TGPK, Berwenangkah Menangani Perkara Korupsi?
Kolom

TGPK, Berwenangkah Menangani Perkara Korupsi?

Ketika media massa nasional memberitakan terbentuknya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (populer disebut dengan singkatan TGPK), masyarakat menyambutnya secara gemuruh. Dari berbagai komentar yang terbaca, tampak begitu besar harapan masyarakat ditaruh di pundak Tim ini. Apalagi TGPK dikomandani oleh Adi Andojo Soetjipto, seorang mantan hakim agung yang dikenal dengan reputasi yang secara relatif dinilai bersih dan penuh dedikasi.

Bacaan 2 Menit
TGPK, Berwenangkah Menangani Perkara Korupsi?
Hukumonline

Akan tetapi bisakah kita berspekulasi tentang kemampuan Tim Gabungan ini untuk memenuhi harapan masyarakat? Sebagian orang menggantungkan jawabannya pada seberapa independensi Tim ini dalam mengambil sikap dan tindakan hukum atas perkara-perkara korupsi yang ditanganinya. Debat publik mengenai independensi ini belakangan muncul yang dipicu oleh salah seorang anggota TGPK yang mengundurkan diri karena alasan kesibukan dan tidak ingin keberadaannya itu mengganggu tugas Tim Gabungan.

Lebih dari sekadar faktor independensi, sebagian kalangan bahkan menganggap keberadaan TGPK bertentangan dengan UU no. 31/2000. Anehnya, pendapat semacam ini muncul justeru ketika Tim Gabungan mulai mengumumkan kasus-kasus yang sedang ditanganinya, bukan ketika Tim ini terbentuk.

Latar Belakang Pembentukan TGPK

Dilihat dari latar belakangnya, Tim Gabungan dibentuk oleh PP Nomor 19/2000 atas dasar Pasal 27 Undang-undang Nomor 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut menyebutkan bahwa "dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung."

Ada dua hal penting untuk dijabarkan dari pasal tersebut. Pertama, suatu perkara tindak pidana dinyatakan sulit pembuktiannya apabila perkara tersebut menggunakan teknologi canggih, lintas sektoral atau menyangkut pejabat negara. Penjelasan ini terdapat pada PP no. 19/2000, UU no. 31/1999 dan juga pada UU no. 28 tahun 1999 tentang Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari KKN.

Dilihat dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa hampir semua tindak pidana korupsi pasti berkait dengan salah satu syarat untuk dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi "yang sulit pembuktiannya". Karenanya, hampir tidak ada satu perkara korupsi pun yang tidak berhak ditangani oleh TGPK.

Kedua, Tim Gabungan ini dibentuk "di bawah koordinasi Jaksa Agung". Bagian inilah yang kemudian melahirkan kontroversi mengenai independen tidaknya TGPK. Kalimat tersebut di atas memang menunjukkan secara eksplisit bahwa Tim Gabungan bukanlah tim yang independen dalam arti memiliki kewenangan sendiri untuk  melakukan penyidikan dan penuntutan yang terlepas sama sekali dari kekuasaan Kejaksaan (Jaksa Agung).

Justru apabila Tim ini diharapkan independen seperti dimaksud di atas, maka eksistensi TGPK menjadi tidak sah secara hukum karena telah melampaui peraturan perundang-undangan yang ada. "Koordinasi"   (bukan subordinasi, seperti terbaca di beberapa media), lebih dimaksudkan agar masing-masing anggota yang berasal dari bermacam-macam institusi, dapat saling membantu dan juga saling mengawasi, sehingga masyarakat percaya bahwa hukum masih supreme di negeri ini.

Tags: