkan bersama. Misalnya BI, agar tidak menderita kerugian, terpaksa akan mendebet kembali tagihan BLBI pada bank-bank BTO sehingga program rekapitalisasi perbankan akan terganggu. BPPN/pemerintah bukan kreditor sehingga PPS bank akan menolak tagihan yang dilakukan pemerintah/BPPN karena dianggap tidak berhak dan apabila BI masih mengalami kerugian maka kerugian tersebut sesuai Undang-undang No.23 Tahun 1999 wajib ditutup oleh Pemerintah. Sehingga, akhirnya Pemerintah juga yang akan mengeluarkan dana, bahkan jauh lebih besar lagi dari tagihan berupa BLBI. Dan sudah pasti prosesnya akan memakan waktu yang sangat lama, sehingga konsekuensinya kepercayaan investor dalam maupun luar negeri akan menurun. Pada gilirannya, proses pemulihan ekonomi nasional yang akan diharapkan tidak dapat dicapai.

IV. Kesimpulan

1.      MSAA dan MRNA termasuk klausula R & D sebagai suatu perjanjian adalah sah karena memenuhi persyaratan akan sahnya perjanjian sebagaimana dimuat dalam undang-undang hukum perdata. (Lihat Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya perjanjian).

2.      Pembayaran dengan cara menyerahkan barang adalah sah secara hukum asalkan terdapat kesepakatan mengenai harga barang dan kewajiban yang-harus dibayar oleh para pihak apalagi penilaian harga dilakukan oleh pihak yang independen untuk menjamin adanya itikad baik.

3.      Resiko atas barang yang diserahkan (termasuk risiko penurunan harga barang) setelah dilakukan penyerahan adalah pada pihak yang menerima (Pemerintah/BPPN). Sebaliknya, resiko atas barang sebelum diserahkan adalah pada pihak yang menyerahkan (Pemegang Saham Bank). Pembagian resiko ini adalah sesuai dengan prinsip Hukum Perdata di Indonesia.

4.      Janji-janji yang dimuat dalam MSAA/MRNIA adalah sah sepanjang janji-janji tersebut dibuat oleh pihak yang memiliki kewenangan untuk itu. Mengenai janji tentang Release & Discharge harus diingat bahwa pihak yang terikat dengan MSAA/MRNIA adalah Pemerintah RI. Yang dimaksud Pemerintah adalah presiden beserta kabinet. Karena Jaksa Agung adalah anggota kabinet, maka pemerintah dapat memberikan janji terhadap kewenangan Jaksa Agung.

5.      Dalam MSAA/MRNIA, terdapat tagihan pemerintah terhadap bank BTO menyangkut pembayaran BLBI. Dan keabsahan dari tagihan pemerintah tersebut sangat tergantung dari jawaban apakah Pemerintah sudah memiliki kedudukan sebagai Kreditor BLBI.

6.      Jangka waktu pelunasan pembayaran atau klausula lainnya dalam MSAA dapat diperbaiki sepanjang dilakukan dan disepakati oleh para pihak yang membuat perjanjian tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags: