Sistem Peradilan Pidana Sebaiknya Terapkan Restorative Justice
Berita

Sistem Peradilan Pidana Sebaiknya Terapkan Restorative Justice

Para hakim cenderung menjadikan pidana penjara sebagai sanksi utama pada para pelaku tindak pidana yang terbukti bersalah di pengadilan. Padahal yang diperlukan masyarakat, khususnya korban tindak pidana tersebut, adalah keadaan yang semaksimal mungkin seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Karena itu, sebaiknya dalam sistem peradilan pidana diterapkan konsep Restorative Justice.

Oleh:
Zae/APr
Bacaan 2 Menit
Sistem Peradilan Pidana Sebaiknya Terapkan <I>Restorative Justice</I>
Hukumonline

Demikian gagasan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakkir, saat menyampaikan pendapatnya pada diskusi publik di Jakarta (31/7). Acara yang terselenggara berkat kerjasama Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Komisi Hukum Nasional (KHN) ini mengambil tema "Akses Publik ke Sistem Peradilan Pidana".

Mudzakir mengatakan, KUHAP sendiri memang cenderung menjadikan sanksi penjara sebagai primadona hukuman atas terpidana. Sanksi hukuman lain hanya dianggap sebagai sanksi alternatif. "Karena itu, tidak heran jika-hakim-hakim yang mengadili kasus-kasus pidana menjadikan penjara sebagai sanksi utamanya," jelas Mudzakkir.

Padahal sebenarnya keadilan yang diharapkan masyarakat, khususnya korban tindak pidana, lebih dari itu. Mudzakkir mencontohkan, kasus pembunuhan seorang kepala rumah tangga. Terhadap kasus tersebut, negara memang mewakili keluarga korban menghukum pelaku. Namun, kebutuhan istri korban setelah kasus selesai tidak lagi jadi perhatian negara.

"Terhadap nasib istri korban selanjutnya, negara sepertinya cuci tangan. Namun, pelaku yang terbukti bersalah justru dipenjara atas biaya negara," tegas Mudzakkir dengan geram. Karena itulah, menurut Mudzakkir, sebaiknya sistem peradilan pidana Indonesia menganut konsep Restorative Justice.

Mudzakkir menjelaskan, yang dimaksud Restorative Justice yaitu penghukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan adalah hukuman yang ditujukan untuk semaksimal mungkin mengembalikan keadaan korban seperti sebelum peristiwa pidana menimpa korban. "Baru kemudian hukuman penjara sebagai sanksi alternatifnya," jelas Mudzakkir.

Akses publik dalam sistem peradilan pidana

Sebelum menyampaikan gagasannya tersebut, Mudzakkir menerangkan bahwa reaksi formal terhadap pelanggaran hukum pidana memang hanya boleh dilakukan oleh negara (polisi dan jaksa). Hal ini berdasar konsep bahwa negara telah memperoleh mandat resmi dari masyarakat melalui proses pembentukan undang-undang hukum pidana.

Berdasarkan mandat tersebut, negara menjalankan dua peran. Satu sisi mewakili kepentingan publik untuk melakukan proses hukum terhadap tersangka pelanggar hukum pidana. Di sisi lain, juga mewakili kepentingan publik bagaimana memperlakukan terhadap orang yang disangka melakukan pelanggaran hukum pidana, yang tiada lain juga bagian dari angota masyarakat itu sendiri.

Tags: