Karena itu, ketika berbicara dalam peluncuran buku "Menyingkap Mafia Peradilan" yang digelar ICW baru-baru ini, Wendo dengan santai menyatakan bahwa cara paling mudah untuk mengetahui pola korupsi di peradilan adalah dengan menjadi 'pesakitan'.
Meski telah keluar keluar dari penjara pada 1995 dan kembali menghasilkan berbagai karya, Wendo tentu belum lupa pengalamannya selama menjalani proses hukum itu. Sekarang, kegiatan Wendo segudang, mulai dari serial "Keluarga Cemara"--tontonan keluarga yang banyak mendapat pujian--menjadi pimpinan penerbitan majalah anak-anak, sampai memiliki rumah produksi Atmochademas Persada.
Karena itu, hukumonline merasa perlu mewawancarai pria kelahiran tahun 1948 ini dan memintanya bercerita mengenai pengalamannya itu. Karena, kelihatannya keadaan peradilan dan pemasyarakatan saat ini masih tidak jauh berbeda dengan keadaan pada saat itu. Berikut petikan wawancara hukumonline dengan Wendo:
Bisa diceritakan pengalaman Anda sebagai orang yang awam hukum tiba-tiba harus berhadapan dengan proses peradilan?
Saya kira semua orang akan sama. Dalam arti, orang itu tidak ada pengalaman ditahan dan tidak ada persiapan untuk ditahan. So, yang pertama terjadi pastilah shock. Kedua, ia tidak mengerti rule-nya yang sebenarnya. Hak dia apa, kewajiban ia apa. Hubungan ke mana, ia tidak mengerti. Yang dimengerti adalah yang formal-formal, oh perlu pengacara. Padahal, realitas empiris yang terjadi tidak seperti itu.
Bagimana awal mulanya dari setelah polling Monitor itu sampai menjalani proses peradilan?
Setelah polling pada awal Oktober, terjadi protes yang eksklalatif. Sehingga pada 22 Oktober 1990, kantor saya didemo, dirusak, dan sebagainya. Saat itu, saya di kantor dan harus membuka pameran lukisan di balai budaya. Tapi karena keadaannya sudah seperti itu, siang itu saya melarikan diri bersama teman-teman dalam mobil boks untuk mengirim koran untuk menghindari massa karena kantor saya belakangnya tidak ada jalan tembusnya.
Kemudian, saya yang berada di kantor teman mendengar ada pendemo yang ditangkap. Begonya saya, saya datang ke kantor polisi di Kramat Raya. Saya datang ke situ cuma diantar supir saya. Saya bertemu mereka yang ditangkap dan dengan sok gagah saya bilang, "mereka mestinya tidak usah ditangkap, mereka tidak salah-salah amat, tidak usah ditahan". Untuk keamanan, saya disuruh tinggal di situ. Di situ nggak bisa pulang, saya tanya status saya bagaimana. Lalu kejadian merebak ke arah itu (proses hukum-red).