Pro Kontra Permasalahan Hukum Pengangkatan Kapolri Baru
Fokus

Pro Kontra Permasalahan Hukum Pengangkatan Kapolri Baru

Seorang teman lama berkelakar: "Apa bedanya Soeharto dengan Gus Dur?" Teman yang lama tinggal di Australia untuk menyelesaikan kuliahnya sekaligus menemani "pelarian" bapaknya dari rezim Soeharto ini menjawab: "Kalau Soeharto menggunakan cara-cara 'legal' untuk tujuan yang buruk (maksudnya memperkaya diri sendiri), sedangkan Gus Dur lebih suka menyalahi prosedur untuk tujuan yang baik".

Oleh:
AWi/Bam/APr
Bacaan 2 Menit
Pro Kontra Permasalahan Hukum Pengangkatan Kapolri Baru
Hukumonline

Guyonan teman mengingatkan akan ketegangan baru yang muncul kembali antara Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pasca pemberhentian dua menteri ekuin Kabinet Reformasi. Presiden KH. Abdurrahman Wahid memberhentikan dengan hormat Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal (Pol) Rusdihardjo dan menunjuk Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal S. Bimantoro sebagai Pelaksana Harian Kepala Polri terhitung 18 September 2000.

Sementara itu beberapa kalangan di Gedung DPR/MPR menyatakan sikap menolak keputusan presiden atas pemberhentian Jenderal (Pol) Rusdihardjo sebagai Kapolri. Menurut beberapa anggota legistatif, tindakan presiden tersebut  tidak sesuai dengan Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang peran TNI/Polri. Dalam Tap yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000 Pasal 7 (3)  disebutkan: "Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR".

Polemik yang berkembang

Presiden dalam dialog setelah salat Jumat di Masjid Baiturrahman menjelaskan bahwa pemberhentian Kapolri disebabkan yang bersangkutan tidak menuruti perintah untuk menangkap dan memeriksa Tommy Soeharto, putra mantan Presiden Soeharto.

Karena permintaan itu tidak dituruti Rusdihardjo, akhirnya diputuskan agar jabatan Kapolri diserahkan pada yang lain. Gus Dur menambahkan, jika mantan Kapolri yang diangkat pada 4 Januari 2000 lalu ini tidak puas dengan keputusan tersebut, ia dipersilakan membawa masalah ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Banyak komentar lalu bermunculan terhadap ketegangan kedua lembaga tinggi negara ini. Dari yang setuju terhadap langkah yang diambil Gus Dur sampai penolakan terhadap keputusan Presiden tersebut. Guna memperjelas permasalahan dan polemik yang berkembang, berikut ini diuraikan beberapa perkembangan perihal peran Polri terutama yang menyangkut pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.

 

Peraturan yang mengatur

UU No. 28 Tahun 1997

Tap VII/MPR/2000

Susunan dan kedudukan Kepolisian

Pasal 8 (1) Presiden pemegang kekuasaan tertinggi atas Kepolisian Negara Republik Indonesia

Pasal 7 (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden

Pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri

Pasal 11, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia diangkat dan diberhentikan Presiden.

Pasal 7 (3) Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin Kapolri yang  diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR

Kekuasaan Presiden

Selama ini pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diartikan sebagai hak prerogatif (hak istimewa) Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di dalam tubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia (pasal 10 UUD'45, bahwa presiden adalah penguasa tertinggi militer dan Kepolisian Negara RI. Dianggap sebagai konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara (penjelasan pasal 10 sampai pasal 15 UUD'45).

Dibatasi oleh beberapa hal:

Pasal 7 (3), Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin Kapolri yang  diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.

Pasal 8 (3), Lembaga Kepolisian Nasional memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.

Peran DPR

Tidak adanya peran DPR.

Ada peran DPR, karena Presiden harus mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu sebelum mengangkat atau memberhentikan Kapolri seperti termuat pasal 7 (3).

Keterangan

Hak prerogatif/hak istimewa adalah hak yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak dalam arti tidak dapat digugat oleh lembaga negara yang lain.

Dalam praktek ketatanegaraan negara-negara modern, hak prerogatif ini tidak lagi bersifat mutlak dan mandiri. Oleh karena itu dengan jelas dapat dikatakan bahwa hak prerogatif presiden adalah hak yang tidak lagi diartikan sebagai hak mandiri, mutlak, dan tidak dapat mengikutsertakan lembaga-lembaga negara  lain dalam pelaksanaannya.

Namun begitu ada beberapa permasalahan dalam Ketetapan MPR ini, misalnya:

Pasal 8 (1), Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia dibantu Lembaga Kepolisian Nasional.

Sementara itu dalam Pasal 8 (2), Lembaga Kepolisian Nasional dibentuk oleh Presiden yang diatur dengan undang-undang.

Dan dalam Pasal 11, Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ketetapan ini (Tap No. VII/MPR/2000) diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Sumber: Pusat data hukumonline, 2000

Menolak keputusan presiden

Pada kasus pemberhentian Rusdihardjo, banyak kalangan DPR  menolak keputusan presiden atas pemberhentian Kapolri yang diangkat  pada 4 Januari 2000  itu. Alasan penolakan itu karena DPR menganggap presiden telah menyalahi prosedur dari Tap MPR No. VII/MPR/2000. Pasal 7 (3) ketetapan tersebut memuat bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin Kapolri yang  diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.

Halaman Selanjutnya:
Tags: