UU Perkawinan Tidak Melarang Perkawinan Beda Agama
Berita

UU Perkawinan Tidak Melarang Perkawinan Beda Agama

Beberapa waktu lalu, para penikmat infotainment kembali disuguhkan berita tentang perkawinan selebriti yang mengundang kontroversi. Penyanyi kondang Yuni Shara dan suaminya Henry Siahaan akhirnya berhasil mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil setelah melangsungkan pernikahannya tersebut di Perth, Australia pada 7 Agustus 2002.

Oleh:
Amr/Apr
Bacaan 2 Menit
UU Perkawinan Tidak Melarang Perkawinan Beda Agama
Hukumonline

Kakak dari artis Krisdayanti ini sebenarnya telah melangsungkan perkawinan dengan pasangannya tersebut pada 18 Oktober 1997 silam. Namun karena keduanya berbeda agama, perkawinan mereka tersebut tidak dapat dicatatkan secara resmi oleh Kantor Catatan Sipil. Yuni adalah pemeluk agama Islam, sedangkan Henry beragama Kristen.

Karena adanya penolakan tersebut, kemudian pasangan Yuni-Henry mencoba untuk memperoleh legalitas perkawinannya di sejumlah negara yang berhasil didapatkan sejumlah selebriti WNI lainnya, yaitu Singapura,  dan Hong Kong.

Singkat cerita, lagi-lagi beragam kendala menghalangi perkawinan mereka di kedua negara tersebut. Lalu pada akhirnya, di  District Registrar's Office, Perth, Western Australia, mereka mendapatkan surat nikah yang diimpikan dan selanjutnya dicatatkan di Indonesia.

Menghapuskan diskriminasi

Salah satu anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Soelistyowati Soegondo mengatakan bahwa dirinya dan sejumlah pihak lain berupaya menghapuskan diskriminasi pelayanan petugas catatan sipil terhadap perkawinan antara pasangan yang berbeda agama tersebut dalam RUU tentang Catatan Sipil. Saat ini, ia merupakan koordinator Konsorsium penyusun RUU Catatan Sipil tersebut.

Ia berpendapat, seharusnya negara tidak membeda-bedakan dalam melindungi dan melayani warga negaranya dalam menggunakan hak asasinya, khususnya untuk bisa melangsungkan perkawinan. Walaupun, pasangannya berbeda agama dan keyakinan. Oleh sebab itu, ia menyayangkan masih ada penolakan dari Kantor Catatan Sipil untuk mencatatkan perkawinan lintas agama tersebut.

"Negara itu berkewajiban untuk melindungi HAM warga negara. Untuk melindungi, menghormati hak asasi dari warga negaranya. Berarti kan tidak membeda-bedakan sebetulnya itu. Tetapi di dalam kenyataannya, Catatan Sipil menolak untuk mencatatkan perkawinan tersebut. Oleh karena itu, sementara orang mencari jalan keluar, yaitu mencari ijin dari pengadilan. Nah, ini sudah dilakukan beberapa orang," jelasnya ketika dihubungi hukumonline.

Tidak sah?

Sikap yang diambil pegawai Kantor Catatan Sipil tersebut sama sekali tidak terlepas dari penafsiran terhadap Pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut ketentuan hukum tersebut, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

Tags: