Demikian dikemukakan oleh ketua Komisi Ombudsman Nasional (KON) Antonius Sujata dalam peluncuran buku "Menyingkap Tabir Mafia peradilan" yang diselenggarakan oleh ICW di Jakarta.
Antonius menyebut beberapa contoh, seperti Endin Wahyuddin, Maria Leonita, Kito Irhami dan Wawan Iriawan. Endin Wahyuddin oleh PN Jakarta Pusat dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana pencemaran nama baik. Sementara perkara korupsi yang ia laporkan, dakwaannya tidak dilanjutkan.
Begitu pula Maria yang dihadapkan ke pengadilan karena pencemaran nama baik, walau dakwaan terhadapnya kemudian tidak diterima oleh hakim. Sementara Kito sampai saat ini masih ditahan di Rutan kejaksan. Sedangkan Wawan yang pengacara, ijin pengacaranya terancam dicabut.
Selain para whistleblower yang juga terlibat korupsi, seperti disebut di atas, ada pula kasus seperti Ahmad Dedi Abidin. Dedi, mantan camat di Kabupaten Sumedang, melaporkan kasus suap dana bantuan kecamatan yang dilakukan oleh Misbach, kepala biro penyusunan program Pemrov Jawa Barat. Akibatnya, Dedi terpaksa kehilangan jabatannya dan hidup prihatin.
Menurut Antonius, lemahnya perlindungan terhadap whistleblower merupakan kendala memberantas korupsi yang harus segera dihilangkan. "Dimana-mana, whistleblower itu harus dilindungi," ujar Antonius.
Antonius menyatakan walau belum ada UU Perlindungan Saksi, penegak hukum sebetulnya memiliki diskresi untuk memberikan perlindungan. Ia mencontohkan kasus Endin. Jaksa agung saat itu sudah menyatakan akan memberikan perlindungan. Namun dalam kenyataannya, janji itu tidak terlaksana. Padahal, saat itu sudah ada diskresi dari jaksa agung yang menyatakan akan menyampingkan perkara tersebut.
Menyimpangi KUHAP
Sementara menurut Wasingatu Zakiyah, Ketua Divisi Monitoring Pengadilan ICW, dalam RUU Perlindungan Saksi yang telah diajukan ke DPR, saksi, pelapor dan saksi korban dilindungi. Sedangkan pelapor yang juga pelaku dalam suap menyuap, hukumannya dapat diperingan sepertiga.