Sang Hakim
Tajuk

Sang Hakim

Al Hakam (The Judge, He who judges and provides what is due), dan Al Hakim (The Wise, He who has wisdom in all orders and actions) adalah dua dari 99 nama Allah. Keputusan hakim di Indonesia dimulai dengan kata-kata: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Betapa mirisnya seseorang yang memegang kuasa hakim. Nasib banyak manusia, hartanya, masa depannya, bahkan nyawanya, ditentukan di tangannya seorang, atau seringkali suatu majelis hakim. Terlebih lagi, nasib masyarakat kecil yang terampas atau tergusur hak-haknya, atau bahkan masa depan bangsa Indonesia lewat penanganan kasus-kasus KKN, atau rekonstruksi ekonomi, politik dan hukum, yang menentukan bangkit atau hancurnya sendi-sendi bangsa, bisa-bisa ditentukan oleh ketukan palu sang hakim.

Oleh:
Bacaan 2 Menit
Sang Hakim
Hukumonline

Hakim menimbang fakta. Hakim  menilai bukti. Hakim  mendengar argumen dan "positioning" pihak-pihak berperkara. Hakim menguji kebijakan lama pendahulunya. Hakim mendengar suara tuntutan keadilan masyarakat. Hakim menerapkan kaidah-kaidah hukum yang hidup di kitab-kitab hukum dan perundang-undangan. Hakim pada akhirnya juga mendengar hati nuraninya sendiri sebelum memutus perkara, sebelum diktumnya menghancurkan nasib anak manusia, sebelum putusannya menenggelamkan harapan sekelompok masyarakat tergusur, sebelum fatwa-fatwanya menepikan masa depan atau kebangkitan bangsa dari keterpurukan. Semua atas nama keadilan, ketertiban dan supremasi hukum, bahkan atas nama Tuhan Yang Maha Esa.

Fakta dan bukti bisa diselewengkan atau dipalsukan. Argumen dan "positioning" bisa tergantung pada kepiawaian tehnis hukum dan beracara para pengacara. Jurisprudensi bisa berjiwa nilai-nilai lama yang menghambat pembaharuan. Tuntutan keadilan masyarakat bisa sekadar teriakan sekelompok kecil anarkhis. Hukum yang ada bisa saja "law against society" , hukum yang memihak siapa saja selain kepentingan masyarakat banyak.

Hakim melalui keputusan-keputusannya karenanya memegang posisi kunci untuk membentuk hukum baru dalam menunjang rekonstruksi dan reformasi di segala bidang. Hakim menjadi harapan terakhir sebagai pembela kepentingan orang banyak dan mereka yang tertindas. Hakim bisa menjadi sandaran pemulihan kepercayaan rakyat atas supremasi hukum, rasa aman, ketertiban dan pemerataan.  Hakim juga yang bisa menyelamatkan bangsa ini  dari keterpurukan ekonomi dan terkoyaknya sendi-sendi bangsa karena kasus-kasus KKN dan kejahatan terhadap kemanusiaan.  Hakim pada akhirnya menjadi lambang kearifan yang bisa mensederajatkan kembali bangsa kita di tengah pergaulan bangsa-bangsa.

Reformasi atau rekonstruksi hukum, pemulihan ekonomi, usaha merekatkan kembali bangsa melalui kerukunan sosial dan agama, proses demokratisasi melalui akrobat-akrobat politik yang berbahaya, bisa saja dianggap berhasil. Tetapi manakala usaha-usaha tersebut berujung pada sengketa, pada kebutuhan untuk melaksanakan hukum, pada penafsiran suatu ketentuan hukum, maka semua akan dikembalikan pada kuasa  dan diskresi sang hakim. Semua pihak, dari warga biasa sampai Presiden, juga anggota parlemen, harus tunduk pada putusan akhir sang hakim. Jadinya, yang kita butuhkan saat ini adalah kualitas dan integritas hakim yang mampu menunjang usaha-usaha tersebut. Padahal siapapun tahu kualitas dan integritas hakim kita saat ini jauh dari kesan demikian.

Bila usaha-usaha reformasi, rekonstruksi, perekatan bangsa dan proses demokratisasi ditentukan oleh hakim-hakim yang korup, berpandangan picik, atau yang menyerah pada kekuasaan penguasa, bisa diduga semua usaha tadi akan menjadi slogan kosong belaka. Keadilan jadinya masih bukan milik orang banyak. Keadaan tidak akan berubah banyak. Tidak  akan ada kesempatan berusaha yang merata. Tidak akan ada kesempatan mengelola sumber daya alam yang diberikan secara transparan dan merata kepada siapapun yang mampu. Tidak akan ada persamaan hak tanpa melihat latar belakang termasuk gender seseorang. Tidak akan ada hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan, hak atas informasi, dan sebagainya kepada rakyat jelata. Semua hak istimewa dan privillege hanya untuk elite. Dunia hukum kita juga untuk elite. Hakim kita juga akan tetap  bekerja untuk kepentingan elite, apakah itu penguasa, politisi ataupun pemegang sumber-sumber dana.

Dalam perspektif jangka panjang, hasilnya bisa sangat mengerikan, karena akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan bangsa Indonesia bergenerasi-generasi mendatang. Kita tidak menghasilkan baby boomers generation atau generation x atau jenis-jenis generasi lain yang masih banyak nilai positifnya dengan melahirkan kelas menengah baru. Sikap kita sekarang sangat mungkin menghasilkan generasi yang bodoh, tertekan, dengan tingkat kesehatan dan kesejahteraan yang rendah, tidak punya sense keadilan, tidak demokratis, anarkis, senang kekerasan, dan berwawasan SARA (Suku Agama Ras Antargolongan).

Dalam kaitan itu, reformasi lembaga peradilan dan personil pengadilan sangat penting, kalau kita mau melihat rekosntruksi dan reformasi bangsa ini berjalan di rel yang benar dan dengan kecepatan yang masuk akal. Proses pengangkatan hakim agung beberapa waktu yang lalu dan pemilihan ketua Mahkamah Agung yang akan dilakukan sebentar lagi, sangat mengkhawatirkan. Kalau instansi hukum tertinggi kita mewarisi mentalitas atau tidak putus hubungan dengan Orde Baru, melindungi pelaku kasus-kasus KKN, tidak mampu merombak drastis struktur badan peradilan dan mentalitas, kualitas serta integritas para hakim, niscaya semua usaha rekosntruksi dan reformasi yang sedang kita jalankan akan sia-sia belaka.

Kita ikut berdosa menciptakan atau membiarkan generasi sekarang dan yang akan datang yang tidak mampu merekat bangsa ini, tidak membangun kembali bangsa ini, tapi membiarkannya tercerai berai, bahkan mencabik-cabik dirinya sendiri.

Marilah kita mementingkan ini dan menjadikannya prioritas utama langkah-langkah kita ke depan. 

 

Tags: