Ancaman Hukuman Mati Tidak Selesaikan Masalah Terorisme
Utama

Ancaman Hukuman Mati Tidak Selesaikan Masalah Terorisme

UU Anti Terorisme memberikan ancaman hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Beberapa pelaku peledakan bom yang diadili, telah dijatuhi atau dituntut hukuman mati. Namun tindak pidana terorisme di negeri ini tidak juga surut. Mengapa?

Oleh:
Nay
Bacaan 2 Menit
Ancaman Hukuman Mati Tidak Selesaikan Masalah Terorisme
Hukumonline

 

Jika yang dilawan adalah ideologi, yang dapat dilakukan adalah menghentikan pelakunya atau menutup akses dimana orang itu bisa mendapat bahan peledak dan lain-lainya. "Kalau seseorang tidak bisa mendapat sumber daya bahan, bagaimana ia bisa mengebom," cetusnya.

 

Selama ini, kata bekas aktivis YLBHI itu, tidak ada sistem yang bekerja untuk mencegah terorisme. Peredaran bahan peledak di Indonesia dapat dikatakan tidak terkontrol. "Sepanjang aparat negara masih bisa disuap, jangan harap peredaran bahan peledak bisa dikontrol," katanya. 

 

"Mau ditangkap seribu orang pun, sepanjang akses terhadap itu masih terbuka karena suap dan lain-lain, saya yakin itu tidak bisa diselesaikan dan hanya akan pindah tempat dan waktu saja," tambahnya.  Begitu pula jika seseorang masih bisa membuat paspor dalam waktu satu jam dengan menyuap, maka tindak terorisme tidak akan dapat dikontrol.

 

Munir menyatakan, yang harus dilakukan secara serius oleh pemerintah untuk mencegah terorisme saat ini adalah mengontrol peredaran bahan peledak, money laundering, keimigrasian, dan bea cukai. Setelah itu, baru dilakukan early warning system, yaitu kerja intelijen untuk memberi peringatan dini. Misalnya ada bom hilang, maka segera dicari kemungkinan penggunanya, kemungkinan tempat beredarnya dan ada warning pada tempat-tempat yang mungkin menjadi sasaran.    

 

 

Beberapa Kasus Peledakan Bom

 

Lokasi

Tanggal

Pelaku

Vonis /Tuntutan

Rumah Dubes Filipina

1 Agustus 2000

-Hambali (buron)

 

-Amrozy (penyedia bahan peledak, mobil, dan perakitan bom)

 

-Utomo Pamungkas alias Mubarok bertindak sebagai perakit bom.

 

-Sarihin Ibnu Ahmad alias Yasir.

 

-Fathurrohman Al-Ghozi bertindak sebagai eksekutor

 

-Dulmatin (masih DPO) sebagai perakit bom.

 

-Syawat alias Sarjio (masih DPO) bertindak sebagai perakit bom,

 

-Edi Setiono alias Usman (juga sebagai terpidana peledakan bom Atrium Senen)

 

-Abdul Jabar

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

-Dalam proses Persidangan

BEJ

13 September 2000

-Tengku Ismuhadi Jafar 

--Nuryadin alias Nadin (melarikan diri)

Divonis 20 Tahun Penjara

Atrium Senen

1 Agustus 2002

-Taufik bin Abdullah Halim alias Dani (WN Malaysia)

 

-Edi Setiono alias Usman

Divonis Hukuman mati

 

 

Divonis Hukuman Mati

Legian Bali

12 Oktober 2002

-Ali Ghufron alias Muklas

 

-Amrozi bin H Nurhasyim

 

-Abdul Aziz alias Imam Samudra

 

-Silvester Tendean (Penjual bahan peledak)

Dituntut Hukuman Mati

 

Dituntut Hukuman Mati

 

Dituntut hukuman mati

 

 

Divonis 7 bulan penjara

Mc Donald Makasar

5 Desember 2002

-Imal Abdul Hamid

-Abdul Hamid

-Muchtar Daeng Lawu, -Khaharudin Mustafa

-Suryadi

-Lukman, Usman

Dalam proses persidangan

Pusat Data Hukumonline, 2003

 

 

 

Sebagai contoh, Pemerintah AS memiliki data mengenai siapa saja orang yang mempunyai kemampuan membuat bahan peledak. Munir mengatakan," Di Indonesia jangankan siapa yang punya keahlian membuat bom, medical record jumlah gigi orang di Indonesia saja tidak ada catatannya".

 

Mengenai pernyataan Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono bahwa kritik terhadap UU Antiterorisme harus dihentikan, menurut Munir, bom di hotel JW Marriot justru membuktikan bahwa UU Antiterorisme tidak memecahkan masalah.

 

"Menurut saya, tidak usah dipersalahkan kelompok Hak Asasi Manusia, tidak ada urusan dengan itu. Yang mereka harus pikirkan adalah bagaimana memperbaiki diri. Saya kira pejabat kita terlalu banyak pidato ketimbang kerja," tukas Munir.

Munir, Koordinator Imparsial, menyatakan pemerintah selama ini hanya mengandalkan tindakan counter-terorism dan tidak melakukan tindakan anti terorism. Pemerintah seakan menganggap bahwa hanya dengan membuat instrumen hukum yang bisa menghukum pelaku kejahatan, aksi terorisme akan berhenti. Padahal, kenyataannya tidak.

 

Di sisi lain, tindakan anti terorism justeru tidak dilakukan oleh pemerintah. Anti terorism adalah satu tindakan membangun suatu kerangka model sistem yang tidak memungkinkan orang melakukan terorisme. Seperti melakukan kontrol terhadap bahan peledak, kontrol bea cukai, kontrol di keimigrasian, kontrol money laundering dan pemberlakuan early warning system.

 

Menurut Munir, tindakan terorisme bersifat ideologis. Lantaran menyangkut  ideologi, pelaku tidak peduli dengan ancaman hukuman mati. Oleh karena itu, yang bisa dilakukan antara lain adalah menghambat jangan sampai orang yang mempunyai ideologi pengguna kekerasan semacam itu mempunyai akses untuk melakukan tindak terorisme.

 

"Kalau tindakan itu sifatnya ideologis maka tidak akan ada efek jera. Efek jera bisa digunakan pada kriminal biasa. Kalau saya mencuri, saya bisa tobat. Tapi kalau soal ideologi, tidak ada orang tobat dari ideologi. Itu kesalahan kita sejak lama, yakin bahwa ideologi itu bisa tobat," ujar Munir.

Halaman Selanjutnya:
Tags: