ICJ Memutuskan Sipadan-Ligitan Kembali ke Malaysia
Berita

ICJ Memutuskan Sipadan-Ligitan Kembali ke Malaysia

Majelis hakim Internasional Court of Justice (ICJ) di Den Haag akhirnya memutuskan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan milik pemerintah Malaysia. Mereka lebih mendasarkan putusannya tersebut karena pemerintah kolonial Inggris jauh lebih aktif menggunakan kedua pulau tersebut ketimbang pemerintah kolonial Belanda.

Oleh:
Amr/APr
Bacaan 2 Menit
ICJ Memutuskan Sipadan-Ligitan Kembali ke Malaysia
Hukumonline

Seperti dilansir situs berita Malaysia The Star Online, putusan tersebut dijatuhkan berdasarkan suara mayoritas 16:1 bagi kemenangan Malaysia pada Selasa (17/12) pagi waktu Den Haag (Selasa petang waktu Jakarta). Usai putusan dijatuhkan, kedua belah pihak menyatakan menerima putusan tersebut.

Majelis yang terdiri dari 17 hakim yang dipimpin langsung oleh Presiden International Court of Justice (ICJ) Gilbert Guillaume menolak hampir seluruh argumen kedua pihak yang mendasarkan pada peta dan traktat yang dibuat pada era kolonial.

Sebaliknya, majelis hakim menerima klaim Malaysia yang mendasarkan pada penggunaan kedua pulau tersebut sebelum sengketa kedua negara mulai mengemuka pada 1969.

Majelis hakim menyatakan bahwa ijin yang dikeluarkan pemerintah Malaysia pada 1917 untuk mengatur pengumpulan telur penyu dan pembangunan perlindungan bagi burung pada tahun 1930, "must be seen as regulatory and administrative assertion of authority over territory.''

Dalam dokumen yang diajukan pihak Malaysia disebutkan bahwa pemerintah kolonial Inggris pada 1917 pernah menerbitkan Ordonansi Perlindungan Penyu. Berdasarkan Ordonansi tersebut, kemudian pada 2 Juni 1919 pemerintah kolonial Inggris menetapkan Sipadan sebagai wilayah pengumpulan telur penyu. Dalil yang secara prinsipnya sama juga berlaku bagi pulau Ligitan.

Sementara, pembangunan tempat perlindungan bagi burung secara resmi disahkan melalui Official Gazette pemerintah kolonial Inggris pada 1 February 1933. Pembangunan tempat perlindungan bagi burung ini pertama kali diusulkan pada 19 Desember 1932.

Sesuai dengan hukum ICJ, dalam susunan majelis hakim yang menyidangkan kasus tersebut terdapat dua hakim ad hoc yang sebelumnya ditunjuk oleh kedua pihak. Indonesia menunjuk hakim asal AS, Thomas Franck, sementara Malaysia menunjuk hakim asal Sri Lanka, Christopher Gregory Weeramantry.

Tags: