RUU Mahkamah Konstitusi Disetujui, Judicial Review Dibatasi
Mahkamah Konstitusi

RUU Mahkamah Konstitusi Disetujui, Judicial Review Dibatasi

Pengambilan keputusan terhadap RUU Mahkamah Konstitusi akhirnya dilakukan tanpa melalui pemungutan suara. Namun, masalah lain yang tidak kalah peliknya sudah menunggu di depan. Salah satunya adalah mengenai wewenang judicial review, dimana dalam RUU diatur bahwa UU yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah UU yang diundangkan setelah perubahan UUD '45.

Oleh:
amr
Bacaan 2 Menit
RUU Mahkamah Konstitusi Disetujui, <i>Judicial Review</i> Dibatasi
Hukumonline

Semula, kuat dugaan akan terjadi pemungutan suara atau voting untuk mengambil persetujuan atas dua pasal yang belum disepakati tersebut. Terutama terhadap pasal 49 A yang sangat krusial dari sisi substansinya dan fraksi yang mengusulkannya adalah fraksi yang terbesar di DPR.

Apalagi, dalam pendapat akhirnya masing-masing, baik F-Reformasi maupun F-PDIP mengemukakan argumen yang kuat untuk menopang usulannya. Benang merah dari argumen yang mereka kemukakan adalah RUU Mahkamah Konstitusi tidak dapat mereduksi aturan dalam UUD '45 dengan memberikan batasan-batasan atau diskriminasi sebagaimana tercermin dalam kedua pasal RUU.

Ironi

Juru bicara F-Reformasi Zulkifli Halim mengingatkan agar jangan sampai hakim Mahkamah Konstitusi justru mengalami constitutional review akibat undang-undangnya bertentangan dengan UUD '45. Nyaris senada, juru bicara F-PDIP Zainal Arifin memperingatkan, tidak mustahil terjadi ironi jika UU yang pertama kali di-judicial review ke Mahkamah Konstitusi adalah UU Mahkamah Konstitusi itu sendiri.

Di lain pihak, juru bicara dari F-Partai Bulan Bintang Hamdan Zoelva mengatakan bahwa pembatasan terhadap UU yang dapat dimohonkan judicial review adalah untuk mencegah berbagai kesulitan yang tidak dapat dihindari. Sementara, juru bicara F-Partai Kebangkitan Bangsa Makhrus Usman mengatakan bahwa pembatasan dilalukan agar tidak terjadi penumpukan perkara di Mahkamah Konstitusi.

Melihat beragamnya pendapat akhir masing-masing fraksi dalam menyikapi kedua pasal yang masih diperdebatkan, Wakil Ketua DPR dari F-PDIP Soetardjo Soerjogoeritno yang memimpin rapat menawarkan pengambilan keputusan melalui voting.

Tidak lama berselang, Ketua F-Reformasi DPR Ahmad Farhan Hamid melakukan interupsi dan mengisyaratkan bahwa fraksinya tidak keberatan jika harus mengalah. Secara tegas, ia mengatakan tidak keberatan jika pengambilan keputusan dilakukan tanpa menempuh jalur pemungutan suara. Tak lama kemudian, pimpinan rapat menskors sidang sekitar sepuluh menit untuk dilakukan lobi antar pimpinan fraksi.

Dua Menolak

Saat sidang kembali dimulai, Soetardjo mengumumkan bahwa hasil lobi antar pimpinan fraksi berhasil menyepakati secara bulat kedua pasal tersebut. Ia mengatakan bahwa semua fraksi sepakat untuk memilih alternatif pertama baik untuk pasal 16 ayat (1) huruf d maupun pasal 49 A.

Alhasil, untuk pasal 16 ayat (1) huruf d mereka sepakat dengan rumusan, "Berpendidikan sarjana hukum". Dan untuk pasal 49 A yaitu rumusan, "UU yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah UU yang diundangkan setelah perubahan UUD '45". Khusus terhadap pasal 49 A, dalam penjelasannya disebutkan bahwa "yang dimaksud dengan 'setelah perubahan UUD 1945' adalah perubahan pertama UUD".

Penting pula untuk dicatat bahwa terdapat dua orang anggota DPR yang menyatakan menolak pengesahan RUU Mahkamah Konstitusi. Keduanya merupakan anggota DPR dari F-PDIP yaitu Trimedya Panjaitan dan Didi Suprianto. Baik Trimedya maupun Didi tetap keberatan jika UU Mahkamah Konstitusi membatasi UU yang bisa dimohonkan judicial review.

Bukan akal-akalan

Dalam sambutan yang disampaikan menjelang tengah malam, Menkeh dan HAM Yusril menyambut baik disetujuinya RUU Mahkamah Konstitusi oleh DPR tepat waktu. Yusril mengatakan bahwa keberhasilan tersebut menjadi bukti kepada masyarakat bahwa pemerintah dan DPR bekerja dengan sungguh-sungguh dengan mengerahkan pikiran dan tenaga.

Dalam pidato tanpa teks tersebut, Yusril juga mengatakan bahwa penyelesaian pembahasan RUU Mahkamah Konstitusi sebelum 17 Agustus 2003 juga mematahkan kritik dari para pengamat yang menuduh pemerintah akal-akalan dalam menyusun RUU. "Malam ini semua orang menyaksikan bahwa semua pengamatan, semua kritik yang disampaikan itu tidak mempunyai alasan sama sekali," tegasnya.

Sebelumnya, Yusril telah menyampaikan surat kepada pimpinan DPR yang isinya menyatakan bahwa pemerintah mungkin akan mengambil sikap jika usulannya terkait dengan dua pasal itu gagal disetujui rapat paripurna. Menkeh mengisyaratkan akan adanya "kata akhir" dari pemerintah untuk menyatakan setuju atau tidak setuju atas RUU.

Meskipun penyampaian "kata akhir" dari pemerintah tidak diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPR, namun berdasarkan pasal 5 dan 20 UUD '45 Presiden mempunyai hak untuk itu. Malah, sejak UUD '45 mengalihkan kekuasaan membentuk UU kepada DPR, maka seharusnya Presidenlah -- dan bukan DPR -- yang seharusnya memberikan kata akhir untuk menyatakan setuju atau tidak setuju atas sebuah RUU.

Menariknya, baru kali ini pemerintah menyampaikan surat yang isinya demikian rupa terkait dengan pengambilan keputusan sebuah RUU. Masalahnya, seperti dikatakan Yusril, jika ini berhubungan dengan RUU Mahkamah Konstitusi yang merupakan usul inisiatif DPR, toh pemerintah tidak mengajukan hal yang sama saat pengesahan RUU Sistem Pendidikan Nasional yang juga usul inisiatif DPR.

Selain kewenangan melakukan judicial review, Mahkamah Konstitusi juga memiliki kewenangan-kewenangan lain yang sangat besar. Diantaranya, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga wajib memberikan putusan atas pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Pelanggaran yang dapat menjadi dasar impeachment terhadap Presiden/Wapres meliputi pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. RUU Mahkamah Konstitusi merinci lagi yang dimaksud dengan tindak pidana berat lainnya yaitu pidana yang ancaman hukumannya lima tahun atau lebih. (Amr)

Setelah sempat ditunda sebelumnya (31/07), Rapat Paripurna Luar Biasa DPR dengan agenda tunggal pengambilan keputusan terhadap RUU Mahkamah Konstitusi pada Rabu malam (6/08), dimulai sekitar pukul 20.00 WIB. Pemerintah diwakili oleh Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra dan Jaksa Agung M.A. Rahman. Rapat tersebut baru berakhir menjelang tengah malam.

Sampai dengan detik-detik akhir rapat paripurna tadi malam, masih terdapat dua pasal yang belum berhasil disepakati baik diantara sesama fraksi maupun antara fraksi dengan pemerintah di tingkat Panitia Khusus (Pansus). Kedua pasal itu adalah pasal 16 ayat (1) huruf d dan pasal 49 A.

Pasal 16 ayat (1) huruf d terkait dengan persyaratan hakim Mahkamah Konstitusi. Alternatif pertama untuk pasal ini didukung oleh pemerintah dan seluruh fraksi DPR kecuali Fraksi Reformasi berbunyi, "Berpendidikan sarjana hukum". Sedangkan, Alternatif Kedua, yang diusulkan Fraksi Reformasi, berbunyi, "berpendidikan sarjana hukum dan sarjana lainnya".

Lainnya, pasal 49 A terkait dengan batasan undang-undang yang dapat diajukan judicial review. Alternatif pertama untuk pasal ini didukung oleh pemerintah dan seluruh fraksi kecuali F-PDIP, berbunyi "UU yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah UU yang diundangkan setelah perubahan UUD '45". Sementara, sebagai Alternatif Kedua, F-PDIP menghendaki agar pasal itu ditiadakan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: