Ichtijanto: UU Perkawinan Akui Pluralitas Hukum Agama
Terbaru

Ichtijanto: UU Perkawinan Akui Pluralitas Hukum Agama

Kasus-kasus perkawinan antara pasangan yang berbeda agama dari tahun ke tahun hampir selalu muncul ke permukaan. Memang, umumnya kasus-kasus yang mencuat adalah yang melibatkan orang-orang terkenal (public figure). Padahal, sudah tentu kasus-kasus serupa yang tidak terekam oleh media jumlahnya jauh lebih banyak.

Oleh:
Bacaan 2 Menit
Ichtijanto: UU Perkawinan Akui Pluralitas Hukum Agama
Hukumonline

Pasal 2 ayat (1) UU No.1/1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang akan melangsungkan perkawinan. Bagaimana jika kebetulan keduanya berbeda agama? Kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama sepakat bahwa tidak ada pencatatan bagi pasangan yang tetap mempertahankan perbedaan agamanya itu hingga memasuki lembaga perkawinan.

Artinya, salah satu pasangan tersebut harus mengalah. Atau, kalau tidak bersedia, perkawinan mereka tetap berstatus perkawinan bawah tangan dalam arti tidak diakui oleh negara. Anda mungkin bisa membayangkan bagaimana suramnya pilihan itu bagi pasangan tersebut. Akhirnya, berbagai carapun ditempuh agar perkawinan yang "tidak sesuai" UU Perkawinan itu tetap diakui negara.

Sebenarnya, UU Perkawinan sendiri tidak melarang perkawinan pasangan yang berbeda agama dan tidak seharusnya ditolak pencatatannya oleh negara. Itulah kesimpulan yang dikemukakan seorang pakar hukum keluarga dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ichtijanto.

Ichtijanto berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul "Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia" di hadapan para guru besar UI pada 1993. Dari penelitian yang dilakukannya selama kurang lebih lima tahun, ia menemukan fakta bahwa UU Perkawinan sudah sedemikian baik mengatur perkawinan beda agama.

"Hanya saja pemahaman orang-orang berbeda. Pemahaman yang cocok adalah pemahaman yang relevan dan sejalan dengan pasal 29 ayat (2) UUD 1945 bahwa negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agamanya dan kepercayannya itu," ujarnya.

Ahli Peneliti Utama bidang Kehidupan Beragama Badan Litbang Agama Departemen Agama ini juga berusaha mengembalikan masalah perkawinan beda agama kepada masing-masing individu. Ia menilai, UU Perkawinan memungkinkan perkawinan beda agama. Namun. itu bukanlah berarti pilihan tersebut adalah pilihan yang sederhana. "Agama perlu diperhatikan," katanya sungguh-sungguh.

Menarik pula untuk melihat perspektifnya soal kawin beda agama ini yang tidak kaku, tapi juga tidak begitu saja menyederhakan esensi dari persoalan. Ikuti diskusi hukumonline dengan pria kelahiran Magelang 62 tahun lalu ini di kediamannya di Tanjung Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan.

Tags: